Bagian 4

1219 Words
Setelah menghabiskan waktu hingga hampir dua jam disana akhirnya Johana mendapatkan camilan yang sangat ia sukai. Dengan bantuan Dafa di belakangnya, Johana kembali menghentikan kakinya di depan stand bertuliskan telur gulung Rp. 1000. Dafa hanya menghela napas panjang. Ini camilan ke-9 yang Johana beli. Ralat! Tapi memakai uang Dafa. "Bang telur gulung sepuluh ribu aja." "Pake sosis ga mbak?" Tanya abang penjual tersebut. Johana mengernyitkan dahi sekilas. "Harganya sama gak bang?" "Sama kok, santai. Murah meriah." Johana tersenyum sumringah. "Oke deh, sepuluh ribu yang biasa. Sepuluh ribu yang pake sosis." Ucap Johana santai. Sementara Dafa yang berada di belakangnya sontak membelalakkan kedua bola matanya. "Kamu yakin beli sebanyak itu? Ini jajan kamu banyak banget loh. Awas aja gak habis. Mubadzir uang aku." "Kamu gak ikhlas?" "Ikhlas lah, pokoknya dihabisin semua. Jangan ada yang tersisa. Inget! Masih banyak orang yang kurang beruntung dibandingkan kita." Tukas Dafa menasihati Johana, sedangkan Johana hanya menganggukkan kepala berulang kali pertanda ia paham. Mereka berdua duduk di kursi yang disediakan stand tersebut. "Gak ada niatan buat bantuin bawa?" Pertanyaan Dafa membuat Johana langsung menoleh. Gadis itu tersenyum kikuk. "Aku bawain kebabnya. Sekalian aku makan. Laper. " Dengan segera, Johana merebut bungkusan yang berisikan kebab sosis mozarella kesukaannya. Dafa hanya bisa menghela napas berat melihat tingkah sahabatnya yang satu ini. Ia tahu betul jika gadis itu sedang menutupi kesedihan serta rasa frustasi yang dialaminya. Johana bukan tipe orang yang tidak nafsu makan jika sedang stress, justru sebaliknya. Gadis itu akan memperbanyak porsi makannya, kadang ia juga sengaja memakan makanan pedas yang seharusnya tidak ia konsumsi sebab gadis itu memiliki riwayat sakit maag. "Ini mbak, telur gulungnya." Ucap abang penjual sambil menyodorkan sekantong plastik. Johana langsung berdiri dan menoleh ke arah Dafa. "Fa, uang." Dafa mendengus pelan, "mentang-mentang aku yang dapet kerja duluan, kamu malah minta traktir mulu. Besok-besok gantian, traktir aku terus kalo kamu udah banyak uang." Celoteh Dafa meletakkan beberapa bungkus plastik jajan lalu merogoh saku celananya. Pria itu menyerahkan uang sepuluh ribuan dua lembar pada Johana. "Iya ih, bawel bener." Pekik Johana mengambil uang tersebut. "Ini bang, makasih ya." "Sama-sama." Es krim masih menjadi salah satu makanan favorit Johana dan Dafa menepati janjinya untuk memberi Johana es krim cokelat setelah berkeliling. Setelah membeli jajanan terakhir, mereka memilih kursi kosong yang tak jauh dari taman kota. Senyum Dafa mengembang melihat Johana menikmati es krimnya sambil tersenyum, mengatakan bahwa ia menyukai es krim cokelat itu. Dafa merasakan nyeri di dadanya setiap kali melihat perempuan ini di hadapannya, rasa rindu dan cinta yang tidak bisa lagi tersampaikan meski perempuan itu tau persis bagaimana perasaan Dafa terhadapnya. Keadaan memaksa mereka menutup semuanya. Dafa memilih untuk menjadi sahabat Johana. Ini memang tersulit. Bertahan menjadi teman dengan hati yang ingin lebih dari sekadar teman. "Mau coba corndog-nya?" Tawar Johana. "Boleh." Johana menyodorkan corndog yang tinggal separuh. "Dimakan pake saus pasti lebih enak." Johana mengolesi corndog dengan saus yang masih tersisa di wadahnya. "Hmm enak, aku suka." "Kenapa gak beli juga?" "Kan niatnya emang beliin kamu doang. Kalo kamu tiba-tiba nawarin kan lumayan hemat budget." Sahut Dafa terkekeh pelan. Johana memanyunkan bibirnya. "Jadi aku tukang ngabisin uangmu ya?" "Siapa bilang?" "Aku. Kan aku sering minta traktir." Ucap Johana menunduk sadar diri. Memang, selama ini Johana sering meminta traktir jajan pada Dafa padahal pria itu memiliki niat menabung untuk membeli PC sendiri. Dafa mengacak-acak pelan rambut Johana. "Halah! Kayak sama siapa aja. Kita udah temenan dari kecil loh, Na." Johana menoleh ke arah Dafa pun sebaliknya. Gadis itu tersenyum sekilas dan tiba-tiba bangkit dari duduknya. "Aku janji! Kalo aku udah punya kerjaan, aku bakal bantuin Dafa ngerakit PC meskipun cuma nyumbang cepek dalam sebulan." Seru Johana lantang sambil mengangkat tangan kanannya yang membawa corndog seolah sedang ikut berdemo sebab kenaikan BBM. "Duduk woi! Malu diliatin orang." Johana sontak melirik Dafa tajam. "Oh kamu malu punya temen kayak aku." "Bukan gitu astaga. Cewek ribet amat sih." Dafa menarik tangan Johana agar kembali duduk. Gadis itu kembali menyantap semua camilannya tanpa terkecuali. Entahlah, perut macam apa yang dimiliki Johana sampai jajanan sebanyak itu muat dalam perutnya. Sementara Dafa hanya menatap Johana lekat. Gadis itu melirik sekilas, "gaada kerjaan lain selain ngeliatin mukaku yang cantik imut nan menggemaskan ini?" Dafa menggelengkan kepala cepat. "Aku lagi nunggu orang cerita." Johana sontak menghentikan gerakan mengunyahnya dan memasang wajah yang tidak bisa dideskripsikan. Antara marah, kecewa, dan sedih sepertinya menjadi satu. "Gimana? Gimana? Satu-satunya cobak ceritanya." Dafa mencoba mendekatkan duduknya di sebelah Johana. Gadis itu tampak menghela napas berat seolah meringankan beban yang sedang ia rasakan. Kemudian ia menoleh pada Dafa, menceritakan secara rinci kejadian yang ia lalui hari ini. Mulai dari ia bertemu Candra tentang fakta yang mencengangkan yang berhasil membuat Dafa tidak menyangka sama sekali. "Seriusan dia cuma pura-pura?" Johana mengangguk cepat. "Parah sih kalo gitu, kamu dikibulin sama dia." Imbuh Dafa. Johana hanya mengangkat kedua bahunya sambil menarik sudut bibirnya seakan-akan sudah lelah dengan keadaan lalu menggigit ujung kue leker yang ia pegang. "Udah biasa kan gue dibohongin. Ibu, kamu, sekarang Candra. Apa aku terlalu polos dan gampangan buat dikibulin, Fa?" Gumamnya. "Na, maaf. Kamu masih belum bisa lupain kejadian itu?" Johana menggeleng. "Untuk memaafkan sih udah, aku maafin kalian. Tapi buat ngelupain kejadian di masa lalu itu susah, Fa. Kamu tau sendiri aku punya daya ingat yang kuat. Maka dari itu sebenarnya aku juga gak mau terlalu berharap ke manusia kalo pada akhirnya cuma kecewa yang aku rasa." "Maaf, Na." "Aku udah maafin kamu, Fa. Buktinya kita masih bisa temenan kayak dulu kan. Gak ada rasa canggung lagi. Cuma yahhh gitu, aku ngerasa jadi orang b**o yang gampang dibohongin." "Bukan kamu yang salah." Sahut Dafa langsung meraih tangan Johana setelah meletakkan jajan yang gadis itu bawa. "Kamu terlalu baik, Na. Jangan menyamaratakan bahwa semua manusia itu baik. Ada kalanya sisi gelap mereka muncul dan akan menyakitimu." Imbuhnya menenangkan Johana. Johana tersenyum simpul. "Banyak orang yang salah sangka kepadaku. Tapi bukan tugasku untuk membuat mereka memahamiku. Bagian mana yang ingin mereka pahami tentangku. Itu hak mereka. Syukurlah kalo banyak orang yang nganggep aku baik. Setidaknya aku masih menjalankan nasihat ibu tentang jangan pernah lelah berbuat baik." Johana melepas genggaman tangan Dafa, lalu kembali melanjutkan makan jajanannya. Dafa hanya diam membisu tanpa membalas, sepertinya gadis itu hanya ingin didengarkan bukan meminta solusi. "Makasih traktirannya. Makasih udah dengerin keluh kesahku hari ini. Aku harus nyari lowongan kerja lagi nih. Tolong bantuin juga ya." Dafa menganggukkan kepala pelan. "Iya, aku bantu." Sahutnya mengusap kepala Johana lembut. Dafa bisa melihat mata Johana yang tengah menahan air matanya. Gadis itu ingin melampiaskan semua emosinya namun ia memilih untuk memendamnya. "Yuk pulang." "Takut." "Takut kenapa?" "Takut ngecewain ayah. Aku gak keterima kerja." Ucap Johana lemas. Dafa menghela napas panjang. "Yaudah aku bantu cari alesan." "Oke bos!" Seru Johana bersemangat. Dafa mengerti kondisi Johana yang tengah tidak baik jadi ia berniat untuk mengajak Johana berjalan-jalan di dekat sini sebelum menuju parkiran. Hanya dengan berjalan beriringan seperti ini dengan Johana saja sudah membuat hatinya senang sekali. Johana pun sama, ia senang bisa menghabiskan waktu bersama Dafa, sahabatnya. Seperti saat dahulu kala. Dafa selalu bisa membuat perasaannya yang kacau jadi lebih baik. Dafa menarik tangan Johana untuk berhenti. Gadis itu mengernyit, menatap Dafa yang kini melepas topi yang dipakainya. Pria itu tersenyum lalu memakaikannya di kepala Johana. "Panas." Johana terperanjat, "oh iya, makasih." Mereka pun segera menuju parkiran dan pulang menghadap Tio secara bersamaan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD