“Yumna, ayo berangkat, Sayang!”
Dia mencari keberadaan anaknya yang belum juga turun dari kamar. Padahal tadi ia pikir si kecil sedang ada dibelakangnya. Sewaktu Teguh masuk, melihat si kecil sedang memegang foto Tari. “Mama, nanti kita ketemu, ya. Una sayang, Mama.” Anaknya mencium foto Tari yang masih disimpannya, bahkan foto pernikahan yang dulu dibiarkan digudang sudah mulai dipasang usai Yumna sudah menerima kepergian Tari.
Dia menggendong Yumna turun dari kamar lalu mereka akan pergi ke rumah neneknya Yumna—rumahnya Tari.
Flashback.
“Gimana, aku kan udah wujudkan kalau aku bakalan nikah kamu. Sekarang kamu udah jadi istri aku.”
Tari tersenyum saat mereka sudah sah menjadi suami istri. Saat ini mereka sedang berpelukan di atas ranjang. Ya, Teguh bukan pria b******k. Dia menjaga Tari selama mereka pacaran. “Aku nggak bisa jelasin bagaimana perasaan aku begitu sayang sekali sama kamu, Teguh.”
Teguh mengecup bibir istrinya. “Nggak boleh panggil Teguh lagi, harus panggil, Mas!”
“Aku lupa.” Jawab Tari dengan ekspresi yang sangat bahagia. Rasanya seperti mimpi ketika Teguh begitu menepati janjinya untuk menikahi kekasih yang sudah delapan tahun dia pacari ini. Mereka begitu sabar menghadapi satu sama lain. Selama ini tidak pernah ada perselingkuhan, dia begitu sayang pada Tari yang terus menemaninya. Sampai Tari juga diterima untuk menjadi seorang guru di salah satu SMP tempat tinggalnya kemudian menjadi pegawai tetap juga di sana.
Namun begitu menikah, dia harus meninggalkan pekerjaannya. Karena Teguh ingin jika istrinya tetap berada di rumah. Tari sangat penurut, karena keadaan ekonomi yang sudah membaik. Jadi mau tidak mau dia harus meninggalkan profesinya.
“Aku pengen punya anak cewek.” Teguh tiba-tiba mengungkapkan isi hatinya pada Tari. Padahal sebagian besar laki-laki berharap bahwa anaknya cowok. Tapi tidak bagi Teguh, dia ingin punya anak perempuan.
Tari tersenyum.”Aku belum siap lakukan itu.”
“Nggak harus sekarang. Aku nggak minta juga. Aku ngerti perasaan kamu. Kamu pasti gugup, karena kita juga nggak pernah lakukan hal-hal aneh selama pacaran.”
Tari tersenyum kepada dirinya. “Kamu cantik sekali.”
“Aku selalu cantik di mata kamu sejak lama, Mas.”
Teguh menarik Tari ke dalam pelukannya.
Bayangkan saja sekarang kamar mereka dihias secantik mungkin karena malam pertama. Tapi tidak bagi Teguh, ia tidak langsung melakukannya. Ia menunggu Tari siap untuk disentuh sebagai istri.
Hari-hari begitu begitu sangat indah ketika mereka menjadi suami istri. Kebahagiaan juga terpancar dari raut wajah kedua orang tua mereka masing-masing karena keduanya akhirnya meresmikan hubungan. Sering bertengkar itu sudah menjadi hal yang biasa. Tapi keduanya tidak pernah bertengkar dengan alasan selingkuh.
Menjelang beberapa bulan pernikahan. Tari keluar dari kamar mandi saat Teguh sedang duduk di sofa yang ada di kamar sambil menonton televisi. Dia memberikan Teguh sebuah alat yang di mana ada gambar garis dua. “Apa ini?”
Tari menangis. “Aku hamil.”
Bayangkan saja bagaimana bahagianya Teguh mendengar istrinya hamil anak pertama mereka. “Kamu serius?”
Tari mengangguk pelan. “Iya, Mas. Anak kita.”
Teguh berdiri lalu memeluk istrinya. “Makasih sayang, terima kasih kamu udah wujudkan keinginan aku.” Harapannya sangat besar ingin punya anak dan akhirnya terwujud di bulan kelima mereka menikah. Akhirnya Tari hamil juga. Dia tidak bisa menahan rasa bahagianya lalu dia mencium keningnya Tari. “Aku bahagia sekali, sayang.”
“Sama, aku juga bahagia sekali dengan kenyataan ini. Mas kita akan jadi orangtua.”
“Tentu sayang, kita bakalan jadi orangtua nantinya. Kamu harus tetap kuat dan sabar, ya!”
Tari mengangguk lalu membalas pelukannya.
Flashback off
Sungguh bahagia hari itu, hari di mana Teguh merasa bahwa dunia sedang berpihak padanya. Sayangnya, hanya sementara. Sementara dia diberikan kebahagiaan yang begitu didambakan.
Usai membeli bunga yang akan dibawa ke makam istrinya. Mereka berhenti di pemakaman umum sebelum ke rumah mertuanya.
Di sana terpampang dengan jelas nama Azria Lestari di batu nisan itu. “Sayang, kami datang lagi.”
Sering, bahkan sangat sering ketika Yumna sakit. Tapi anaknya sering merasa dipeluk oleh Tari. Yumna pernah mengatakan itu ketika sakit, bahwa dia semalam dipeluk oleh Tari, sampai Teguh sendiri menangis mendengar cerita anaknya. Pasalnya Yumna belum merasakan sentuhan Tari waktu itu. Tahu jika itu hanyalah halusinasi, tapi tidak perlu bagi Teguh menjelaskan pada Yumna.
“Mama, Una dateng lagi sama, Papa. Una udah besal, udah bisa mandi sendili. Una kangen, Mama. Pengen ketemu sama, Mama.” Yumna menangis saat memegang batu nisan Tari. “Una pengen peluk, Mama. Kenapa Una nggak bisa peluk, Mama?”
Setiap kali dia mengajak Yumna di sini, pasti anaknya akan menangis dan ingin sekali bertemu dengan Tari. Mereka dipisahkan oleh dunia berbeda. Tapi tidak membuat cinta Teguh berkurang sedikit pun pada istrinya.
Teguh juga memegang batu nisannya Tari. “Kamu pasti tenang di sana, kan? Kamu hebat, kamu yang terbaik. Yumna sudah besar, kamu pasti bisa lihat dari sana? Tari, kamu tahu? Dia selalu ceria, dia selalu rindu kamu. Kadang dia bilang kalau dia nginap di kamar kamu, dia bisa peluk kamu. Kamu baik-baik di sana, aku juga rindu kamu.”
Mereka pulang dari sana lalu ke rumah mertuanya.
Tiba di sana, justru Yumna tidur di jalan tadi.
Dia menggendong si kecil ketika hendak masuk. “Ma, Pa, kalian apa kabar?”
“Baik, Nak. Yumna tidurin dulu, yuk!”
Teguh ikut ke kamar yang disediakan untuk Yumna. Tidak lain adalah kamarnya mamanya Yumna. Usai menidurkan si kecil, dia melihat ke sekeliling kamar yang masih memperlihatkan kebersamaan mereka berdua dulu. Ada foto dia di sana ketika pertama kali bertemu dengan istrinya.
Melihat ke arah Yumna yang tidur, dia melihat sosok Tari di sana. Mirip sekalli.
“Teguh, kamu ajak dia ke makam, Tari?”
Di ruang keluarga, Teguh duduk bersama dengan mertuanya. “Iya, dia yang minta. Katanya kangen. Aku nggak bisa nolak, Ma.”
“Mama kasihan kalau dia nangis terus kamu ajak ke sana. Terus, apa nggak sebaiknya kamu buka hati? Mama sama Papa nggak masalah kok.”
“Ma, kalau untuk itu, maaf banget. Aku bukannya nggak mau dengerin apa kata, Mama. Tapi aku bisa kok tanpa istri.”
“Yumna butuh kasih sayang juga.”
“Nyari Ibu buat dia nggak bakalan mudah. Tiga belas tahun mencintai dia sampai detik ini, nggak yang kurang sedikit pun untuk, Tari.”
“Mama sama Papa ngerti. Yumna kasihan kalau kamu biarin dia sedih terus inget, Mamanya. Kamu bisa jelasin ke dia seberapa banyak? Mumpung dia masih kecil.”
“Nyari mama buat Yumna itu nggak gampang, Ma. Waktu aku dapat pengasuh aja, dia dibiarin nangis. Belum lagi waktu dia dicubit sama pengasuhnya sendiri. Apa aku nggak kesal waktu itu? Aku nggak bisa memperburuk keadaan itu, Ma. Biar saja seperti ini. Karena aku yakin Yumna juga ngerti. Dia juga sayang sekali sama Mamanya. Setiap hal yang dia bisa, dia selalu cerita ke Tari, walaupun nggak bakalan pernah ada jawaban. Dia itu pintar, dia...”
“Dia nggak bakalan ngerti tentang mamanya yang udah nggak ada. Kami ikhlas kalau kamu cari Mama buat dia, Teguh. Mama sama Papa juga nggak bisa lihat kamu seperti ini terus. Empat tahun kamu seperti mayat hidup. Nggak ada kebahagiaan. Mama tahu kalau bukan karena Yumna, kamu pasti nekat lakukan hal-hal tidak baik. Kami tahu kamu seperti apa. Kamu sangat sayang sama, Tari. Tapi sudah waktunya kamu buka hati.”
“Aku pikirkan lagi, Ma. Aku bakalan nyari Mama buat dia. Kalau Yumna diterima, otomatis dia juga akan nerima aku.” Teguh menjawab dengan percaya diri tentang permintaan mertuanya yang meminta dia mencari ibu baru untuk Yumna.