BAB 3: THE PROBLEM

2584 Words
Zhen menghempaskan bokongnya tepat di samping Kane, mendengkus keras beberapa kali. Kane yang lagi ngemil onigiri sampai ngunyah dalam gerakan slow motion. “Sehat, Dok?” Belum Zhen menjawab, Lian pun muncul, baru datang lebih tepatnya. Setahun sejak mendapatkan gelar profesi Apotekernya, Lian didaulat untuk memimpin seluruh kegiatan dalam unit kefarmasian RSPI. Pas banget saat itu Apoteker sebelumnya minta resign karena suaminya dipindah tugaskan ke Turki. Meski dengan sedikit ngedumel karena Lian ngarepnya dikasih kursi di Raiden MedTech sebagai Direktur Operasional Teknis. Ya kali Zhen berani ngasih jabatan sepenting itu sama adiknya yang belum cukup pengalaman di industri farmasi. Jadi, Zhen dan Lian itu dua dari tiga orang anaknya Liang Raiden dan Alisha Candrarini. Satu lagi Zeline, kembaran Zhen yang sudah lebih dulu tutup usia. Liang Raiden sendiri dikenal sebagai salah satu taipan yang memiliki bisnis di lini kesehatan terbesar di negeri ini. Sebutlah Rumah Sakit Permata Indah yang tersebar di beberapa kota besar, Ryu Hospital di Manhattan – Amerika Serikat, Klinik Praktik Dokter di beberapa kota Kabupaten, Jasa Keperawatan, hingga penyedia obat dan alat kesehatan – Raiden MedTech – yang dipantau langsung oleh Zhen. Balik lagi ke Lian. Konyolnya, Lian nutupin mukanya pakai handbag yang dia bawa pas ngelewatin Zhen dan Kane. Ketebak banget pasti abis bikin masalah. “Di ruangan gue ada topeng Dewi Sekartaji, lo pake sana sekalian!” ketus Zhen, nyaris memekik. Lian makin ngacir, lari di koridor menuju apotek, takut disambit Zhen. “Baru jam setengah delapan, Dok,” gumam Kane dengan mulut yang masih full capacity. “Ga baek pagi-pari udah esmosi.” “Gimana gue ga emosi coba! Lo ga tau dia bikin kasus baru?” Kane mengerutkan kening. Selain melihat Lian di sky garden menjelang tengah malam kemarin lusa, kayaknya Kane ga mergokin Lian aneh-aneh. Fakta kalau Zhen masih nyamperin Kane juga artinya kasus baru itu ga ada kaitannya sama Kane yang sempat mencuri dengar masalah Lian. ‘Eh, apa masalah itu?’ “Kasus apaan Dok?” tanya Kane, penasaran. “Lo belum buka ig?” “Dok, kemarin lusa gue pulang tengah malam, ada pasien cito, gue dan dr. Luca handle first aid sebelum dr. Deni dan dr. Rama datang. Kemarin pagi sampai siang gue tidur, sampe di sini gue jalan dua shift gara-gara ada kecelakaan kerja di area konstruksi. Nih gue baru ngunyah dua biji onigiri setelah 17 belas jam mengabdi di IGD. Boro-boro buka ig Dok!” “Curhat lo?” “Kagak!” sulut Kane. Zhen mah mukanya tetap datar. Ya mau gimana, dia juga udah ngelewatin masa-masa residen nan biadab itu. Memang ga bisa dihindari. “Lo liat coba sekarang!” Kane nurut aja. Ia merogoh saku celananya, mengambil ponsel, membuka kunci layar, kemudian mengetuk icon aplikasi media sosial bernama i********:. Begitu feed terbuka, Kane pun mencengo. Di video itu jelas terlihat kalau Lian lagi mengeksekusi dompet seorang cowok. Wajah cowoknya looks ngenes, sementara Lian kelihatan … keren! Well, yang Kane lihat sih gitu. ‘Buset, cowok model apaan coba tuh orang?’ Kane kemudian mengetuk view all comments, lalu membelalak. Emang dasar cewek g****k! Bisa-bisanya lo nyuapin harta ke cowok. Itu sih bukan salah cowoknya doang, lah ceweknya ngasih fasilitas kok. Cowok kalau udah nerima ‘nafkah’ dari ceweknya, itu udah auto ga beres Mbak. Masa gitu aja ga ngerti? Kaya tapi bego! Lian, pacaran sama gue aja sini. Ga bakalan gue selingkuh, kartu-kartunya lungsurin ke gue. Dijamin gue setia! Mbak, buka lowongan di hatimu ga? Lian … saranghae! Anjiiir, black card! Hahaha cewek d***o! Sumpah! Ga kuat baca rentetan comment yang bikin sakit mata itu, Kane berdehem, lalu menutup aplikasi dan mematikan layar ponselnya. Sementara Zhen menyandarkan punggung, mendengkus keras. “Lo kenal cowoknya Dok?” tanya Kane akhirnya. “Savian Adelard.” “Cakep tuh nama.” “Kelakuannya b*****t tapi!” Kane malah ngekek. “Mau lo labrak Dok?” “Ngapain amat! Gue lagi nyuruh Ian ngurus yang nyebarin video itu.” “Udah ketemu?” “Udah, lagi ditunggu di kantor polisi. Belum pernah ngerasain dikerjain sama gue tuh orang! b******k!” “Serem lo Dok.” “Ya gimana gue ga kesal, ga tau urusannya dia main nyebarin video. Nyari masalah sama gue kan artinya.” “Hmm. Suruh bayar denda, Dok. Jangan mau pernyataan maaf doang. Ga ada efek jeranya, besok-besok palingan gitu lagi.” Zhen mengangguk sementara Kane menyesap jus kacang hijaunya dengan khidmat. “Lo mau gue kawinin sama si Lian?” ‘Uhuk! Uhuk!’ Emang ngeselin tingkat dewa konsulen Kane itu. Kalau ngomong suka ga mikirin kondisi pendengar. Kane ya kaget, ga ada hujan ga ada angin tau-tau disuruh kawin. ‘Uhuk! Uhuk!’ “Seneng banget lo ya?” tanya Zhen lagi, bikin Kane pengen ngeguyurin jusnya ke kepala Zhen biar eling. “Astagfirullah. Lo kalau mau bikin gue mati kesedak bilang-bilang dong Dok!” protes Kane, masih sambil batuk-batuk. “Jus doang ga bakalan bikin lo lewat!” ‘Kampret sumpah!’ “Lian tuh harus kawin, biar ada yang jagain jalur hidupnya.” “Nikah kali Dok?” “Iyalah. Nikah dulu baru kawin. Coba aja ada yang berani nyentuh adik gue sebelum nikah, gue pretelin jantungnya!” “Buset! Gue mundur kalau gitu Dok. Permisi!” “Heh! Mau kemana lo?” Zhen keder sendiri ngeliat Kane yang tiba-tiba ngacir. Ya mending kabur daripada ditodong kawin dengan mas kawin seperangkat alat bedah lengkap. “WOY! JAWAB DULU PERTANYAAN GUE!” “OGAH! OGAH DOK! KAWININ AJA SAMA ATCer!” *** Kane masuk ke ruang persiapan para dokter. Beberapa kebiasaannya sebelum pulang ke kosan; mandi air hangat, ganti baju bersih, ngenyangin perut, biar sampai kosan bisa langsung tidur. Masalahnya, Sabtu pagi ini Kane ga memiliki hak untuk beristirahat tersebut. Kane baru saja keluar dari pintu utama dan mendapati sedan Kirani, kekasihnya yang baru sebulan Kane pacari, menunggu di sisi kiri halaman muka rumah sakit. Kane mendekat ke sisi kopilot, mengetuk kaca beberapa kali. Suara kunci pintu yang dibuka pun menyapa pendengaran Kane. Tuas pintu ia tarik, lalu duduk tepat di samping sang pacar. Kirani menyambutnya dengan wajah memberengut. Lelahnya yang amat sangat malah semakin bertambah. Selalu seperti ini, padahal ia berharap jika menjalin hubungan dengan seseorang, waktu dengan yang terkasih bisa meluruhkan kepenatan. Nyatanya, justru kebalikannya. Sabtu pagi, setelah dua shift berjaga, tentu saja yang jadi impian Kane adalah single bed dengan topper mahal yang ada di kamar kosannya. Kane benar-benar menyisihkan uang untuk membeli alas kasur bermerek itu demi mendapatkan tidur yang berkualitas. Sungguh kesal bukan kepalang jika waktu beristirahatnya tak bisa ia gunakan dengan optimal seperti pagi ini. “Kamu ngapain dulu sih?” ketus Kirani. Perempuan berparas blasteran itu menatap Kane sinis. “Sejam lho aku nungguin kamu! Jakarta di hari Sabtu tuh ga tanggung-tanggung macetnya, Mas!” “Sorry. Yuk jalan?” “Aku yang nyetir?” Kane menutup kedua matanya, mengatur napas, menenangkan emosi agar tak membalas keketusan sang pacar. “Aku habis tugas 17 jam, Ran. Kamu mau kita kecelakaan? Mending parkir aja dulu, kita naik taksi.” Kirani berdecak, menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi, lalu bersedekap. ‘Ya Tuhan! Aku butuh infus kesabaran.’ “Aku tuh lama nunggu kamu, Mas!” Kirani menyambung keluh kesahnya. “Maaf. Tadi aku dipanggil DiRut sebentar.” “Kamu bikin masalah?” ‘Astaghfirullah.’ “Ngga, Ran. Tahun keduaku kan udah mau habis. Cuma nanya-nanya ada masalah atau ngga.” “Terus, ngapain kamu tiba-tiba nyuruh aku jemput kamu di sini? Bukannya kamu bilang kalau semalam kamu shift dua?” “Ada kecelakaan di area konstruksi. Korbannya lumayan banyak. Ga mungkin kan aku pulang?” Kirani menghempaskan napasnya keras. Kesal luar biasa. Memiliki pacar seperti Kane sungguh membuatnya harus lebih sering mengunjungi klinik kecantikan. Bisa-bisa ia mengalami penuaan dini jika tak demikian. Yang paling menyebalkan adalah, Kane selalu memiliki alibi setiap kali mereka gagal berkencan. “Maaf, Sayang,” lirih Kane lagi. Kirani tak menjawab. Hanya dengkusan sang pacar yang terdengar kembali saat mobil yang Kirani kendarai melaju perlahan meninggalkan rumah sakit. Butuh waktu satu jam lebih hingga mereka tiba di sebuah gedung pertemuan. Rangkaian bunga-bunga menyebar di segala penjuru. Nama kedua mempelai yang sekitar satu jam lalu sah sebagai suami istri terpampang tepat di pintu masuk sebuah ruangan. Kirani melambaikan tangan pada beberapa koleganya yang duduk di salah satu meja, mendekat, lalu memperkenalkan Kane sebagai kekasihnya begitu tiba di titik temu. Kane menjabat mereka satu persatu, menjawab dan merespon beberapa pertanyaan basa-basi tanpa sekalipun memulai pembicaraan. Kane terlalu lelah untuk menguras otaknya mencari bahan obrolan. Beberapa saat kemudian, perutnya yang hanya terganjal onigiri tadi sudah meminta jatah kembali. Kane mengajak Kirani menjauh dari meja itu, mendekat ke meja presmanan. Sayangnya, Kirani menolak halus. Tak ingin berdebat kusir, Kane akhirnya melenggang sendiri. “Ran, lo yakin cowok lo itu Dokter?” tanya salah seorang koleganya seraya melirik remeh pada Kane. “Sorry, Ran. Bukannya Dokter tuh punya strata khusus ya? Apalagi dokter di RSPI, udah terkenal banget tingkat kemakmurannya tinggi. PPDS kayak cowok lo aja dibayar lho, Ran. Tapi penampilannya, duh cakepan fresh graduate di kantor kita.” Kirani mengepalkan tangan. Ucapan koleganya menohok keras. Kirani pikir memiliki pacar seorang dokter bisa membuatnya bangga dan sedikit menyombongkan diri. Namun ternyata, yang dikatakan koleganya memang tak salah, penampilan Kane bahkan lebih buruk dari mantan pacar Kirani