Gyzell berlari kencang ke arah saat ia melihat sang putra yang sedang berbincang asyik bersama dengan Nick. Segala pertanyaan buruk itu hinggap di kepala Gyzell.
“Al!” Gyzell memanggil nama putranya dengan suara yang tegas. Membuat ke dua lelaki yang sedang asyik bercanda itu menoleh ke arah sumber suara.
“Ayo kita pulang!” perintah Gyzell masih dengan nada suara yang sama.
Alger yang sedang duduk berhadapan dengan Nick pun menatap ke arah Gyzell dengan perasaan yang bingung.
Sebenarnya salah bocah itu di mana sehingga membuat Gyzell begitu marah kepadanya? Begitulah pertanyaan yang ada di dalam hati Nick.
“Ngapain kamu di sini?” tanya Gyzell dengan tatapan yang sinis. “Bukannya tadi kamu bilang mau kembali ke kantormu. Lalu, mengapa kamu cepat sekali berada di sini?” sambung Gyzell bertanya sembari menampilkan wajahnya yang keheranan.
Nick terkekeh pelan, “Aku di sini menemani Adikmu, kasihan sekali dia sendirian di sini. Kakak macam apa kamu?” Nick menjeda ucapannya sebentar, “Kemana pun aku pergi itu bukan urusanmu ‘kan? Kecuali kita sudah menjadi sepasang kekasih,” sambung Nick disertai kekehan.
“Jangan mengaturku! Dalam mimpimu kita akan menjadi sepasang kekasih.” Sarkas Gyzell. Pandangan matanya beralih pada seorang bocah tidak berdosa yang sedang duduk manis di tempatnya. “Al, ayo kita pulang!” Gyzell meraih pergelangan tangan Alger, tetapi Nick langsung menahannya.
“Al sangat senang bermain denganku, iya kan Al?” Nick bertanya dengan bibir yang membentuk sebuah lengkungan senyum yang menenangkan.
Sedangkan Alger, bocah itu hanya bisa menunduk takut. Dia baru saja ingat, bahwa mamanya tidak pernah mengizinkan dia untuk berbicara dengan orang asing.
“Maafin Al, Ma … em … Kak,” ucap Al dengan kepala yang menunduk takut.
“Ma? Maksudnya apa Zell?” tanya Nick yang semakin di rundung rasa penasaran.
“Nick, sebaiknya kamu pulang dan urusi saja pekerjaanmu!”
Gyzell ingin membawa pergi Alger, tetapi Nick lagi-lagi menahan pergelangan tangannya. Tindakan Nick semakin membuat Gyzell geram. Keras kepala lelaki itu sungguh membuatnya kesal.
“Nick, lepaskan tanganku! Aku ingin pulang, Al sudah lelah.” Gyzell berbicara masih dengan nada yang pelan. Dia tidak ingin amarahnya meledak di depan Alger dan membuat bocah itu semakin merasa bersalah.
Nick terkekeh tidak percaya, “Aku hanya ingin bermain dengan Al, apa itu salah? Toh Al sendiri tidak keberatan bermain denganku. Zell, harus dengan cara apa aku menarik hatimu?”
Gyzell mengeratkan kepalan tangan kirinya. Kesabarannya sudah benar-benar habis sekarang. Karena meladeni sikap Nick yang memang sangat keras kepala.
“Cara itu tidak akan pernah ada di dalam kamus kehidupanku.” Lalu Gyzell melenggang pergi bersama dengan putranya.
Nick tidak menahannya, karena lelaki itu tahu wanita yang dia cintai sudah merasakan kesal. Nick hanya bisa melihat punggung Gyzell yang semakin menjauh.
“Aku berjanji, suatu saat nanti aku akan mengukir senyum kebahagiaan itu di wajah kamu, Zell,” ucap Nick penuh dengan ketulusan.
***
Sementara itu di dalam mobil milik Gyzell. Wanita itu masih mengendalikan emosinya dan masih mencoba meredamnya. Dia takut Alger akan semakin merasa bersalah karena kejadian beberapa menit yang lalu.
“Maafin Al, Mah,” ucap bocah lelaki itu lirih dengan kepala menunduk. Air matanya sebentar lagi akan luruh. Suaranya pun terdengar serak.
Gyzell menatap putranya dari arah samping. Melihat Alger yang sangat merasa bersalah membuat hatinya seketika menghangat. Amarah yang tadinya meledak-ledak kini perlahan memudar.
Gyzell menghela napasnya pelan, “Mama memang sempat marah sama Al. Al tahu kan kalau Mama itu sangat sayang sama Al?” tanya Gyzell dan Alger pun mengangguk lirih. “Mama nggak mau Al ngobrol lagi sama orang asing. Mama belum mengenal dia sepenuhnya. Mama takut nanti Al kenapa-napa. Kamu mengerti ‘kan sayang?” lagi-lagi Alger mengangguk paham. Bocah itu mengusap air matanya lalu mendongak menatap Gyzell dengan pandangan mata yang teduh.
“Al sayang sama Mama.” Alger memeluk tubuh Gyzell erat.
“Mama lebih menyayangi Al.”
Keduanya berpelukan erat seolah tidak ingin terpisahkan. Keduanya saling membutuhkan satu sama lain. Bila salah satu di antara mereka sakit, maka keduanya akan sama-sama merasakan sakit yang luar biasa.
Diam-diam Gyzell menitikkan air matanya. Hari-harinya kembali ditikam sesuatu benda tajam. Melihat dari ketegaran Alger membuatnya malu sebagai orang dewasa. Alger yang masih terbilang kanak-kanak, tetapi dia sangat bisa mengerti keadaan.
“Kita pulang sekarang ya sayang. Pasti Al laper ‘kan?”
Alger mengangguk dengan penuh semangat, “Iya Mah, dari tadi cacing di perutnya Al udah pada demo.”
Gyzell tertawa kecil lalu tangannya mengusap puncak kepala putranya, “Anak Mama bisa aja. Ya sudah, ayo kita pulang!” Gyzell mulai melajukan mobilnya.
***
Setelah menempuh perjalanan yang memakan waktu kurang lebih 20 menit, akhirnya Gyzell dan Alger sampai di rumah.
“Mah, Al baru ingat besok Al ada lomba mewarnai loh. Kata Ibu guru semua orang tua harus hadir,” ucap Alger sembari melepas sepatunya.
“Wahhh anak Mama Masya Allah sangat hebat sekali. Mama akan selalu mendukung apapun kegiatan Al, asalkan masih di jalan yang benar.”
Wajah Alger berubah masam. Bukan itu kalimat yang dia inginkan.
“Loh, kok Al cemberut sih?” tanya Gyzell. Wanita itu berjongkok untuk menyamai tinggi putranya.
“Apa Mama nggak mau lihat Al di perlombaan besok?” tanya bocah itu dengan sangat hati-hati. Alger tahu hari-hari mamanya sangat sibuk. Akan tetapi, di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, dia sangat menginginkan ditemani orang tuanya saat perlombaan itu tiba.
Wajah Gyzell pun berubah sendu, selama Alger bersekolah, Gyzell sangat jarang sekali menemani putranya di acara sekolah. Namun, wajah sendu itu langsung berubah menjadi senyuman.
“Mama akan usahakan besok datang ya.”
“Al tidak ingin berharap lebih.” Lalu bocah laki-laki itu masuk ke rumah dengan kepala menunduk.
Perasaan Gyzell pun kembali berdenyut nyeri. Lagi-lagi dia tidak bisa mengabulkan keinginan sederhana putra semata wayangnya. Gyzell sangat ingin menemani Alger, tetapi jadwal kerjanya yang padat menjadi penyebab utama mengapa dia jarang sekali hadir di acara sekolah.
Gyzell pun menghela napasnya pelan, lalu dia berdiri lalu beranjak dari tempatnya. ikut masuk ke rumahnya menyusul Alger.
“Al kenapa?” tanya Aleysia yang tidak sengaja melihat cucunya naik ke atas dalam keadaan wajah masam.
“Besok di sekolahan Al ada lomba mewarnai, Mah,” jelas Gyzell lalu wanita itu membanting tubuhnya di sofa lalu disusul Aleysia yang duduk di samping putrinya.
“Temani putramu, Nak. Al sangat ingin kamu melihat dia berkompetisi dengan murid lain.”
Gyzell membuka kelopak matanya yang sempat terpejam.
“Zell sangat ingin menemani Al, Mah. Tapi jadwal Zell sangat padat besok.” Gyzell mengusap wajahnya frustasi.
“Mama tahu bagaimana pekerjaanmu yang selalu menuntutmu untuk siap di setiap waktu. Ta[I, apa tidak bisa kamu meluangkan waktu sebentar? Al sering cerita sama Mama, kalau dia ingin kamu sesekali saja melihat dia berkompetisi. Setidaknya jika kamu tidak bisa mengabulkan keinginan dia mempunyai sosok Papa, maka kabulkan lah keinginan paling sederhana ini.” Setelah berucap demikian, Aleysia pun beranjak dari duduknya meninggalkan Gyzell seorang diri yang sedang bergelut dengan pikirannya.
Gyzell menegakkan tubuhnya, “Apa yang dikatakan Mama ada benarnya,” gumamnya lalu Gyzell pun beranjak dari duduknya menuju kamarnya.
Saat Gyzell ingin masuk ke dalam kamarnya, tidak sengaja dia melihat pintu kamar putranya sedikit terbuka. Gyzell penasaran dengan apa yang dilakukan Alger di dalam sana. Maka diam-diam Gyzell mengintip pada celah pintu.
Gyzell menggigit bibir bagian bawahnya saat melihat Alger sedang asyik memegang pensil warna dan sebuah buku gambar di sana. Putranya sangat berbakat dalam bidang seni dan itu baru saja Gyzell ketahui. Katakanlah Gyzell memang wanita yang gila kerja sampai melupakan putranya sendiri.
Tok Tok Tok
Gyzell memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar putranya. Alger yang sedang asyik dengan dunianya sendiri pun terkejut mendengar suara pintu diketuk.
“Mama,” ucapnya saat melihat Gyzell masuk ke kamarnya.
“Mama boleh masuk ke kamar kamu kan?” tanya Gyzell sembari menutup kembali pintu kamar putranya.
Alger mengangguk, “Boleh kok, Mah.”
Gyzell duduk di kasur kecil milik Alger. Kasur yang hanya bisa ditiduri oleh satu orang itu membuat Gyzell seketika nyaman duduk di sana.
“Al lagi mempersiapkan lomba untuk besok ya?”
Alger mengangguk mantap, “Iya Mah. Meskipun Mama nggak dateng, tapi Al akan berusaha membawa piala itu untuk Mama,” jelasnya dengan nada yang begitu ringan.
Gyzell diam, nyaris air matanya akan kembali tumpah. Sebegitu ambisiusnya sang putra ingin melihat mamanya bahagia dan bangga.
“Mama akan usahakan datang,” ucap Gyzell membuat Alger mendongak terkejut.
“Mama serius?” tanyanya masih tidak percaya.
Gyzell mengangguk dengan lengkungan senyum yang indah, “Iya, Mama akan usahakan datang ke acara lomba itu. Mama tidak mengharapkan Al membawa piala untuk Mama, bakat Al sudah tersalurkan itu sudah cukup membuat Mama bahagia.”
Alger turun dari kursi belajarnya lalu berlari ke arah Gyzell.
“Terima kasih, Mah,” ucapnya di dalam dekapan sang mama.
“Sama-sama sayang.”
“Maafkan Mama yang terkadang tidak bisa mengabulkan permintaan sederhanamu, sayang,” ucap Gyzell di dalam hati.