Bab 7. Fitting Baju Pernikahan

1126 Words
“Kamu gak apa-apa, Gala?” tanya Nadia setelah Karin dan anaknya benar-benar keluar dari rumahnya. Bukan hanya khawatir dengan luka pada telapak tangan Gala. Namun, ia tahu jika Gala hanya berlagak kuat di depan Karin dan sebenarnya rapuh di dalam. “Gak apa-apa, Mbak,” jawab Gala berusaha menghindari tatapan langsung dari Nadia. Ia takut kakaknya itu akan mengomel panjang lagi jika tahu dirinya ketahuan masih menyimpan rasa pada mantan istrinya itu. Ia segera berjongkok, mengambili pecahan kaca dari vas bunga yang dilempar Karin untuk mengalihkan perhatian Nadia. “Maaf, Mbak. Ini semua salahku,” imbuhnya. Nadia hanya menghela napas. Ia tahu jika adiknya sedang menghindari tatapannya. Ia memegang pelan pundak Gala, mencoba menghentikannya. “Sudah. Biarin Bibik yang bersihkan besok. Kamu istirahat saja sana! Cepetan obatin luka di telapak tangan kamu itu.” Gala tak menggubris ucapan Nadia. Lebih tepatnya, ia tidak mendengarkannya karena pikirannya sedang berkelana terhadap mantan istrinya itu. Ya, kemunculan Karin akhir-akhir ini, terasa sangat mengusiknya. Jika Gala tidak menyimpan rasa cinta, pasti semua tidak akan serumit ini. Hanya saja, Karin adalah satu-satunya wanita yang sangat ia cintai. Tidak mudah baginya melupakan semua kenangan indah yang sudah ia bangun bersama mantan istrinya itu. “Gala!” Teriakan Nadia baru menyadarkan Gala. Pria 39 tahun itu bahkan hampir terloncat kaget. “Iya, Mbak?” tanyanya sambil mendongak ke arah Nadia. Nadia hanya menggelengkan kepala sambil berdecak. “Kamu gak dengerin Mbak bicara dari tadi?” Gala kembali menunduk, melanjutkan mengambil pecahan kaca itu. “Maaf, Mbak. Aku lagi banyak banget pikiran,” ucapnya. Nadia mendengkus kasar dan pergi menjauhi Gala. Sebenarnya mulutnya sangat gatal dan tidak sabar untuk memberi berbagai wejangan. Namun, ia memilih pergi karena tidak tega setelah melihat raut yang tercipta dari Gala. Lalu, beberapa saat kemudian dia kembali dengan kotak obat di tangannya. “Sini, mana tangan kamu!” perintah Nadia. “Ini gak sakit kok, Mbak,” jawab Gala. “Cepetan! Duduk sini!” Nadia meninggikan suaranya. Hal yang ditakutkan Gala. Pria itu tidak bisa berkutik jika kakak satu-satunya itu mulai meninggikan suara. Akhirnya, Gala beranjak dan menuruti perintah Nadia untuk duduk di salah satu sofa sambil menerima pengobatan dari Nadia. “Mbak kan sudah bilang. Mending kamu cepetan nikah sama Sasha biar mantan istri kamu itu gak ganggu kamu lagi.” Akhirnya, omelan itu muncul begitu saja dari mulut Nadia. Mau ditahan seperti apapun. Nyatanya, Nadia tidak kuat menahannya. Gala hanya mendengkus saat mendengarkan Nadia dan membiarkan kakaknya itu membersihkan dan mengobati goresan pada telapak tangannya. “Gimana? Kamu udah tanya ke Sasha? Kapan dia siap nikah sama kamu?” tanya Nadia. “Dia belum kasih jawaban, Mbak. Momennya enggak pas. Ayahnya baru aja lewatin masa kritis.” Kali ini ganti Nadia yang mendengkus. Ia berhenti sejenak, dan menekan kuat-kuat kapas yang sudah dibubuhi alcohol kepada telapak Gala hingga si pemilik telapak tangan meringis kesakitan. “Emang kamu aja yang suka ngulur waktu. Kalau kamu sama Sasha udah nikah, mungkin mantan istri kamu itu gak bakal dateng ke sini kayak tadi.” Gala kembali menghela napas panjang. Bingung harus menjelaskan kepada kakaknya itu seperti apalagi. Karena apa yang diucapkan kakaknya itu belum menjamin seratus persen keakuratannya mengingat sikap gigihnya Karin yang terus-menerus berusaha kembali padanya. “Tapi, Pak Hendra udah mendingan, kan?” tanya Nadia sambil membalutkan perban pada telapak tangan Gala. Gala mengangguk saat menjawab, “Udah, Mbak. Tadi sempat ngobrol sama aku