Menutup Diri

1312 Words
Tentang hidup, tidak ada yang mau hidup dalam kesedihan bukan? Juga begitu yang dirasakan oleh Teguh, merawat anaknya sendirian pasca meninggalnya Tari. Semua dia lakukan sendiri, mengganti popok dan juga mengurus si kecil sendirian dulu. Banyak pekerjaan yang harus dia relakan jadi milik orang lain. Waktu tidak akan pernah kembali, jadi Teguh memilih untuk mengurus Yumna waktu itu. “Una.” Dia menghampiri anaknya yang sedang menggambar di meja lipatnya. Dengan krayon yang berserakan di lantai. “Una kok diam? “ “Una lagi gambal, Pa. Ada apa?” “Una, pengasuh Una yang biasa ke mana?” “Kak Eva?” Ya Teguh tahu nama pengasuh itu tapi lupa menyebutkannya tadi. “Iya Kak Eva, kan biasanya Una sama dia. Kenapa tadi ganti? Papa nggak kenal lho sama pengasuh barunya.” “Nggak tahu, tadi Kak Eva nggak dateng.” Teguh tidak ingin berganti-ganti pengasuh, dia sudah lebih nyaman dengan Eva karena anaknya memang lebih akrab juga dengan Eva. “Nanti Papa tanya ke Bunda pengasuhnya deh. Ke mana Kak Eva.” Yumna tidak menanggapi dan malah sibuk dengan buku mewarnainya. “Una nggak lapar?” “Makan malam kita apa?” “Nggak tahu, Papa belum turun.” “Una belum lapal, Pa. Nanti aja, Una masih gambal.” Teguh tidak menjawab apa pun dan memilih duduk di dekat anaknya yang sedang mewarnai gambar kura-kura. “Una belajar apa aja tadi?” “Nggak ada, Pa. Tadi cuman main aja. Nggak diajalin apa-apa.” “Papa ambil makanan aja sekarang, ya. Papa lapar banget soalnya.” Anaknya mendongakan kepalanya ketika tadi fokus pada gambar. “Ya, Pa.” Teguh memilih turun dan makan di kamar untuk mengajak anaknya juga makan malam lebih awal. Dia memang sangat lapar karena sedari tadi sibuk dengan pekerjaan, apalagi hujan dan malah dia terlambat menjemput si kecil ke daycare. Yumna tidak pernah mengeluh ketika Teguh telat menjemput anaknya. Justru si kecil sepertinya paham dengan pekerjaannya sekarang. Tidak pernah menuntut lebih apalagi marah ketika telat dijemput. Sampai dia bawah dia melihat beberapa makanan sudah tersaji di sana dan ditutup untuk menghindari lalat atau kecoa yang hinggap. “Bi, nggak masak sayuran?” “Ada, Pak. Di mangkuk sebelah.” Ia pun melihat ada sayur bening yang dimasak oleh asistennya dan sekarang sedang memasak sesuatu? “Itu bikin apa?” “Ini baso, Pak. Una suka dan tadi waktu Bapak mandi, dia turun sendirian dan minta dibuatin.” Pantas saja anaknya menolak diajak makan. Ternyata dia sedang meminta dibuatkan bakso oleh asistennya. “Ya udah saya tungguin jadi, ya. Nanti kalau udah jadi antar aja ke kamar. Kalau saya antarin makan malam. Yumna mau makan di kamar. Nanti lauknya nggak apa-apa Bibi bawa aja ke belakang. Saya nggak nambah lagi.” Perintahnya. Dia kembali lagi ke kamar menemani si kecil untuk menggambar. Setiap pulang dari sana, dia selalu menemani Yumna bermain. Ya meskipun hanya untuk menemani si kecil menggambar saja. “Una, suka ya makan bakso? Besok kalau mau kita beli di luar.” “Nggak, Pa. Una nggak suka beli. Una suka buatan Bibi.” Mana berani dia komentar lagi kalau Yumna sudah berkata demikian. Dia tahu kalau selera makan anaknya memang berbeda dengan dirinya yang suka sekali makan di luar. Tapi anaknya malah menolak untuk diajak makan di luar seperti itu. “Nanti Papa aja yang makan di lual. Una nggak ikut.” Mana mungkin dia mau makan sendirian di luar tanpa mengajak anaknya? Menjadi single Daddy bukanlah hal yang mudah bagi Teguh. Namun sekarang dia seperti sudah terbiasa dengan hal itu. Dia juga sudah terbiasa melakukan banyak sekali pekerjaan dan mengurus anaknya sendirian. Lama dia menemani si kecil sampai makan malam pun datang, yaitu ketika asistennya memanggil dari luar. Teguh segera beranjak dari tempat duduk untuk mengambil makanan yang tadi dia pesan pada asistennya. “Nanti bekasnya taruh aja di tempat cuci piring ya, Pak. Besok pagi saya cuci.” “Bibi istirahat aja. Nanti saya taruh di sana kalau udah selesai makan sama, Una.” Mangkuk kecil yang berisikan mi dan bakso yang dibuatkan oleh asisten tadi. Ada pula kecap dan saus yang disediakan oleh asisten dan air minum lengkap. “Una makan dulu. Tadi kan minta bakso sama, Bibi.” Kata Teguh ketika dia masuk lagi, sementara itu asistennya sudah izin untuk kembali ke belakang. Yumna merapikan krayon yang berserakan dan juga buku mewarnainya. Yumna menaruh bukunya di meja yang lain. Sedangkan meja lipat Yumna akan digunakan untuk makan mereka berdua sekarang ini. “Papa, Una pakai kecap sama saus.” Dia menuangkan secukupnya lalu diaduk oleh Yumna. “Hati-hati, ya! Papa suapin nggak?” “Nggak, Pa. Papa makan aja, Una bisa sendili.” Yumna menusuk baksonya dengan sendok garpu dan memakannya dengan hati-hati. Ada tisu juga yang disediakan oleh asistennya yang cukup mengerti dengan kebutuhan Yumna. Itulah mengapa dia sayang sekali dengan asistennya dan keluarga asistennya sampai dia buatan tempat tinggal di belakang rumahnya ini. “Ada isinya, ya?” Yumna mengangguk karena penasaran dengan isi yang ada di bakso itu yang ternyata ada telur puyuh dan juga ada wortel di bakso lainnya. Asistennya pintar sekali mengakali agar Yumna tetap makan sayur. “Gimana sayang? Suka nggak? Makan minya juga, ya!” “Una suka, Pa. Enak.” “Makan yang banyak, ya! Terus udah gitu nanti minum s**u juga. Nggak boleh bobok dulu, kan Una abis makan. Nanti bisa muntah.” Teguh menjelaskan dengan baik pada anaknya apa saja yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan dengan pelan. Yumna pun mengerti dan kadang banyak sekali yang dimengerti oleh Yumna. Sampai makannya selesai, Teguh malah tergoda mangkuk sebelah yang ada bakso juga. “Pa, Una mau lagi.” “Una suka banget?” Yumna mengangguk. “Kan enak makan panas kalau hujan.” “Pinternya anak Papa. Siapa yang ngajarin, hmmm?” “Kan Papa. Kalau hujan Papa biasanya minum jahe. Kalau Una, Una suka makan bakso buatan, Bibi.” Teguh memberikan bakso miliknya sebagian dituangkan ke mangkuknya Yumna. “Ya udah sekarang makan yang banyak. Papa temenin.” Yumna makan sendiri, dan ketika Teguh bersandar tidak sadar ia melihat foto mending istrinya. “Papa kangen, Mama?” Teguh mendongakan kepalanya dan menarik napas untuk tidak menangis karena merindukan Tari. “Makan, gih!” “Una juga kangen, Mama.” Dia tersenyum mendengar pengakuan anaknya. Apalagi Yumna yang belum sempat merasakan sedikit pun kasih sayang dari Tari. “Makan dulu dong! Nanti kita curhat ke, Mama. Nanti kita lihat bintang, ya.” “Kan hujan, Pa.” Teguh sampai salah ngomong ke anaknya. “Ya sayang. Sekarang Una makan dulu, ya! Nanti Una lihat video Mama waktu Una di dalam perut.” Teguh masih menyimpan video-video kenangannya dengan Tari. Ponselnya bergetar sedari tadi. “Sebentar, ya.” Yumna mengangguk ketika baru saja selesai minum. Ada nomor papanya yang menghubunginya. “Halo, Pa.” “Yumna udah tidur? Kamu apa kabar? Kenapa lama banget nggak ke sini? Papa sama mama kangen kamu.” Teguh paham kalau dia jarang ke rumah orangtuanya karena dia tidak tahu lagi cara menenangkan diri selain bekerja dan menemani Yumna bermain. “Lusa aku ke sana, Pa. Papa tunggu aja.” “Nak, kamu jangan sedih terus, ya. Papa pengen kamu tetap bahagia. Papa pengen kamu jadi anak yang baik. Anak yang bisa rawat Yumna. Anak yang bisa buat Mama dan Papa bahagia. Papa juga kangen, Yumna.” “Lusa pulang kerja aku ajak dia ke sana. Kami menginap kok.” “Kamu janji, ya?!” “Aku janji, Pa. Aku masih sibuk di kantor hari ini dan besok. Lusa baru ada waktu.” “Ya udah kamu jangan lupa makan malam. Mama selalu kangen sama kamu. Dia pengen ketemu sama kamu dan Yumna.” Teguh mengangguk dan kemudian pamit kepada orangtuanya. Dia tahu kalau orangtuanya sangat menyayangi Tari juga. Tapi entah kenapa Teguh ingin menutup diri dari semua orang karena masih belum sanggup kehilangan sampai sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD