Hilang Arah

1102 Words
“Una makan dulu, Nak!” Teguh berada di kediaman orangtuanya setelah dia mengajak si kecil berkunjung ke sana. Cukup lama ia tidak menginjakkan kaki di rumah orangtuanya, apalagi semenjak Tari meninggal. Rasanya tidak ada kehidupan lagi yang bisa dia andalkan. Kehilangan itu memang menyedihkan, apalagi ketika sedang berusaha ingin hidup lebih baik dan malah merasa kehilangan. Seolah separuh hidup dibawa pergi oleh orang yang meninggalkan. Yumna sedang bermain sendirian di ruang keluarga dengan mainan yang dibawakan dari rumah. Sedangkan orangtuanya Teguh sudah beberapa kali meminta ia untuk membuka hati. Tapi tidak semudah itu baginya membuka hati untuk yang lain. Jelas dia mencintai Tari sampai sekarang. Sempat dia tidak ingin membuak hati pada orang lain bahkan untuk bicara pun enggan. Tapi sayangnya dia butuh semangat juga untuk menghidupi anaknya. “Papa.” Yumna menepuk pahanya ketika dia melamun. “Papa bengong?” “Maaf, ya. Mau disuapin?” Yumna menggeleng. “Nggak, Pa. Una mau sendili.” Teguh beranjak dari tempat duduknya kemudian membawakan makanan itu ke meja kecil tempat Yumna bermain tadi. “Papa taruh sini, ya. Nanti kalau mau nambah bilang, ya!” Yumna duduk dan berdoa sebelum makan. “Pintar ya anak Papa.” Yumna menyengir dan langsung makan sendiri. Dia tidak mau disuapi dan malah mau menyuapi diri sendiri. Sedangkan Teguh kembali lagi ke sofa yang ada mama dan juga papanya di sana. “Mama kadang nggak ngerti sama kamu, Teguh. Sebenarnya bagaimana perasaan kamu sama dia? Apa kamu mencintai dia atau tidak? Kadang Mama berpikir kamu sering sekali bersikap aneh. Kalau memang kamu mencintai dia, ikhlaskan dia pergi. Jangan seperti ini terus. Malah dia sedih kalau kamu bersikap layaknya orang nggak bisa urus anak sendiri.” Teguh bersandar di sandaran sofa, sembari melirik anaknya yang makan sambil ngobrol dengan bonekanya. Sesekali dia menawari boneka itu makan dan tertawa sendiri. Tatapannya kembali pada sang mama yang duduk di seberangnya. “Aku mencintai dia.” “Cinta tapi harus ikhlaskan. Puncak mencintai adalah saat kamu harus mengikhlaskan dia pergi, Teguh. Mama bukannya nggak mau kamu nggak cinta sama dia. Cuman cara kamu ini nggak bener. Yumna harus kamu perhatikan dengan lebih. Masa iya sih kamu kayak gini terus? Bengong mulu. Mertua kamu sering banget hubungi Mama. Mereka kasihan lihat kamu yang kayak mayat hidup seperti ini, Teguh.” Pria itu berdecak ketika dianggap mayat hidup oleh mertua dan juga orang tua sendiri. Jelas dia merasa seperti itu karena dia juga sadar bahwa tidak ada kehidupan lagi yang layak untuk dia perjuangkan selain Yumna. Separuh hatinya telah pergi meninggalkan dia seorang diri. Andai bukan karena cintanya yang besar terhadap si kecil. Barangkali Teguh sudah ikut menyusul Tari. “Mama jangan bicara seperti itulah. Aku sendiri nggak masalah kok. Setiap hari aku selalu antar Yumna ke daycare.” “Terus, gimana kamu bisa urus dia kalau di rumah? Apa kamu abaikan dia juga seperti ini?” Yumna sering menangkap basah dirinya yang melamun. Kalau bukan karena Yumna yang harus dia perjuangkan, Teguh juga sudah pasti gila. Membayangkan Tari meninggalkan dirinya waktu itu, sudah cukup gila baginya ketika tidak bisa menerima kehilangan yang sangat berat. Menghidupi anaknya sendirian dan itu merupakan bukan hal yang sangat mudah. “Kalau di rumah aku urus dia dengan baik kok, Ma.” “Bagaimana