sebelumnya yang hanya seorang barista paruh waktu di salah satu coffee shop termahsyur negeri ini. Apalagi saat ini mereka tengah menghadiri undangan akad nikah, bukankah harusnya Kane sedikit tau diri dan memerhatikan penampilannya? “Kamu tuh ingat ga sih Mas kalau pagi ini aku ngajak kamu ke undangan nikahan?” tanya Kirani seraya memasang sabuk pengamannya. Formasi duduk mereka kini berubah. Berkat secangkir kopi pekat yang tadi Kane tenggak, sepertinya kadar kafeinnya cukup untuk membuat matanya tetap terbuka sampai di gerbang komplek perumahan tempat Kirani tinggal. Dari sana, Kane berencana memanggil taksi online. “Ingat.” “Yakin?” sinis Kirani lagi. “Iya, kenapa sih?” “Mas, Mama dan Papa pengen ngobrol sama kamu,” Kirani malah banting setir. “Rani,” Kane melembutkan intonasinya. “Kita pacaran baru sebulan kan ya Sayang?” Kedua mata Kirani membelalak, tak menyangka dengan apa yang barusan Kane tuturkan. “Maksud kamu, kamu pacaran sama aku cuma main-main? Perasaan kamu juga main-main?” “Bukan gitu, Ran. Aku cinta kamu. Kalau ga cinta ngapain aku ngajak kamu pacaran? Tapi untuk ketemu Mama dan Papa kamu jujur aja aku belum siap. Too early,” ujar Kane, beralibi. “Kamu bisa bilang aku kuno, katrok, norak dan sebagainya. Tapi aku ga akan memenuhi undangan ngobrol dengan orang tua pacarku kalau mentalku belum siap. Ini beda urusan dengan sekedar nyapa saat antar jemput ya. Ngobrol bagi orang tua perempuan itu punya tujuan yang lebih jauh, Ran.” “Berarti benar dong Mas ga serius sama aku?” “Serius maksud kamu tuh apa? Nikah?” “Jadi Mas ga ada niatan nikahin aku?” “Aku ga bisa nikahin kamu kalau pendidikan spesialisku belum selesai, Kirani. Aku belum punya penghasilan yang mumpuni untuk menanggung kebutuhan rumah tangga. Kamu mau aku kasih makan nasi, kangkung, tahu tempe tiap hari?” “Lebay banget! Mas kan PPDS di RSPI. Mas sendiri yang cerita kalau mereka ngasih Mas uang jasa. PPDS di rumah sakit lain ga digaji lho Mas.” “Aku juga ga digaji. Fee jasa dan gaji itu beda, Rani. Lagian uang itu kan kupakai untuk bayar kontrakan dan biaya hidupku setiap bulan.” Ya, dengan penghasilan yang tidak seberapa Kane memang harus memutar otak untuk mengatur keuangannya. Membiayai kebutuhan hidup, tabungan pendidikan meski ia mendapatkan bantuan program spesialis dari RSPI, investasi tipis-tipis, tabungan darurat yang entah kapan akan tercapai, juga tabungan hari tua. “Uangku ga cukup untuk menikah cepat. Masih butuh waktu. Seenggaknya setelah aku spesialis baru bisa mikirin soal nikah.” “Tapi aku perempuan Mas, ga bisa dong aku nungguin kamu lama-lama. Iya kalau dua tahun langsung nikah. Kan kamu sendiri yang bilang jadwal dokter spesialis tahun pertama dan kedua padat luar bisa. Ujung-ujungnya bisa molor lagi kan? Aku udah ditanyain mulu lho Mas kapan nikah.” “Kamu kena sindrom FOMO ya?” sinis Kane. FOMO atau fear of missing out adalah rasa takut ‘tertinggal’ karena tidak mengikuti kebiasaan tertentu. Di usia 25 tahun, saat teman-teman seumurnya sudah banyak yang menyebarkan undangan pernikahan, kekasih hati Kirani justru masih enggan menikah. Tentu saja ia akhirnya menjadi was-was. “Kok kamu jadi nyolot gitu sih Mas?” Kane menghempaskan napas. Jujur saja, ia teramat malas membicarakan perihal pernikahan. Bukan hanya masalah penghasilannya yang belum mumpuni, tapi yang lebih penting dari itu adalah mentalnya yang belum siap. Menjadi pemimpin rumah tangga, seorang suami, lalu berlanjut sebagai seorang Ayah. Peran-peran itu belum siap ia lakoni. Menjalani pendidikan spesialisnya saja sudah membuat hidupnya jungkir balik, ditambah berumah tangga dengan perempuan yang memiliki hobi mengeluhkan kesibukannya? Yang benar saja! ‘Pernikahan apa? Yang ada nasib gue bisa samaan sama dr. Luca.’ Menjadi seorang Dokter PPDS benar-benar membuatnya berpikir ulang tentang menikah cepat. Jika saat menjalani program koas dan internship ia sangat berharap tiba-tiba menikah, di masa residensinya ini ia sungguh menghindari bahasan pernikahan. “Kamu ga punya baju yang bagusan ya Mas?” ketus Kirani lagi, beralih topik. “Hah? Apa yang salah dari bajuku?” “Aku tuh malu Mas disindir teman-temanku. Dokter kok lusuh gitu. Seenggaknya kamu beli kek baju yang agak mahalan buat jalan sama aku!” Kane menepikan mobil Kirani, mereka baru saja masuk ke kompleks perumahannya. Wajah Kane memanas, jengkel seubun-ubun. “Kok berenti di sini?” “Kamu ingat ga yang aku bilang tadi? Aku 17 jam di IGD, Rani! Baru aku ketiduran sebentar telpon kamu yang ga sabaran udah bolak balik masuk. Perkara datang ke undangan akad nikah aja udah kayak mau nonton konser BTS. Terus kamu pikir aku sempat pulang ke kosan ngambil baju yang lebih layak dari ini? Bajuku di loker cuma ini! Apa yang salah hah?” sulut Kane, kesal. “Alesan aja kamu Mas! Kosan kamu tuh dekat! Kamu aja yang lebih milih tidur daripada bersiap nemenin aku! Seenggaknya kamu mikirin harga diri aku dong!” Kirani tak mau kalah. Kane menarik napasnya dalam, berusaha keras meredam emosinya yang kebablasan. “Sorry Sayang. Emang sih harusnya dari kemarin aku beli baju bermerek yang harganya berlipat-lipat dari fee jasaku tiap bulan, biar kelihatan seperti dokter kaya raya pas nemenin kamu.” “Kok kamu jadi sarkas gitu?” “Sarkas?” “Kamu nganggap aku matre?” ‘Anying! Ga beres-beres gue ngeladenin ocehan gaje begini!’ “Mau kamu apa sih?” sulut Kane akhirnya. Emosinya tak mampu lagi ia kuasai. Nada suaranya naik satu oktaf. “Kamu malu punya cowok kayak aku? You know what, aku ga sudi waktuku habis cuma untuk dengarin rengekan kamu!” “Apa? Rengekan kamu bilang?” “Ya apalagi namanya kalau bukan rengekan? Aku nih capek Rani! Harusnya pagi ini waktuku beristirahat. Malam nanti aku udah harus berdiri di garda terdepan lagi. Dan kamu ngebuang waktu berhargaku cuma untuk dengerin segala keluhan kamu! Are you out of your mind?” Kirani menganga. “Jadi selama ini kamu keberatan nyediain waktu kamu untuk aku?” Kane menutup matanya, menggigiti bibirnya yang masih saja ingin merepet. “Kamu ga mikirin gimana aku yang segitu sabarnya punya cowok kayak kamu?” Kane membuka matanya, menatap Kirani dengan kening yang berkerut. ‘Sabar?’ “Oke, Mas! Mulai detik ini kita putus!” Kane terkekeh. Ia melepas seat belt-nya, menarik tuas pintu, lalu keluar dari balik kemudi. “Oke! Kita putus! Terima kasih karena sudah bersabar selama sebulan ini, Sayang! Bye!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD