Hilang Sudah Rasa Hormatku

1200 Words
Setelah berdandan rapi, gegas diri ini keluar dari kamar, menyambar kunci mobil yang tergeletak di atas meja kemudian melajukan kendaraan roda empatku menuju rumah mertua tidak tahu diri itu. Kebetulan mobil Mas Hakam terparkir di halaman rumah, menandakan kalau laki-laki tidak tahu diuntung itu sedang berada di rumah sang ibu. Tanpa basa-basi keluar dari mobil, menggedor pintu rumah mereka, ah, lebih tepatnya rumahku sambil berteriak memanggil nama Mas Hakam "Kamu itu memang benar-benar wanita tidak berpendidikan ya, Rini? Nggak tahu etika serta sopan santun!" sungut Ibu seraya membuka pintu. Aku mengangkat satu ujung bibir. Untuk apa harus menggunakan etika jika bertamu ke rumah manusia-manusia tidak beradab. "Mana Mas Hakama?!" tanyaku seraya menerobos masuk melewati Ibu. "Dia lagi di kamar bersama istrinya. Hari ini jatahnya Hakam bersama Ratih. Jatah kamu nanti akhir bulan, itu pun kalau Ratih mengizinkan." Aku berjalan menuju kamar suami dan menggedor pintunya. Tidak ada respon. "Buka atau aku dobrak, Mas!" ancamku. Satu menit, dua menit, hingga kesabaranku habis, akan tetapi pintu tidak kunjung terbuka. "Om Risman!" teriakku lantang memanggil scurity komplek yang sengaja aku bawa karena takut keluarga Mas Hakam berbuat macam-macam terhadapku. "Ada apa, Mbak Andar?" Dia berjalan setengah berlari menghampiri diri ini. "Dobrak pintu kamar ini!" perintahku dan segera dilaksanakan oleh Om Risman tanpa menunggu perintah kedua kali. Brak! Brak! Dengan dua kali tendangan pintu kamar Mas Hakam terbuka lebar. Ibu dan Om Risman segera membuang pandang melihat penampakkan yang begitu menjijikkan, dimana dua insan manusia sedang berlayar mengarungi surga dunia di atas peraduan. Entah apa yang dirasakan oleh kedua pengantin baru itu, sehingga mereka tetap saja melanjutkan kegiatan mereka di dalam kamar, padahal di luar bilik mereka tengah terjadi keributan. "Kembalikan barang-barang aku yang kamu curi, Mas!" Berjalan menghampiri Mas Hakam yang masih terlihat ngos-ngosan seperti habis naik gunung nan tinggi. "Ba--barang apa, Rin?" Seperti biasa, dia selalu menampakkan wajah lugu serta polos di hadapanku. "Perhiasan aku!" "Mas, Mas nggak ngambil perhiasan kamu, Sayang." Sayang, sayang kepala lu peang! Aku melirik ke arah Ratih yang sedang duduk dengan tubuh dibungkus selimut. Mataku memicing ketika melihat kalung berlian milikku yang melingkar di lehernya yang penuh dengan gigitan serigala berbulu domba itu dan menariknya dengan paksa hingga meninggalkan jejak merah di sana. "Jangan ambil kalung aku, Mandul. Itu hadiah dari Mas Hakam!" pekik Ratih berusaha meraih tanganku, akan tetapi karena dia tidak mengenakan pakaian sehingga tidak bisa bergerak dengan leluasa. Aku menarik dua lembar tissue yang tergeletak di atas meja, membungkus kalung dengan liontin bunga melati tersebut kemudian memasukkannya ke dalam tas. Sepertinya setelah ini harus kusterilkan terlebih dahulu sebelum aku kenakan. "Mana cincin dan gelang aku, Mas!" Menodongkan tangan sambil memindai wajah suami. "Aku jual buat modal nikah kemarin, Rin!" jawabnya tanpa berani menatap wajahku. Kebiasaan. Seperti kerupuk ketika tersiram air. Melempem. Cemen. Beraninya cuma di belakang doang. "Mas, kamu jangan diem aja dong! Kamu ambil perhiasan aku dan usir wanita gila itu!" protes Ratih karena Mas Hakam tidak bertindak apa-apa melihatku merebut paksa kalung yang sedang ia kenakan. "Mas Hakam tidak akan berani melawan aku, Ratih. Dia itu takut sama aku!" Mencebik bibir seraya menatap suami yang sedang sibuk menganak pakaiannya. "Mas Hakam takut sama kamu, mimpi! Untuk apa dia takut sama kamu. Mas Hakam itu nggak pernah cinta sama kamu. Dia cuma cinta sama aku. Kasihan banget sih kamu, Rini. Sudah mandul, tukang halu pula. Sudahlah, Mas. Lebih baik kamu ceraikan Rini supaya aku bisa jadi istri kamu satu-satunya. Dan ingat ya, Mas. Setelah kamu dan dia bercerai, jangan kamu kasih dia harta gono-gini. Ini permintaan dedek utun lho!" Dia mengelus perut datarnya, membuatku tertawa geli melihatnya. "Harta gono-gini dari mana, Sayang? Mas Hakam itu tidak memiliki apa-apa, bahkan selimut yang sedang menutupi tubuh kamu saja itu milikku lho! Dia cuma punya isi kolor yang ukurannya hanya sebesar cabe rawit dan mudah loyo!" Wajah Mas Hakam seketika berubah memerah padam. Mungkin dia tidak percaya kalau Andarini, wanita lemah lembut yang selalu menghormatinya dan tidak pernah berkata kasar di hadapannya tiba-tiba saja berani berkata demikian. Biarlah. Untuk saat ini, hilang sudah rasa hormatku terhadap pria itu. Andai saja dia membicarakan masalah pernikahan juga alasan mengapa kami belum jua dikaruniai keturunan secara baik-baik, mungkin semua tidak akan berakhir seperti ini. Aku akan melepas Mas Hakam tanpa harus bertindak anarkis serta buang-buang tenaga karena harus marah-marah. "Kamu jangan sembarang bicara, Rini. Atau..." Ibu kembali mengangkat tangan hendak menampar, akan tetapi urung dia lakukan ketika aku menoleh dan menatap sinis wajah keriputnya. "Silahkan Ibu tampar wajah aku, Bu. Biar Ibu semakin lama mendekam di balik jeruji besi, karena polisi sedang mendalami kasus penganiyaan yang Ibu lakukan terhadapku kemarin." "Silahkan saja, saya tidak takut!" tantangnya. Kita lihat saja nanti, Bu. "Rin, tolong jangan terus menerus membuat keonaran, Sayang. Kita bisa bicarakan masalah ini baik-baik. Kita juga bisa hidup bersama dalam satu atap kalau kamu mau, atau jika kamu keberatan, belikan aku dan Ratih Rumah baru supaya aku bisa adil terhadap kalian berdua. Aku mau kedua istriku hidup rukun serta damai, juga sama-sama tinggal di rumah yang mewah!" Astaga!! Sepertinya karena kebanyakan nyampur dengan Ratih, otak Mas Hakam menjadi oleng. Mana ada istri yang sudah dimadu, membelikan rumah bagus untuk madunya pula. Ingin rasanya menoyor kepala suami, tetapi masih takut dosa sebab biar bagaimanapun statusnya masih suami sahku. "Jangan mimpi kamu, Mas. Hari ini juga, aku akan menggugat cerai kamu di pengadilan agama. Kita akan bercerai secepatnya!" "Baguslah kalau begitu. Biar tidak ada lagi benalu yang menggerogoti harta kekayaan anakku!" sinis Ibu. "Ibu amnesia ya? Sebelum menikah dengan aku, Mas Hakam itu tidak memiliki apa-apa, lho. Semua harta benda yang ada itu peninggalan ayah aku. Bahkan sekarang juga, jika aku mau, aku bisa memblokir seluruh kartu kredit serta membekukan rekening Mas Hakam, karena sumber keuangan yang masuk selama ini berasal dari aku!" Ibu tertawa mengejek, mengata-ngatai aku sedang berhalusinasi, juga menoyor kepalaku dengan kasar. Ok! Segera kuhubungi pihak bank, memblokir rekening atas nama Hakam Zulfikar, Rossa ibu mertua, juga kartu kredit adik serta Kakak Mas Hakam. Aku kepingin tahu, jadi apa mereka tanpa sokongan uang dariku. Kemarin-kemarin, aku begitu royal kepada mereka sebab aku pikir karena aku tidak memiliki keluarga dan lambat laun seluruh anggota keluarga Mas Hakam akan menerima diri ini sebagai bagian dari keluarga mereka. Tapi nyatanya enggak. Mereka malah semakin menjadi-jadi dan semena-mena terhadapku. Biarlah. Sekarang aku tidak akan lagi perduli. 'Kan kucari bahagiaku sendiri, tanpa Mas Hakam atau pun keluarganya yang selalu menjadi parasit. Aku bebas. "Ayo, Om. Kita pulang!" Mengayunkan langkah meninggalkan kamar buaya darat itu lalu melenggang pergi tanpa permisi. *** Ponsel yang sejak tadi tergeletak di atas meja kerja terus saja menjerit-jerit. Ada panggilan masuk dari Mas Hakam, akan tetapi sengaja kuabaikan. Malas meladeni dia lagi. Karena menurutku, antara aku dan dirinya saat ini sudah tidak ada lagi urusan. Apalagi pengacarku sudah mulai memproses perceraian kami berdua. Ting! Sebuah notifikasi pesan masuk ke gawai. Aku tersenyum puas membaca isi pesan tersebut. [Rin, kamu tega membekukan rekening aku dan memblokir semua kartu kredit keluargaku. Kamu itu kejam banget tau nggak? Tidak berperasaan sama sekali. Kamu sengaja ingin membuat aku dan keluarga aku kelaparan? Sekarang juga, angkat telepon dari aku. Aku mau bicara sama kamu. Kalau tidak, aku akan datang ke butik dan mengobrak-abrik butik kamu] Mas...Mas! Kamu pikir aku takut dengan ancaman kamu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD