12

840 Words
Seorang anak yang masih memakai seragam putih merah menyaksikan pertengkaran Abang dan Papanya saat baru pulang sekolah, pertengkaran yang cukup hebat mampu menciptakan kehancuran yang berkeping. Vanilla hanya bisa menangis menyaksikan orang dewasa yang sedang beradu argumen. "Kenapa Papa tega menghancurkan keluarga kita?" Andra membalas, "takdir." "b******k!" maki Aref. "Aku mencintai kekasihmu, lebih tepatnya kami saling mencintai," tutur Andra yang langsung membuat hati Aref mencelos. Pengakuan yang menjadi awal kehancuran semuanya. Segala tumpahan air mata telah mengalir deras, kenyataan pahit yang membuat siapapun tidak akan sanggup menerimanya. "Jadi kalian selingkuh?" Andra mengangguk. "Maafkan aku, aku sudah tertarik dengan Ariana saat kamu membawanya pertama kali ke rumah ini." "Menikahlah dengan dia, tapi aku gak akan tinggal di sini lagi!" Sejak saat itu Aref tinggal di rumah ini lag, dia pergi bersama dengan kehancuran hatinya atas pengkhianatan yang mereka lakukan. *** Apalagi saat Vanilla membaca surat yang diberikan oleh Aref semakin membuat Vanilla membenci Andra. Vanilla menangis dalam pelukan Aref. "Abang, kenapa kita harus mempunyai Ayah sebejat Papa?" "Seandainya Abang gak pernah bawa Ariana ke rumah, mungkin sampai detik ini keluarga kita masih utuh, terkadang penyesalan ingin membuat Abang kembali ke masa lalu dan memperbaiki semuanya," ujar Aref. "Mau diapain lagi, Bang. Keluarga kita udah hancur berkeping-keping." Aref menyeka air mata di pipi adiknya itu. "Jangan nangis lagi, setahu Abang Vani adalah cewek yang kuat gak gampang nangis, sekarang kita harus menata masa depan, percuma menangisi masa lalu." Vanilla mengangguk. "Iya, Abang. Cuma Abang yang Vani punya sekarang, jangan pernah tinggalkan Vani, ya." Aref mengangguk dan mencium kening Vanilla, tak lama kemudian terdengar suara bel di luar apartemen. "Abang, buka pintu dulu ya." Saat Vanilla sibuk memainkan ponselnya tiba-tiba ada suara yang tak asing masuk ke telinganya. "Vanilla..." Vanilla menoleh dan mendapati Arga yang sedang berdiri bersama perempuan asing. Dia bangkit dari sofa, saat hendak berlari ke kamarnya, Arga langsung memeluk Vanilla dari belakang. "Van, please. Maafkan aku." Vanilla terus meronta agar terlepas dari pelukan Arga tapi tenaga Arga jauh lebih besar. "Jangan marah, kamu harus dengar penjelasanku." "Gak perlu. Aku cukup tahu, i'm not your priority." "Hai, kita belum kenalan. Aku Kristal." Kristal maju dan memperkenalkan dirinya kepada Vanilla.  Arga melepaskan pelukannya membiarkan Vanilla ber-dialog dengan Kristal. "Vanilla," ujar Vanilla sekenanya. Vanilla mencoba menebak apa yang bersarang di otaknya. "Kamu adalah alasan Arga gak datang malam itu?" Kristal mengangguk. "Tapi kamu jangan salah paham, aku sama Arga adalah sahabat sejak kecil, waktu itu aku baru sampai Indonesia dan langsung menemui Arga tapi aku gak tahu kalau dia ada janji sama kamu. Arga sudah ingin pergi tapi orangtuanya menahan Arga." Vanilla tersenyum miring. "Biar aku tebak lagi, orangtua Arga pengin kalian bersatu? Secara orangtua Arga gak pernah suka sama aku." Kristal dan Arga terdiam karena memang begitu adanya, keterdiaman mereka menjadi jawaban atas pertanyaan Vanilla. "Baiklah, kalian emang cocok." Kemudian Vanilla berlari ke kamarnya, Arga hendak menahannya tapi Vanilla terus meronta dan akhirnya terdengar bantingan pintu yang cukup keras. Vanilla berdiri di depan cermin, menatap dirinya yang sangat rapuh, keluarga hancur, percintaan juga. Seakan takdir tidak ingin membuat Vanilla bahagia. "Gue semakin yakin, di dunia ini gak ada yang namanya cinta sejati." "Di saat gue udah percaya akan adanya cinta tapi Arga kembali merusaknya!" Ia menonjok cermin di depannya, bahkan dia tak merasakan sakit sedikitpun karena jarinya berdarah terkena pecahan keca. Hatinya jauh lebih sakit, takdir hidupnya seakan membuat Vanilla tak ingin bertahan. "Vani, buka pintunya. Kamu baik-baik aja?" Aref berteriak dari luar. Vanilla berusaha tersenyum di saat hatinya hancur. "Yes, i'm okay." "Sayang, maafkan aku." Vanilla membalas ucapan Arga. "Kita berakhir, terima kasih sudah memberi warna dalam hidupku meski hanya sejenak." "Vanilla, gak ada yang berakhir." "Aku gak ingin bersama cowok yang jelas-jelas orangtuanya mau anaknya bersama cewek lain." Seketika tubuh Vanilla merosot ke lantai, darah segar terus mengalir, hingga membuat dirinya pucat pasi. Arga dan Aref yang tak mendengar suara Vanilla lagi langsung mendobrak pintu itu hingga terbuka dan melihat keadaan Vanilla yang mengenaskan. Arga langsung menggendong Vanilla ke atas kasur. "Aref, ada P3K? Tolong cepat ambilkan." Aref langsung bergegas mengambil P3K yang memang tersedia di sini. Kristal menatap miris jari Vanilla yang berdarah. Vanilla tidak benar-benar pingsan hanya saja tubuhnya lemas tak berdaya, hingga untuk merintihpun ia tak sanggup. Setelah itu Aref datang membawa apa yang diminta oleh Arga. "Tahan ya sayang, gak perih kok." Mula-mula Arga membersihkan luka tersebut dengan Alkohol, setelah selesai ia menetesinya dengan obat merah, lalu menutup luka itu dengan kain kasa. Hanya obat itu yang tersedia di sini. "Ref, tolong ambil minum." Setelah itu Aref ke dapur. Kristal cemburu melihat Arga sangat peduli dengan Vanilla, tapi dia juga bahagia jika Arga bahagia. Setelah itu Aref membawa segelas air putih. "Bangun sayang, minum dulu. Biar kamu gak terlalu lemas." Vanilla mengikuti perintah dan Arga membantunya minum. "Mau makan?" Vanilla menggeleng. "Mau makan apa? biar aku belikan," ujar Arga lagi. "Cuma mau tidur." Kemudian ia memejamkan matanya. Arga mengangguk. "Lain kali jangan pernah melukai diri kamu sendiri," Arga mengecup kening Vanilla. "Aku cinta kamu." Vanilla mendengar pengakuan Arga tapi dia enggan hanya untuk sekadar membuka mata.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD