Sebagai seorang siswa SMA, apa sih yang kita sukai ketika berada di sekolahan? proses belajar mengajar? kugelengkan kepala sebagai jawab dari tanya otakku. Punya banyak teman? aku mengangguk membenarkan. Punya kisah cinta pertama? aku mendesah ... tidak tahu jawabannya karena aku belum pernah merasakannya sendiri. mungkin jika pertanyaan itu diberikan kepada Mila, gadis itu akan langsung mengangguk. Aku kembali mendesah, mengamati punggung-punggung teman sekelasku yang mulai beranjak dari tempat duduk masing-masing, kemudian berbondong-bondong ke luar kelas. Hanya untuk mengistirahatkan sejenak otak mereka. Beginilah nasib siswa kelas tiga. sekali pun bel pulang sekolah sudah terdengar, namun bel itu tidak berlaku untuk kami. Kami masih belum bisa pulang seperti adik kelas kami.
Sama seperti hari-hari sebelumnya, hari ini siswa kelas tiga juga tidak bisa langsung pulang, meskipun bel sudah berbunyi. Kami masih harus mengikuti pelajaran tambahan.
“ Sil, ke kantin yuk. Lapaaar.“ Mila memegang perutnya dengan wajah memelas. Aku berdecak. Kukeluarkan tepak dari dalam tas ku.
“ Nih … makan bareng aku saja. Ngirit, bawa makan dari rumah.“ Wajah Mila langsung berubah dari mendung menjadi secerah mentari pagi. Aku mencebik ke arah sahabatku itu.
“ Asyik … nanti uang saku bisa kubuat beli komik.“ Mila yang semula sudah beranjak dari tempat duduk, langsung kembali duduk di sebelahku.
Imam … teman kami yang duduk di depanku menoleh, begitu mencium bau makanan ketika tutup tepak kulepaskan. Wajahnya langsung nyengir “ Bagi dong, Sila.“ Imam beranjak, memutar kursi ke belakang, lalu mendudukinya kembali.
“ Apaan lo ... ini cuma setepak, buat kita berdua. Sono lo ke kantin. Beli sendiri.“ Mila langsung menampik tangan Imam yang sudah akan mengambil sendok. Melihat pelototan mata Mila, Imam hanya bisa manyun, lalu dengan kesal beranjak pergi meninggalkan kami. Aku masih bisa mendengar gumaman cowok itu. "Dasar teman tidak punya peri pertemanan." Mila yang ternyata juga mendengar gumaman Imam, terkekeh geli. Namun tidak lama, kekehan tersebut terhenti.
“ Eh … Sil. Tuh lihat … musuhmu nggak keluar kelas. Nggak lapar apa ya?“ tanya Mila sembari mengedikkan dagu ke arah depan. Aku yang sedang menyendok makanan--mendongak. Benar, semua teman sekelasku sudah tidak terlihat. Tinggal kami berdua, dan si culun yang membuatku mendapat hukuman tadi pagi. Aku hanya menatap sengit punggung Hesa, lalu kembali melanjutkan makanku. Aku masih kesal … tidak, bukan hanya kesal, tapi sangat-sangat kesal. Kugigit keras sendok di mulutku untuk melampiaskan kekesalanku pada si culun itu. Dari sudut mataku, aku melihat si culun berdiri. Aku mengernyit. Apaan tuh … ngapain dia ke sini. Dari sudut atas mata, kuawasi pergerakan cowok itu. tubuhku menegak ketika cowok itu semakin mendekat. Aku menatapnya tajam ketika dia berhenti di depan meja yang aku dan Mila tempati.
“ Apaan …. mau minta makan siang ? nggak ada !! sana beli sendiri,“ usirku. Dia terlihat melirik Mila yang tidak terpengaruh dengan teriakanku, sebelum mengulurkan selembar kertas yang dia pegang.
“ Nih ... kerjakan nanti sepulang sekolah. Aku mau lihat jawabannya besok pagi.“ Wajahku pasti sudah cengo sekarang. Aku benar-benar melotot dengan mulut terbuka. Apa maksudnya coba. Kuambil kertas di tangannya dengan kasar, dan mataku bertambah membulat. Di selembar kertas itu, ada sepuluh soal matematika, dan sepuluh soal fisika. Total dua puluh soal!! Kuangkat wajahku untuk melihat si culun berkaca mata tebal di depanku. Kuacungkan kertas itu di hadapannya. “ Lo mau nyiksa, gue ?” Hesa mengedikkan kedua bahunya, lalu berbalik pergi. Begitu saja--tanpa mengeluarkan kata-kata lagi. Aku segera berdiri, langkahku terayun mengejar dia. Ku hadang langkah panjang kakinya.
“ Aku nggak mau ngerjain! Nih, kamu kerjain sendiri.“ Kupukulkan kertas itu ke dadanya. Enak saja main perintah-perintah sesuka hati. emangnya siapa dia? guru juga bukan. Cuma siswa yang kebetulan diberi Tulan kelebihan porsi otak.
“ Kalau kamu nggak mau ngerjain ... oke, aku akan bilang Bu Nasri kamu nggak mau belajar.“ Hesa mengangkat kedua alisnya dengan senyum mengejek. Aku hanya bisa mengedip-ngedipkan mata sambil menarik tanganku yang masih memegang kertas itu--jatuh terkulai kembali ke sisi tubuh. Hesa tersenyum miring, lalu melewatiku begitu saja. Aku menghentak-hentakkan kakiku. Kesal setengah mati. Gila saja. Ini sudah jam berapa ? Aku bahkan belum pulang, masih harus mengikuti pelajaran tambahan, trus nanti masih harus mengerjakan soal dari si culun menyebalkan itu. “ Ihhhhh.. ” kuremat kertas di tanganku.
Aku kembali masuk ke dalam kelas, berjalan lemah menuju tempat dudukku. Seketika aku terperangah ketika melihat tepakku sudah kosong. Mila duduk bersandar dengan senyum manis, sementara sebelah tangan mengusap perut layaknya ibu hamil. Kuambil tepak tersebut, lalu kutunjukkan di depan muka Mila.
“ Tega ya kamu Mil. Aku baru makan tiga sendok, dan kamu sudah habisin semuanyaaaa!!” Mila hanya tertawa. Gadis itu mengabaikan kekesalan yang pasti sudah tergambar jelas di wajahku. Dobel kesal.
“ Kirain kamu mau ke kantin sama pacarmu,“ jawab Mila santai sembari kembali menyungging senyum.
“ Apa?!! dia bukan pacarku. Dia musuhku … musuh !!!” Aku berteriak kencang. Hari ini entah kenapa, kesialan seakan menjadi teman akrab yang tidak sudi meninggalkanku sendirian.
***
Gara-gara lapar, aku tidak bisa berkonsentrasi mengikuti pelajaran tambahan biologi siang ini. Perutku berkali-kali bunyi. Mila dan Imam yang duduk di dekatku bahkan cekikikan selama pelajaran tambahan. Aku hanya bisa melirik kesal sahabatku. Siapa coba yang bikin aku kelaparan. Sekarang dia malah menertawaiku. Keningku mengernyit. Ada yang aneh, siang ini aku tidak melihat Hesa. Cowok culun itu tidak mengikuti pelajaran tambahan. Aku mencebik …. dasar sombong. Mentang-mentang nilainya sudah bagus, lalu dia tidak mau mengikuti pelajaran tambahan. Kukutuk dia nilainya besok di bawah lima, semua mata pelajaran. Dan saat itu, aku yang akan tertawa paling keras. Mila menyikutku, membuat imajinasiku pudar begitu saja.
“ Itu kamu dipanggil ke depan,“ ucap Mila sembari mengedikkan dagunya ke depan.
“ Hah???“ tanyaku bingung.
“ Malah cengo … udah cepetan sana.“ Dia mendorong bahuku. Dan meski masih kebingungan, aku tetap berjalan ke depan dengan perasaan was was. Menghampiri pak Farid, guru biologi kami.
“ Ya, pak “ Pak Farid memberikan buku paket yang sebelumnya dia pegang.
“ Ini … tolong kamu tulis di papan tulis, biar disalin teman-temanmu. Nanti bukunya bisa kamu bawa pulang, buat kamu salin di rumah.“ Aku menghela nafas lega. Kukira aku akan dihukum karena Pak Faris tahu aku bukannya memperhatikan penjelasannya, tapi malah sibuk berkhayal sendiri. Segera kuanggukkan kepalaku. Tanganku bergerak meraih buku yang diulurkan oleh Pak Farid. Kuperhatikan sesaat lembar yang sudah terbuka.
“ Ini sampai mana, Pak?” kutunjukkan halaman yang harus kutulis.
“ Sampai halaman selanjutnya. Satu bab tentang metabolisme,“ jawabnya. Kembali kuanggukkan kepala, lalu segera beranjak untuk menyalin ke papan tulis. Di antara semua pelajaran MIPA, cuma biologi yang aku suka dan kuasai. Nilaiku untuk pelajaran ini tidak pernah kurang dari delapan. Nilai yang bisa membuatku berbangga hati.
***
Keesokan harinya, aku terus-terusan menguap saat pelajaran pertama. Bagaimana tidak? kemarin aku baru sampai di rumah jam empat sore. Masih harus membantu Mama membersihkan rumah, dan memasak untuk makan malam kami berdua. Lalu malam harinya, aku harus menyalin satu bab biologi, dan jangan lupakan dua puluh soal dari si Hesa culun. Dan aku semakin kesal ketika bahkan pagi ini anak itu justru tidak terlihat. Dia benar-benar mengerjaiku. Dia tidak tahu semalam aku bahkan baru bisa menyelesaikan soal-soal yang dia berikan jam dua belas malam. Lalu, jam setengah lima pagi aku sudah harus bangun. Aku benar-benar butuh tidur sekarang.
“ Awww …” Mataku langsung terbuka. Aku menoleh ke samping. Mila baru saja menendang kakiku cukup keras. Aku sudah membuka mulut, siap mengomel ketika suara bu Nasri terdengar.
“ Kenapa, Sila?” tanya Bu Nasri sambil berdiri dari tempat duduknya. Tinggi Bu Nasri yang kemungkinan tidak lebih dari 150 cm itu, mungkin kesulitan melihatku yang duduk di meja kedua dari belakang.
“ Enggak ada apa-apa, Cu. Cuma digigit semut.“ Aku nyengir. Bu Nasri mengernyit sebentar, sebelum akhirnya mengangguk, lalu kembali duduk.
“ Waktu mengerjakan tinggal lima belas menit ya anak-anak.“ Suara keras bu Nasri terdengar. Waduh … aku langsung kelimpungan. Kutarik buku tulis Mila, lalu dengan cepat kusalin pekerjaannya. Tak kuhiraukan lirikan tajam sahabatku itu. Mila kemudian berdecak sambil menggelengkan kepala. Namun ia tak sama sekali mengganggu aktivitasku menyalin pekerjaannya. Aku mengulum senyum sembari meneruskan aksi menyontek dari buku Mila.
***
Sepulang sekolah, aku masih bertanya-tanya kemana si culun Hesa. Kemarin dia tidak mengikuti pelajaran tambahan, lalu hari ini dia juga tidak masuk sekolah. Hesa, sejak pertama masuk sekolah kami, awal semester ini--memang tidak memiliki banyak teman. Dia cenderung pendiam. Sering menyendiri di perpustakaan, atau duduk di bawah pohon beringin depan lapangan basket. Aku baru sedikit lebih mengenalnya setelah Bu Nasri, wali kelas sekaligus guru Bahasa Inggis kami memintanya untuk mengajariku Matematika dan Fisika. Dua mata pelajaran yang tidak pernah bisa membuatku mendapatkan angka lebih dari tiga. Bebek terbang kalau kata Bu Nasri. Saat berjalan menuju jalan raya, tempatku ngetem menunggu bus, handphone ku berbunyi. Kami memang diperbolehkan membawa ponsel ke sekolah, tapi saat pelajaran--semua ponsel harus dimatikan, dan dikumpulkan di meja guru.
“ Sudah selesai semua soalnya?” aku mengernyit. Aku tidak mengenal nomor telepon yang mengirimiku sms.
“ Soal apaan ? lo salah nomor kali.“ kubalas sms dari nomor asing itu
“ Dua puluh soal yang kuberikan kemarin bodoh !!! “
Mataku langsung melotot. Dari mana si culun itu mendapatkan nomor handphone ku ? genggaman tanganku pada ponsel menguat. Untung aku masih mengingat susahnya Ibu untuk bisa membelikanku sebuah polsel. Kalau tidak, mungkin sudah kubanting ponsel ini ke jalanan.