kalau adik kamu juga tinggal di sana? Biar dia bantu kamu urus Yumna?” “Nggak usah, Ma. Biar aku sendiri aja. Dia juga punya kehidupan pribadi, aku nggak mau nanti malah terganggu tuh hidupnya. Mama juga nggak usah khawatir kalau soal Yumna. Tanya aja sama dia, aku urus dia dengan baik kok.” Sudah jelas kalau orang tuanya Teguh menyerah mengingatkan Teguh perihal membuka hati. Tapi minimal dia bisa menerima orang baru di dalam rumahnya untuk membantu mengurus Yumna lagi. Atau mencari pengasuh yang terbaik, meski dulu pernah ada dua orang. Tapi malah menyakiti si kecil. Teguh juga trauma dengan pengasuh yang tidak terawasi. “Mama mau ngomong apa coba kalau kamu udah bilang gini.” “Papa akan dukung kamu jadi duda seperti ini kalau kamu bisa urus, Yumna. Tapi kadang Papa nggak tahu kamu di luar ngapain aja. Papa takut kamu depresi dan sentuh minuman beralkohol, dan juga obat-obatan terlarang. Yang kemudian Yumna hidup sendiri. Papa takut itu terjadi sama kamu. Papa sering suruh kamu ke sini karena khawatir kamu lepas kendali.” “Aku udah dewasa, mana mau nyentuh hal-hal yang buat aku rugi, Pa. papa nggak usah terlalu jauh khawatirnya.” “Papa khawatir ya jelas khawatir, Teguh. Karena kamu sering melamun gini. Ya bukan satu atau dua kali kami lihat kamu ngelamun. Apa nggak sebaiknya kamu tinggal di sini? Biar kamu bantu urus juga, dia nggak usah ke tempat penitipan lagi?” Dia tidak setuju, karena bagaimanapun juga dia senang hidup bersama dengan Yumna berdua. “Maafin aku, Pa. Aku nggak bisa.” Ari—papanya Teguh sudah menyerah memaksa anak tertua mereka untuk bisa tinggal di sini bersama dengan mereka. “Papa nggak bakalan komentar lagi lah kalau begini, Teguh.” “Maafin aku, ya, Pa.” “Kamu nggak salah. Cuman hati kamu saja yang perlu kami benahi, Teguh. Ah bukan, itu urusan kamu. Kalau kami berusaha terus kamu sendiri nggak mau, ya buat apa juga, kan.” Ketika Teguh ingin menjawab, entah apa yang dipikirkannya saat dia ingin menjawab papanya barusan. Rasa rindunya membuncah saat mendengar tawa Yumna yang akhirnya mampu membuat dia merindukan istrinya lagi. “Yumna aktif banget, ya.” Mamanya berucap sampai Teguh mengangguk pelan. Gadis kecil buah dari cintanya yang teramat cantik duduk sambil makan dan ngobrol dengan bonekanya sesekali. Hati Teguh menghangat setiap kali mendengar anaknya bicara. “Papa, nanti malam kita pulang?” Teguh menoleh ke anaknya. “Besok sayang. Kan kita nginap.” “Oh gitu, oke, Pa.” Yumna melanjutkan makannya. Kalau saja Teguh menyerah, sudah pasti anaknya tidak akan tumbuh sehat seperti sekarang ini. Tapi hatinya terlalu kuat untuk Yumna hingga si kecil tetap bisa merasakan kasih sayang darinya. Si kecil tampak begitu lucu dan sangat pintar. “Abis makan nanti mandi, ya.” Yumna menggeleng. “Una panas, Pa. Nggak boleh mandi. Nanti sakit.” Teguh berdiri dari tempat duduknya dan menghampiri si kecil. Dia menyentuh dahi si kecil. “Bener, Ma. Dia panas.” Ia memberitahu mamanya dan sedikit membuat perasaan teguh menjadi tidak nyaman kalau mendengar anaknya demam. “Nanti ke dokter, ya. Biar cepat sembuh.” Anaknya sudah tahu kalau tidak enak badan akan langsung mengatakannya. “Nanti minum obat lagi, Pa?” “Iya, minum obat terus bobok. Nanti Papa temenin.” Sebenarnya masa-masa sulitnya ketika menghadapi Yumna adalah ketika si kecil merasa tidak baik-baik saja seperti sekarang ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD