Hari ini, aku punya jadwal belajar Matematika setelah jam pelajaran selesai bersama Hesa. Sudah seminggu setelah pesta ulang tahun David waktu itu, dan ini pertama kalinya kami kembali belajar bersama. Selama seminggu terakhir, Hesa sempat tidak masuk dua hari. Entah karena apa. Selebihnya, dia tidak memintaku belajar bersama. Tentu saja aku senang. Otak ku sudah terlalu panas dengan angka-angka yang setiap hari harus kuhitung. Lagi pula, aku juga sedang malas bertemu dengan cowok itu, apalagi harus berhadapan dengannya selama berjam-jam.
Gosip tentang hubungan Hesa, dan Rita setelah pesta David juga semakin merebak. Beberapa cewek dari kelas lain yang sempat menitipkan hadiah mereka untuk Hesa padaku, bahkan sempat menghampiriku hanya untuk bertanya tentang kebenaran gosip itu. Tentu saja aku hanya menjawab tidak tahu. Memangnya aku harus tahu semua tentang si culun itu ?? Aku tidak perduli tentang urusan pribadi cowok itu. Mau dia dekat sama Rita kek, sama Susi kek, atau siapa pun aku tidak peduli. Aku mengelengkan kepala ketika memasuki ruang kelasku setelah jam istirahat berakhir. Ulin dan Endro sudah duduk di tempatku--menghadap ke belakang. Berempat dengan Imam dan Soleh, mereka sedang main kartu dengan tumpukan uang receh di tengah meja. Sepertinya mereka sedang kumat. Lupa pernah dipanggil ke BP karena ketahuan main kartu sambil taruhan. Kudekati mereka. Dengan kedua tangan di pinggang, kupelototi mereka satu persatu. Namun bukannya takut, mereka hanya menoleh sesaat--lalu kembali fokus pada kartu-kartu di hadapan mereka. Aku hanya bisa berdecak sembari menggelengkan kepala melihat kelakuan mereka. Keriuhan juga terjadi di tempat duduk pojok belakang kanan. Sekelompok anak cowok membuat kegaduhan dengan menggunakan meja sebagai pengganti gendang. Beberapa anak memukulkan tangan ke atas meja secara serabutan, namun anehnya tetap terdengar cocok dengan lagu yang mereka sama-sama nyanyikan. Mereka benar-benar kreatif. Harus kuacungi dua ibu jari.
“ Mau ikutan, Sil ?” tanya Endro sambil nyengir. Aku langsung menoleh, memberi mereka tatapan penuh keheranan.
“ Kalian nggak takut ketahuan lagi ? Sebentar lagi pelajaran lho. Udah … bubar … bubar!!“ usirku galak. Ulin menggelengkan kepala, lalu melongok ke arah pintu. Kuikuti arah tatapan mata salah satu teman dekatku itu.
“ Ron …. aman ?“ teriak Ulin pada Roni, salah satu teman sederet kami yang kulihat sedang bersandar di kusen pintu masuk kelas. Roni menengok, lalu mengacungkan kedua ibu jarinya. Aku hanya bisa melongo. Ternyata mereka sudah membuat persiapan supaya tidak kembali terciduk saat main kartu dengan taruhan uang receh.
“ Aman bos.,“ jawabnya. Kuputar kepalaku, kembali menatap si Ulin. Anak itu mengangkat sebelah alisnya sambil nyengir. Aku berdecak. Karena kursiku sudah di bajak oleh Imam dan Soleh, akhirnya aku menarik kursi dari deret sebelah. Duduk menghadap mereka, lalu ikut melihat mereka main kartu. Mila masih belum terlihat. Mungkin dia benar-benar sakit perut.
“ Kok masih pada di luar ya, tumben … biasanya paling telat 10 menit udah ada yang manggil guru.“ Ulin menoleh ke arahku dengan kedua mata memicing.
“ Lagi ada rapat. Emang lo nggak tahu ? makanya kita main kartu. Jam kosong, Sil.“ jawab Soleh. Aku mengerjap. Aku tidak mendengar informasi para guru sedang mengadakan rapat. Memang kapan pengumumannya? tanyaku dalam hati,
“ Kok nggak ada yang kasih tahu gue sih. Tahu gitu mending gue tidur di perpus,“ gumamku. Lebih kepada bertanya pada diriku sendiri sebenarnya, namun ternyata mereka mendengar gumamanku.
“ Eh dodol … emang lo siapa harus ada yang laporan sama lo kalau guru lagi pada rapat.“ Ulin sudah menoyor kepalaku. Kupukul tangan cowok itu sembari memberengut. Siapa dia seenaknya saja menoyor kepalaku. Di dalam kepalaku ini ada otak yang sangat berharga.
“ Lagian perpus tempat buat belajar, bukan tidur,“ lanjut Endro. Aku menoleh ke arah Endro, kuberikan pelototan maut ke arah cowok itu, yang hanya membalasku dengan dengusan.
“ Mending lo jadi wasit kita aja, Sil.“ usul Ulin yang diangguki ketiga teman kami lainnya. Aku tersenyum miring. Kutatap mereka satu per satu.
“ Berani bayar berapa ?” tanyaku dengan kedua alis terangkat. Endro langsung berdecak.
“ Lo itu pikirannya duit melulu," seru cowok itu dengan wajah kesal yang tidak dia tutupi. Emang sekarang sudah jaman semua harus pakai duit. Dulu, mungkin orang tidak perlu beli sayuran untuk masak setiap hari. mereka hanya perlu, keluar rumah, berjalan ke kebun belakang untuk memetik sayuran. Bayam, daun singkong, daun pepaya, pepaya muda, nangka muda, kecipir, terung biasa ada di kebun. Kadang bahkan hanya perlu mencari di sepanjang jalan untuk memetik daun bayam yang tumbuh liar. Tapi itu dulu. Sekarang, semua harus pakai uang untuk bisa mendapatkan sayur-sayuran tersebut.
“ Ye … jaman sekarang nggak ada yang gratis Bambang … “ jawabku pada akhirnya.
“ Gue traktir tempat Mpok Siti deh,“ ucap Ulin yang membuatku tersenyum senang.
“ Oke … siap.“ Aku jadi bersemangat menjadi wasit permainan mereka. Lumayan kan, bisa makan gratis di warungnya Mpok Siti.
Hampir satu jam kami bermain kartu. Setelah beberapa kali umpatan, serta perselisihan, permainan itu akhirnya di menangkan oleh Endro. Cowok itu tertawa keras sambil menghitung uang recehan yang ia menangkan dengan wajah mengejek teman-temannya yang kalah. Yang lain hanya mendengus kesal melihat wajah sang pemenang.
“ Yuk Lin ketempat Mpok Siti.“ Kutagih janji Ulin. Anak itu berdecak, namun tak urung juga berdiri dari duduknya.
“ Nggak lebih dari sepuluh ribu ya, Sil,“ katanya sambil berjalan keluar kelas. Aku mengekor di belakangnnya. Sepuluh ribu juga lumayan bisa bikin perut kenyang, batinku.
Tiba di kantin, pemandangan yang tak kuduga terpampang di depan mata. Hesa sedang duduk berdua dengan Rita. Jadi ternyata benar mereka memang sudah sedekat itu. Aku ingat saat pesta David selesai waktu itu, Rita pulang bersama Hesa. Kupikir mereka hanya sekedar berangkat dan pulang bersama, seperti aku dan Ulin. Tapi ternyata aku salah. Mereka memang dekat. Ulin menyikut lenganku.
“ Apaan sih, Lin ?” tanyaku kesal. Kulirik tajam teman yang akan mentraktirku kali ini.
“ Lo yang apaan. Ngelihatin mereka seperti menangkap basah pacar sedang selingkuh,“ katanya. Dagu cowok itu menunjuk tempat kedua orang itu. Aku mengerjap. Apa iya aku terlihat seperti itu ? Perasaan aku melihat mereka biasa saja. Hanya menerka-nerka sudah sejauh apa hubungan di antara mereka.
“ Kenapa … cemburu ?” tanya Ulin yang membuatku langsung melotot ke arah cowok itu. Enak saja bilang aku cemburu. Emang siapa dia? Cowok yang hanya keren kalau di lapangan basket. Yang sudah kunobatkan sebagai cowok terculun seantero sekolah. Juga sudah kukibarkan bendera perang dengannya. Yah ... meski harus kuakui dia cukup berjasa membantu nilaiku.
“ Cemburu ?? sama si culun ?? emang dunia udah kehabisan cowok ?” jawabku sambil melangkah meninggalkan Ulin, mendekati Mpok Siti.
“ Bakso sama es teh ya Mpok. Yang bayar nih … si Ulin,“ pesanku pada Mpok Siti, lalu menunjuk Ulin yang ada di belakangku. Mpok Siti hanya mengangguk, lalu melihat ke belakangku.
“ Dua Mpok,“ tambah Ulin sambil mengeluarkan uang dari saku celananya. Tidak lama, kami sudah membawa masing-masing semangkuk bakso, dan segelas es teh ke salah satu meja. Dari tempat kami duduk, aku masih bisa mengawasi Hesa dan Rita. Entah apa yang mereka obrolkan, tapi mereka sungguh terlihat serius. Aku jadi penasaran ingin tahu apa benar mereka sudah perpacaran? Aduh ... kenapa dadaku terasa panas ya.
“ Lo sepertinya beneran lagi cemburu deh, Sil.” Aku menyemburkan es teh yang baru saja kuteguk. Kata-kata yang diucapkan Ulin sungguh membuatku kaget.
“ Gila … jorok Sila!“ Ulin langsung melotot ke arahku sambil membersikan tangannya yang kena semburan es teh dari mulutku, menggunakan tisu. Salah siapa coba. Ngomong hal sensitif tanpa melihat situasi dan kondisi. Jadi, jangan salahkan gerak releksku. Bahkan, di sini akulah yang jadi korban karena tersedak.
“ Makanya kalau mau ngomong lihat-lihat dulu, Lin. Ini tenggorokan gue juga jadi sakit karena tersedak.“ aku mengusap leherku. Kusemburkan uneg-uneg ku pada cowok itu.
“ Lagian ngomong sembarangan. Gue nggak cemburu. Terserah mereka mau dekat, atau mungkin sudah pacaran. Bukan urusan gue,“ kataku berapi-api.
“ Tapi muka lo nggak usah pake cemberut gitu kalau nggak mau di bilang cemburu. Kalo reaksi lo kayak gitu, semua orang juga pasti akan mikir kalau lo lagi cemburu.“ Ulin menunjuk mukaku sembari mengoceh panjang lebar. Aku menghela nafas, kembali menoleh ke arah Hesa dan Rita sebentar, lalu balik menghadap mangkuk bakso ku. Ku tundukkan kepalaku. Selera makanku tiba-tiba saja melayang entah ke mana. Tapi sayang kalau tidak di makan. Satu mangkuk bakso, serta segelas es teh ini hasil kerjaku. Kerja jadi wasit permainan kartu. Dengan malas, kesendok sebutir bakso.
“ Mereka belum jadian kok. Lo masih punya kesempatan.” Tangan yang sudah hendak memasukkan satu butir bakso ke dalam mulut, berhenti di udara. Aku menatap Ulin yang kini sedang mengunyah baksonya. Cowok itu hanya melirikku.
“ Beneran. Aku tahu dari Rita sendiri. Dia memang sedang mendekati Hesa, tapi lo kan tahu Hesa anaknya gimana,” lanjutnya setelah menelan kunyahan di mulut. Aku mengerjap beberapa kali.
“ Bukan urusanku,“ jawabku setelah tersadar dari keterpakuan. Ulin hanya berdecak. Kulanjutkan suapan bakso ku, dan tak lagi mengindahkan mereka berdua. Lebih baik fokus menghabiskan semangkuk bakso yang terasa hambar di lidah.
****
Setelah pelajaran hari ini selesai, seperti biasa aku pergi ke depan lapangan basket. Hesa sudah lebih dulu ke sana. Kali ini langkahku terasa berat. Entahlah … aku merasa malas bertemu dengan Hesa. Kalau bukan karena perintah Bu Nasri, aku tidak akan mau berhubungan dengan Hesa dari awal. Cowok itu ... membuat perasaanku kacau. Benar-benar kacau. Aku bahkan tidak tahu bagaimana cara memperbaiki kekacauan yang sudah dia perbuat. Inginnya marah tiap kali bertemu dengan cowok itu.
“ Lama banget, “ komentar Hesa begitu aku sampai di bawah pohon beringin yang katanya sudah berumur ratusan tahun ini. Aku hanya berdecak, lalu mendudukkan tubuhku di sebelahnya. Aku membuka tas. Teringat kalau hari ini aku membawa tepak biru tua yang sudah kuisi sandwich untuk Hesa. Segera kukeluarkan tepak itu.
“ Hesa …!!“ suara panggilan membuat kami berdua menoleh. Aku melihat Rita yang sedang berjalan cepat ke arah kami. Tangannya memegang satu tepak berwarna kuning. Kedua mataku mengawasi pergerakan anggun teman cewek sekelasku itu.
“ Ini … buat kamu.“ Rita mengulurkan tepak kuning itu kepada Hesa begitu sampai di depan kami. Hesa menatap tepak itu sesaat, lalu mendongak untuk menatap si pemilik tepak.
“ Aku nggak lapar. Kamu makan sendiri aja,“ jawabnya dengan nada datar khas seorang Hesa yang sudah sangat kupahami. Dalam hati aku tertawa melihat wajah Rita yang berubah murung. Kasihan juga sih dia yang sudah susah-susah menyiapkan apa pun isi di dalam tepak warna kuning itu, jika Hesa menolaknya.
“ Tapi aku bawa ini khusus buat kamu. Tadi aku kelupaan kasih ke kamu. Ini isinya sandwich tuna. Kamu pasti suka. Nih … kamu makan ya. “ Rita tersenyum manis. Meski terlihat enggan, akhirnya Hesa tetap menerima uluran tepak itu. Kupeluk tepak biru yang tadinya akan kuberikan pada Hesa.
“ Kamu juga bawa bekal, Sil ?” tanya Rita sambil melihat ke arah tepak yang kupeluk erat. Aku gelagapan. Jangan sampai cewek itu menyangka aku membawa tepak ini untuk Hesa. Meskipun sebenarnya memang begitu kenyataannya.
“ Um … iya. Biar irit. Nggak jajan,” jawabku pada akhirnya. Aku meringis. Dalam hati mengumpat diri sendiri. Bodoh Sil … itu kan kata-kata si culun.