sebentar.” Namun, mendengar nama ayah Sasha disebut, dia jadi teringat dengan sesuatu. “Astaga! Aku tadi lupa gak pamit ke Sasha dan Pak Hendra kalau mau pulang.” *** Keesokan harinya, Gala datang ke rumah sakit. Kali ini, Hendra sudah dipindahkan ke ruang rawat inap, bukan ruang ICU. “Sasha, Pak Hendra,” sapa Gala saat dirinya baru saja masuk ke dalam ruangan. Di dalam ruangan, terlihat Sasha yang sedang menyuapi Hendra karena kedatangan Gala bertepatan dengan jam makan siang pasien. Dia datang tidak dengan tangan kosong. Melainkan dengan sekeranjang full buah di tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya terlihat membawa sekantong kresek yang tidak bisa Sasha tebak isinya. “Om Gala?” Raut senang Sasha tidak bisa ditutupi lagi. Ia spontan tersenyum, bahkan berdiri dan hampir menghampiri Gala. Entah kenapa, melihat Gala di sini membuatnya sedikit merasa tenang dan juga menghibur baginya. Pesona Gala semakin kuat di mata Sasha. Namun, sebelum Sasha melangkah, Gala sudah lebih dulu sampai ke dekat ranjang dan meletakkan buah tangannya di atas nakas. “Maaf, Pak Hendra, saya kemarin ada urusan yang benar-benar mendadak. Saya sampai gak sempat mau pamit.” Sasha sempat kecewa karena bukan dirinya yang pertama dilihat Gala. Namun, lebih tidak mungkin jika ia cemburu pada ayahnya. Yang penting, Gala sudah menjelaskan perihal kepergiannya yang mendadak kemarin malam. Sebenarnya banyak sekali hal yang ingin Sasha tanyakan kepada Gala perihal kepergian mendadak Gala kemarin. Apalagi, ia mendapat pesan singkat dari Rena, jika mantan istri Gala mengacaukan rumah kemarin malam. Sungguh ia penasaran dengan apa yang terjadi. Namun, Sasha berusaha menahan untuk tidak bertanya. “Iya, Nak Gala tidak apa-apa. Lagian, Nak Gala pasti capek seharian habis kerja. Malah Bapak yang gak enak kalau biarin Nak Gala berlama-lama di sini.” “Enggak, kok, Pak. Saya yang minta maaf karena tidak ngasih kabar.” Hendra tersenyum mendengar jawaban Gala. “Terima kasih juga buah oleh-olehnya. Nak Gala tau aja kalau Bapak suka apel?” Gala membalas senyuman Hendra. “Syukurlah kalau Bapak suka dengan buah yang saya belikan.” Dari tadi, pandangan Gala hanya tertuju pada Hendra tanpa perhatikan Sasha yang ternyata telah mengamati rautnya dari tadi. Lalu, saat dia beralih menoleh ke Sasha, gadis itu buru-buru menunduk untuk menghindari tatapannya. Gala tidak tahu kenapa Sasha menghindari tatapannya. Tapi, ia tidak begitu memikirkannya. “Sha, ini aku bawakan makanan buat kamu. Kamu pasti belum sempat makan, kan?” ucap Gala sambil menyodorkan sekantong kresek dari tangannya. Sasha seketika mendongak. Senyumannya langsung merekah karena mengartikan sikap Gala sebagai bentuk perhatian kepadanya. Seketika hatinya serasa melambung tinggi. “Sweet banget sih, Om Gala? Bener-bener calon suami idaman,” batin Sasha. “Makasih, Om,” jawabnya sambil menerima kantong kresek itu. “Makan dulu, gih. Habis ini kamu mau aku ajak pergi.” “Ke mana, Om?” Bukannya menjawab Sasha, Gala malah mengalihkan pandangan ke Hendra lagi sambil mengatakan, “Pak, apa Bapak keberatan kalau Sasha saya ajak keluar sebentar? Bapak enggak apa-apa kalau kami tinggal sebentar?” Hendra sempat terdiam, melihat ke arah putrinya sejenak seolah mencari persetujuan dari Sasha. Namun, ia malah menemukan raut sumringah dari putri satu-satunya itu yang terus menatap Gala, yang menandakan jika gadis itu seolah menantikannya. Hendra sempat tersenyum tipis melihat kebahagiaan dari raut putrinya. “Boleh Nak Gala. Memangnya mau pergi ke mana?” “Mau fitting baju buat pernikahan, Pak.” Jawaban Gala tentu saja membuat senyuman Sasha semakin melebar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD