Kane baru saja membaca riwayat penyakit seorang pasien laki-laki berumur 55 tahun yang tak henti terbatuk sedari tadi. Ia menghempaskan napas, mood-nya selalu amblas jika berhadapan dengan pasien seperti ini. Pasien yang rutin menjadi pengunjung IGD, yang menciptakan penyakitnya sendiri.
“Selamat malam,” sapa Kane ramah saat memasuki bilik pemeriksaan. Sang pasien tak menjawab, seorang perempuan yang berdiri di sisinya yang mengangguk. “Apa yang dirasa Pak Leno?”
“Kumat lagi tuh, Dok,” ketus sang istri. Jika Kane di posisi sang wali pun stok kesabarannya pasti akan menipis.
“Kita cek dulu ya, sambil cerita ke saya.”
Kane membaca form pemeriksaan dasar, lalu memasang earpieces stetoskopnya, menempelkan diaphragm dan bell secara bergantian di beberapa titik wajib. Jelas terdengar suara mengi di paru-paru pasiennya sementara suara jantungnya terdengar berdebar.
“Jadi, apa yang dirasa Pak?” Kane mengulangi pertanyaannya lagi.
“Sesak. Batuk terus. Dadanya nyeri. Lemas,” ujar Leno, patah-patah.
Kane mengalungkan kembali stetoskopnya, lalu sedikit bergeser ke bagian kaki pasien, memeriksa tungkai Leno untuk memastikan apakah terjadi pembengkakan.
“Bukannya baru tiga minggu yang lalu pulang ranap ya Pak?” tanya Kane pada Leno. Pria itu mengangguk lemah, masih sambil terbatuk.
“dr. Okan ga bilang kalau ga boleh ngerokok lagi, Pak? Baik aktif ataupun pasif.”
“Ya dibilangin Dok, dianya aja yang ndableg!” repet Mia, sang istri.
“Pantes aja penyakitnya ikutan ndableg, Pak,” gumam Kane. Sang pasien tertunduk lesu.
“Gini ya Pak … penyakit paru obstruktif kronis itu ga langsung bikin Bapak kolaps. Kalau Bapak sudah sampai kolaps seperti bulan lalu, itu artinya sudah terjadi kerusakan yang signifikan pada paru-paru Bapak. Ga usah Bapak merokok lagi pun, namanya batuk sudah pasti rentan akan Bapak alami. Apalagi Bapak ga berhenti merokok. Atau Bapak berencana meninggalkan dunia ini lebih cepat?”
“Ngga, Dok.”
“Iya kali, Dok! Bagus Dokter nanyain biar saya siap-siap!” ketus Mia.
“Ma,” lirih Leno pada sang istri.
Mia memalingkan wajahnya, kesal namun tak tega menatap mimik sendu sang suami. Sementara itu, Kane memerintahkan perawat yang mendampinginya agar memasangkan selang oksigen pada Leno.
“Dia tuh suka ga enakan Dok kalau ditawarin temannya ngerokok. Jadi dia ikut-ikutan. Kalaupun dia ga ambil dia diam di tempat. Ya kan sama aja, asap rokoknya dia hisap juga,” ujar Misa kemudian, mulai tercekat, kedua matanya nampak tergenang.
“Ga enak tuh sama istri, Pak. Kalau Bapak sakit begini kan bukan teman Bapak yang nemenin di sini. Kalau Bapak kenapa-kenapa, bukan mereka yang terpukul, tapi istri dan anak-anak Bapak.”
“Tuh dengerin! Kamu ga kepingin ngewaliin Inces nikah apa Pa?”
“Mama nih ngomongnya!”
“Wajar dong Mama ngomong begini! Kelakukan kamu yang ga tau diri itu yang ga wajar!”
‘Walah, gue malah kejebak di tengah-tengah Perang Dunia ketiga.’
“Selain gejala yang Pak Leno sebut tadi … ada demam juga, detak jantung meningkat, bibir dan ujung jari agak kebiruan, tungkai membengkak. Karena belum sampai linglung dan ga bisa ngomong karena sesak, jadi ga saya kirim ke ICU ya Pak,” potong Kane kemudian. Memecah pertengkaran pasutri di hadapannya.
Mia menampar lengan sang suami, kesal bukan kepalang.
“Agak enakan setelah oksigen terpasang, Pak?”
“Iya, Dok.”
“Sambil di tes, saya pasang infus dulu dan hubungi dr. Okan.”
“Dirawat lagi Dok?” tanya Mia.
“Oh iya, Bu. Kalau dibawa pulang bisa hilang kesadaran nanti. Saturasi oksigen Bapak di bawah normal.”
“Baik Dok.”
“Besok-besok kalau sudah sembuh, menjauh dari komunitas merokok ya Pak? Biar panjang umur dan bisa waliin Inces.”
Leno mengangguk lesu.
Kane beringut ke pesawat telpon yang menempel di salah satu dinding instalansi itu, menekan nomor salah satu Dokter Spesialis Paru. Begitu panggilannya diangkat, status pemeriksaan Leno pun Kane kisahkan.
“Baik, Dok,” ujar Kane sebelum ia menutup panggilan.
“Lisa?” panggilnya kemudian pada perawat yang menemaninya tadi.
“Ya, Dok?”
“Pasien bed enam … tes spirometri, darah dasar, alpha-1-antitrypsin, ABG, rontgen, CT dan dahak.”
“Baik, Dok.”
***
Enam jam berlalu. Waktu menunjukkan pukul tiga pagi dan IGD pun sedang tenang-tenangnya. Kane duduk di balik meja Doctor Station, membuka onigiri dan kopi kalengnya, mengunyah perlahan. Kane lebih memilih onigiri daripada roti bukan karena ia salah seorang pecinta K-drama meski wajahnya sebelas dua belas dengan para oppa. Masalahnya, perut Kane itu pribumi sekali, naga peliharaannya konser terus kalau ga dikasih jatah nasi. Berhubung ngemil di sela kesibukannya ga mungkin pakai nasi padang, onigirilah yang paling masuk akal dijadikan alternatif. Apalagi shift tiga begini, ga mungkin banget ga banyak makan.
“Dok?” tegur Lisa.
“Apa?”
“Kalau duduk begitu kelihatan tas pinggangnya.”
“Kamu ga lagi ngajak war kan?”
Lisa malah tergelak.
“Malah body shaming. Lagi residensi begini percuma bikin member card gym, Lisa.”
“Iya sih, Dok. Kebayang kok.”
“Masih bagus gue rutin lari.”
“Oh ya Dok?” Lisa tak percaya.
“Yoi! Lari dari kenyataan.”
Ada-ada saja Kane ini. Lisa makin ngekek, sementara dua orang perawat lain di sana ikut tertawa.
“Yang kemarin pagi jemput siapa Dok?” tanya Eki, salah satu dari mereka.
“Yang mana?”
“Cie, pacar baru nih kayaknya,” sambung Lisa kemudian.
“Pacar apaan? Mantan iya!”
“Astaghfirullah, belum juga dikenalin ke kita-kita, Dok,” ujar Ridho, another perawat yang bertugas.
“Itu sih nanti aja kalau udah tukar cincin.”
“Udah ada yang baru lagi?” Lisa takjub.
“Udah dong! LDRan tapi.”
“Serius Dok? Sungguh membagongkan! Cantik Dok?”
“Cantik. Kan cewek.”
“Ya kali Dokter sekte pelangi.”
“Oh tentu bukan.”
“Dokter juga Dok?”
“Ga tau.”
“Kok ga tau?”
“Kan LDRan. Belum ketemu. Gue di sini, dia di masa depan”
Lisa berdecak, sementara Eki dan Ridho ngakak pengen guling-guling.
“Kalau gitu kita sama, Dok,” kekeh Ridho.
“Seneng lo ya ada temennya?” ketus Kane. Bukannya berhenti tertawa Ridho malah megangin perutnya.
Baru saja Kane menghabiskan suapan terakhirnya, instalansi mereka kedatangan pasien nan merintih di atas kursi roda yang didorong seorang petugas keamanan. Kane segera menenggak habis kopi kalengnya sebelum mencuci tangan, memakai hand sanitizer juga medical gloves. Beres dengan ritual bersih-bersihnya, ia berjalan ke bed satu dimana sang pasien berada.
“Selamat pagi, Pak.”
“Pagi, Dok,” ujarnya seraya menahan nyeri.
Kane menerima form pemeriksaan vital dari Ridho, membaca seksama.
‘Kok kayak pernah dengar namanya?’
Wajar sekali bukan? Tak terhitung nama orang yang didengar dan dibaca Kane setiap harinya. Siapa juga yang bisa mengingat sebanyak itu? Jikapun bisa, bagi Kane lebih baik kapasitas otak untuk mengingat nama ia gunakan untuk mengingat isi jurnal-jurnal ilmiah yang dibacanya nyaris di setiap waktu luang.
Pasien itu tak datang sendiri. Ada seorang pria lain yang menemaninya. Menelisik dari aroma yang menguar di tubuh mereka, Kane yakin kedua pria ini baru menghabiskan waktu di salah satu club malam.
Baru saja Kane hendak bertanya, sirine ambulans terdengar lantang mendekati pintu IGD. Sepertinya akan terjadi kehebohan lagi di instalansi tersebut.
“Aduh!” Rintihan sang pasien menyadarkan Kane dari lamunannya.
Kane melakukan inspeksi di bagian atas tubuh pasien. Terdapat memar di bagian toraks sebelah kanan bawah. Ia melakukan auskultasi lebih dulu dengan stetoskopnya untuk mendengar suara dari sistem kardiovaskuler, respirasi, dan gastrointestinal. Dan saat Kane melakukan palpasi, pria itu sampai meneteskan air mata, padahal Kane belum sampai menekan bagian yang pasien katakan nyeri.
“Tarik napas yang dalam, Pak,” pinta Kane.
Baru saja pasiennya mencoba, ia sudah tak kuat lagi. Dadanya kembang kempis cepat menandakan napasnya yang pendek-pendek.
“Dari skala satu sampai lima, tingkat sakitnya di angka berapa Pak?”
“Lima,” rintihnya kemudian menjawab pertanyaan Kane.
“Bapak habis kecelakaan?”
“Tidak Dok.”
“Lalu?
“Itu … ada kesalahpaham sedikit Dok.” Teman pria itu yang menjawab.
“Bapak siapanya?” tanya Kane kemudian. Iya harus berjaga-jaga bukan? Jangan-jangan si kawan itu yang membuat pasiennya mendapatkan diagnosa fraktur tulang rusuk.
“Saya sepupunya, Dok.”
“Betul?”
“Betul, Dok.”
“Jadi, saya kenapa Dok?” rintih pasiennya lagi. Air mata pria itu kembali menetes.
“Saya duga ada fraktur di tulang rusuk Bapak. Jadi, untuk memastikan kita roentgen dulu ya?”
“Baik.”
Kane lalu memerintahkan Ridho untuk membatu sang pasien pindah ke unit radiologi. Sementara Ridho mengambil kursi roda kembali, Kane memastikan vital pasien itu sekali lagi.
“Bapak bisa urus pendaftaran pasien lebih dulu,” ujar Kane pada sepupu pasiennya. Pria itu mengangguk kemudian keluar dari bilik pemeriksaan.
“Parah ya Dok?”
“Harus dicek dulu, Pak.”
“Apa berbahaya?”
“Kalau hanya retakan dan posisi tulang rusuk tidak ada yang bergeser, bisa sembuh sendiri sekitar empat sampai delapan minggu. Tapi kalau ada yang patah dan mencederai organ dalam atau pembuluh darah, itu yang bisa menyebabkan komplikasi, Pak.”
“Harus dioperasi Dok?”
“Kalau organ dalam cedera? Biasanya begitu. Jadi, penyebab Bapak seperti ini apa?”
“Disikut, Dok.”
Kane mengerutkan kening. ‘Maksudnya dihajar? Lah kok bisa yang cedera di rusuk doang sementara mukanya aman?’
Selama beberapa saat Kane memilih diam, menunggu sang pasien bercerita lagi. Namun, nihil.
“Jika dibutuhkan hasil pemeriksaan nanti bisa dijadikan bukti gugatan ya Pak,” ujar Kane akhirnya.
“Tidak perlu, Dok. Hanya masalah pribadi dan salah paham,” tandas pria itu seraya memaksakan kekehan di tengah tangisnya.
***
Pukul tujuh pagi, akhirnya masa baktinya hari itu usai juga. Setelah melaporkan status pasien-pasien di peralihan shift pada Isla dan Annie, dokter-dokter yang bertugas di shift satu, Kane pun pamit undur diri.
Ia tak langsung menuju ke ruang dokter untuk beristirahat, makan ataupun membersihkan diri. Namun, Kane melangkah ke instalansi rawat inap, melakukan pemeriksaan pada beberapa pasien pasca tindakan bedah.
Pukul delapan lewat beberapa menit akhirnya ia bisa merebahkan diri di salah satu sofa di Ruang Dokter. Kane merogoh ponselnya, memesan sarapan pagi via aplikasi chat ke kantin rumah sakit. Setelah mendapatkan jawaban, barulah ia memejamkan mata sejenak.
Pukul sembilan tepat saat alarm di ponselnya bergetar dan berbunyi. Kane membuka mata, duduk dengan wajah kantuk yang masih teramat sangat.
“Bubur lo udah datang dari tadi tuh,” ujar Zhen yang tengah memeriksa beberapa jurnal ilmiah yang dijadikan literatur oleh Luca untuk menyusun tesisnya.
“Oke, Dok.”
“Ga balik?”
“Balik, Dok. Mau bersih-bersih dulu, makan, baru deh balik.”
Kane berdiri dari duduknya, masuk ke ruang ganti dokter pria. Ia membuka medical scrub-nya, melangkah terseok ke salah satu kamar mandi, menyalakan shower yang mengucurkan air dingin agar rasa kantuknya lenyap untuk sementara.
Beres membersihkan diri, t-shirt putih dan celana jogger berwarna khaki ia lekatkan di tubuhnya. Masih dengan surai yang lembab ia pun keluar dari ruang ganti, duduk di salah satu kursi, membuka dua termos berisi bubur ayam dan s**u hangat pesanannya.
Sarapan itupun tandas tak bersisa, belum termasuk dua buah martabak telur tahu dan sandwich coklat yang disediakan di ruangan itu sebagai snack pagi. Kane berdiri dari duduknya, menyampirkan sling bag-nya di bahu kiri, berpamitan dengan beberapa koleganya, lalu melangkah meninggalkan ruangan.
“Li,” lirih seorang pria yang ia kenali sebagai pasiennya yang datang dini hari tadi. Pasien tersebut sekitar beberapa langkah di depannya, mungkin hendak menuju lift yang akan membawanya ke instalansi rawat inap. Pria itu berhadapan dengan Lian. “Tunggu sebentar, Mas. Ada yang mau saya bicarakan dengan Lian,” ujarnya lagi.
‘Halah! Pantes gue kayak pernah dengar namanya. Ternyata ini toh si Savian itu?’
“Ga ada yang perlu diomongin! Lagian ini jam kerja. Pergi lo sana!” ketus Lian dengan sebuah tas kain kecil berisi mukena yang ia genggam di tangan kanannya. “Bawa aja Mas!”
“Nanti dulu, Mas!” sergah Savian lagi. “Dengarin aku dulu Li. Aku minta maaf. Aku menyesal.”
“Tumben lo nyesal. Kenapa? Ada yang gebukin lo sangkin banyaknya cewek yang lo garap?”
“Lian ….”
“Bawa Mas! Lama-lama liat muka dia bisa-bisa heels saya melayang! Kalau dia makin lama di sini, enak di dia sial di saya!”
Ardi, sang perawat menganggukkan kepalanya. Ia beringsut ke bagian belakang kursi roda, menggenggam handle, bersiap mendorong.
“Li! Pokoknya aku ga akan nyerah sampai kamu maafin aku! Aku ga akan berhenti sampai kamu kembali sama aku.”
“Ngapain gue balikan sama lo? Najis amat!”
“Aku masih sayang kamu, Li.”
“Sayang lo bilang?” suara Lian nyaris melengking. Ia mungkin akan melanjutkan caci makinya jika saja dagu Kane tak mendarat di pundak kanannya.
“Ngapain sih, Sayang?” tanya Kane kemudian. Kane lalu menoleh, menatap Lian yang membatu. “Ayo, katanya mau dhuha? Aku mau balik soalnya, ngantuk,” ujar Kane lagi seraya menarik siku Lian.
Jangan tanyakan wajah Savian, ia mencengo sempurna. Tak hanya Savi, namun juga Ardi. Sudahlah, selepas Ardi mengantarkan Savian ke ruang rawat inapnya, kehebohan di seantero staf rumah sakit pasti akan terjadi.
“Lian?” lirih Savi kemudian, sementaran Lian mengedip-ngedip lalu menelan salivanya sendiri.
Kane mendelik, mengangkat satu alisnya. “Ga jadi?”
“Jaaadi!”
“Ayo,” tandas Kane seraya mencengkeram lembut kedua lengan Lian, membawanya menjauh dari arena tarung, dihujani tatapan geram dari sang mantan.
‘Lepas dari cowok pengeretan malah jatuh ke cengkeraman buaya gue! Dosa apa sih lo Berliana Seira Raiden?’