Hari demi hari telah mereka lalui bersama, hubungan Arga dan Vanilla baik-baik saja meski Arga harus menahan rindu pada wanitanya itu karena mereka sudah tidak lagi tinggal bersama.
Vanilla yang awalnya tidak percaya akan cinta mulai belajar membuka hatinya untuk Arga. Pria itulah yang meyakinkan Vanilla bahwa cinta sejati itu ada, jangan karena orangtuanya yang berpisah dan kehancuran keluarganya, dia jadi merasa akan merasakan hal yang sama suatu saat nanti.
Untuk pertama kalinya setelah mereka menjalin hubungan, Arga mengajak Vanilla berkencan nanti malam. Vanilla tampak antusias dari mulai mencari dress, sepatu, tas yang akan dia gunakan sampai make up yang akan menghiasi wajahnya. Percayalah selama berpacaran dengan Arga ia menjadi tampak lebih feminin.
Benar kata orang, pacaran akan membuat orang yang cuek akan penampilan menjadi memperhatikan penampilannya, mungkin lebih tepatnya karena takut pujaan hati pindah ke lain hati.
Aref yang menemani Vanilla untuk belanja seluruh keperluan kencan nanti malam.
"Bang, Vani pantas jadi feminin gak?" tanyanya saat mencoba dress yang akan dia gunakan nanti malam.
Aref mengangguk seraya menampilkan senyumannya. "Tentu saja, adiknya Abangnya ini tomboy aja cantik apalagi feminin pasti Arga makin cinta sama kamu."
Vanilla tersipu malu. "Yaudah Vani siap-siap ya Bang, udah jam 5." Katanya mereka akan kencan jam 7 dan Arga sudah memberitahu alamat restorannya. Memang Arga tidak menjemputnya karena Vanilla yang menolak biar diantar oleh Aref saja lagipula restorannya tidak terlalu jauh dari apartemen.
Setelah mandi, ia merias wajahnya dengan make up tipis, berkat youtube jadi tidak perlu bingung cara merias wajahnya, kemudian mengenakan dress dan kembali berdiri di depan cermin, memastikan penampilannya baik-baik saja.
"Adiknya Abang cantik banget," ujar Aref ketika membuka pintu kamar Vanilla.
Vanilla menoleh. "Abang jangan bohong!"
"Serius atuh Neng, udah ah kita berangkat sekarang, 15 menit lagi jam 7."
Vanilla meraih tasnya dan mengikuti langkah Aref.
Hanya Arga yang mampu membuat Vanilla seperti ini. Ceria, banyak senyum dan mengurangi sikap bad-nya.
***
"Baik-baik ya, Dek," ujar Aref saat memberhentikan mobilnya di depan sebuah restoran yang dituju.
Vanilla mengangguk seraya melepaskan seat belt-nya. "Siap, captain."
Setelah itu Vanilla turun dari mobil tersebut dan masuk ke restoran, dia mencari sosok Arga tapi tidak menemukannya dan salah satu pelayan restoran menghampiri Vanilla. "Dengan Mbak Vanilla Fredella?" Vanilla bingung kenapa pelayan ini mengetahui namanya tetapi ia tetap mengangguk.
"Atas nama Pak Erlangga Argadian sudah mem-booking ruang VIP." Vanilla tercengang karena Arga terlalu berlebihan dalam hal ini, dia mengikuti pelayan yang mengantarnya ke ruangan yang lebih privacy tersebut.
Vanilla duduk seraya menunggu Arga yang belum menunjukkan batang hidungnya.
Ternyata Vanilla lupa membawa ponselnya yang dibelikan oleh Aref, jadi dia tidak tahu cara menghubungi Arga.
"Apa dia lupa?" tanya Vanilla kepada dirinya sendiri, "kenapa harus lupa? Dia sendiri yang membuat janji." Vanilla terus menerka-nerka kemungkinan yang terjadi.
"Semoga Arga baik-baik saja." Vanilla tetap berharap Arga datang dan mereka malam ini bisa dinner romantis.
15 menit kemudian muncul laki-laki yang pernah menempati ruang kosong di hatinya. Dia adalah Agas.
Tanpa menunggu perintah, Agas langsung menarik kursi di depan Vanilla kemudian duduk.
Vanilla mengernyitkan keningnya kemudian bertanya, "kenapa lo yang di sini, Arga mana?"
"Kak Arga di rumah, lagi makan malam sama orangtua gue dan Kak Kristal."
"Kristal?"
"Kristal mantan tetangga sekaligus sahabatnya Kak Arga sampai SMA sebelum dia pindah ke Los Angeles."
Hati Vanilla sakit, kenapa Arga membuat janji lalu pada akhirnya dia yang mengingkari, Vanilla berusaha menahan agar air matanya tidak turu dan menepis rasa sesak yang menghiasi hatinya.
"Pesan mak—"
Vanilla beranjak dari duduknya. "Lo makan sendiri aja, gue pulang!"
"Gue antar?"
"Gak perlu."
Walaupun begitu Agas tetap mengikuti langkah Vanilla.
"Van, ayolah."
Akhirnya Vanilla mengangguk, setidaknya dia tidak perlu naik kendaraan umum karena tidak mungkin meminta Aref yang menjemputnya, itu sama saja membuat Aref murka akan Arga.
***
Arga masih terjebak di sini, di rumah orangtuanya kalau bukan karena Lita yang bilang emergency tidak mungkin Arga ke sini saat dirinya hendak ke restoran. Niat hati hanya sebentar tapi wanita yang melahirkannya itu menahannya hingga sekarang.
Kalau bukan karena Arga yang masih menghargai dan menghormati kedua orangtuanya pasti sekarang Arga sudah kabur.
"Kristal dan Arga ini cocok ya," celetuk Wisnu menatap Kristal dan Arga.
Lita mengangguk. "Dari kecil mereka memang sudah cocok."
Berbeda dengan Kristal yang tersenyum, Arga justru memasang wajah masam. "Emang gak bisa ya ditunda hari apa gitu pertemuan ini?"
"Kamu gak rindu aku, Ga?"
Rindu? Ya, mungkin sedikit. Tapi dia lebih mengutamakan Vanilla sekarang daripada harus membahas rindunya dengan Kristal.
"Dulu kamu pernah bilang ke aku, kalau aku pulang ke Indonesia, orang pertama yang aku cari itu adalah kamu dan aku udah menepatinya. Belakangan ini kamu susah sekali dihubungi," Kristal menarik napas pelan. "Kalau emang kamu udah memiliki kekasih tapi gak seharusnya kamu mengabaikan sahabatmu 'kan?"
Arga menatap Kristal, dia masih ingat sekali dengan ucapannya itu. Adalah ucapan seorang anak SMA ketika ditinggalkan oleh sahabat yang dicintainya, dulu Kristal memang segalanya untuk Arga, hanya perempuan ini yang mengisi hatinya dan dulu dia punya impian ketika mereka sama-sama dewasa akan melamar Kristal.
Tapi setelah Kristal meninggalkan Indonesia, rasa itu kian memudar apalagi saat Arga bertemu Vanilla, rasa ingin memiliki Kristal hilang begitu saja dan Vanilla lah yang ingin Arga miliki. Bukan Kristal atau perempuan manapun.
"Sorry, aku emang ada janji dengan kekasihku jadi aku gelisah."
"Kenapa gelisah? 'kan sudah ada Agas yang mengantarnya pulang!" ujar Wisnu, bahkan sampai detik ini Wisnu belum memberikan izin untuk hubungan Arga dan Vanilla.
Andai saja Vanilla bukan anaknya Andra pasti orangtuanya Arga akan dengan mudah memberikannya izin.
Getaran ponsel di saku celananya membuat Arga kaget kemudian membukanya yang ternyata dari Vanilla.
My Vanilla : jangan melambungkan aku setinggi langit namun pada akhirnya akan terhempaskan ke bumi