BAB 7: THE BEGINNING

2669 Words
“Dokter Kane?” Kane menoleh dengan menggenggam cup kopi yang baru mau ia sesap kembali. Satu tangannya yang bebas ia angkat, mengucek mata. ‘Eh, gue kira gue ngehalu!’ “Ya?” Lian duduk di samping Kane. Sofa itu hanya terdiri dari dua dudukan. Ia lalu meletakkan dua potong beef and cheese sandwich ke atas pangkuan Kane. Kane menunduk, menatap kotak bening itu tanpa suara, terheran-heran. “Dari Mama. Kata Mama makasih udah bantuin gue menyingkir dari hadapan Savi,” ujar Lian. Kedua bibir Kane membulat. Masih tanpa suara. Ia lalu menyesap kopinya seraya merengkuh kotak roti isi. Setelahnya, Kane menyandarkan punggung, menatap Lian. “Sama-sama. Tapi … bukannya lo ga nyaman?” “Hmm!” gumam Lian seraya mengangguk. “Tapi kata Mama, lo begitu karena mau nolong gue. Dan kayaknya tadi pagi omongan gue kelewatan.” “Lo lagi minta maaf? Jujur sih gue tersinggung waktu lo nyamain gue dengan si b******n itu.” Bibir Lian mengerucut, lalu mengangguk-angguk. “Entar dulu, Li. Itu anggukan apa? Permintaan maaf atau lo nganggap gue b******n juga?” “Permintaan maaf, Dok.” “Oh. Oke.” “Oke apa?” “Diterima. Ga apa-apa.” “Segampang itu?” “Apa lo sekte kalau ada yang susah jangan ambil yang gampang?” Lian tergelak. Tawanya yang renyah dan lengkung bahagia yang begitu manis membuat jantung Kane bertingkah. “Thanks kalau gitu, Dok,” ujar Lian dengan sisa kekehannya. “Gue susahin dikit deh.” “Lah? Kok gitu?” “Beliin gue Pringles Sour Cream and Onion yang ukuran kecil aja, Li. Buat buka puasa besok.” “Kenapa ga beli sendiri?” “Ya pengen aja dibeliin.” ‘Alesan aja gue Li biar bisa lihat lo, lagian itu keripik enak banget!’ “Tapi gue sukanya yang keju, Dok.” “Kan buat gue Lian. Bukan buat lo.” “Iya iya!” “Good!” Lian terkekeh lagi. “Ya udah, gue balik deh, Dok.” “Yuk bareng. Gue juga mau ke bawah, siap-siap.” Keduanya berjalan beriringan. Beberapa Dokter yang tengah bersantai di sana mencuri pandang pada mereka. “Tapi, Dok?” “Apa lagi Lian?” “Besok-besok, kalau terjadi kayak kemarin lagi, gue bisa kok ngadepin Savi sendiri. Ga sejago Mas Zhen sih, tapi gue juga bisa aikido.” “Jadi itu alasannya?” “Alasan?” Pintu lift di hadapan mereka terbuka, Lian dan Kane sama-sama melangkah masuk ke dalamnya. “Iya. Lo bisa aikido. Aikido itu kan cabang olah raga bela diri yang mengutamakan bertahan, bukannya menyerang. Makanya itu yang bikin lo bertahan di posisi lo dengarin ocehan Savi yang kemarin?” lanjut Kane. “Kok lo jadi sinis sih Dok?” “Gue ga suka lihat lo dianggap remeh, Lian!” “Emang kenapa?” Kane menghempaskan napas, lalu menggeleng lemah. Tak mungkin kan jika ia menjawab; karena I have a crush on you! “Orang lain aja cuek gue mau gimana. Palingan yang bawel Mas Zhen, Bang Irgi, sama Mas Gary,” jelas Lian lagi. Wajar sih Lian nanya, soalnya selama ini Kane kayak nganggap dia ada dan tiada. Maksudnya, kalau ga penting-penting banget ya Kane ga akan buka percakapan. Makanya Lian sempat takjub waktu Kane nyamperin dia di farmasi cuma buat ngobrol sejenak. “Intinya, gue bersikap begitu karena kemauan gue sendiri. Jadi kalau next time lo ga mau gue begitu lagi, better saat lo ribut sama cowok b******k macam Savi jangan pas ada gue!” ‘Kenapa sih? Kok jadi nyolot banget?’ “Kok lo jadi marah-marah sih Dok? Besok puasa tau, bukannya harusnya kita maaf-maafan?” Kane mendengus lagi. ‘Gue ga suka lihat lo dekat-dekat Savi sekalipun lo berdua lagi adu jotos!’ “Hmm. Lo pulang sama siapa?” “Mama masih di ruangan Papa. Nanti pulang bareng.” Lift pun tiba di lantai tujuan. Pintu terbuka, lalu keduanya beranjak keluar. “Gue cuma ga mau lo kena masalah, Li. Gue tau lo mampu ngehajar Savi. Sikap lo di video yang sempat viral itu keren kok. Tapi ya, I just can’t.” “Ya udah, thanks aja kalau gitu.” “Nah gitu dong. Simple kan. See you, Lian.” “Hmm. Fighting, Dok!” ujar Lian seraya mengulurkan tangan kanannya yang terkepal. Kane mengadu tinju mereka, namun Lian justru tergelak. Lian membalik kepalannya, membuka telapak, sebutir permen coklat persis seperti yang Kane berikan padanya tempo hari ada di sana. Kane mengambil permen itu, tersenyum hangat. “Fighting!” tandasnya. *** Lian lahir di Manhattan 26 tahun yang lalu. Begitu menyelesaikan jenjang pendidikan dasar, Liang dan Alisha memutuskan membawa pulang putri mereka untuk melanjutkan study-nya di Jakarta. Lian tinggal bersama Indy – kakak Alisha, beserta keluarga kecil mereka. Di masa pubertasnya tersebut, tiga sepupunya yaitu April, Lyra dan Firhan bergantian mendampinginya kemanapun. Tak hanya bak pengawal, namun sekaligus sahabat terbaik bagi Lian. Lalu, di jenjang SMA, Liang menyekolahkan Lian di salah satu sekolah putri terbaik di Jakarta. Begitu kuliah, fakultas farmasi menjadi pilihannya. Masalahnya, bukannya banyak belajar atau bergaul, Lian lebih suka mengukur jalan sendirian seraya berbelanja, hinggap dari outlet ke outlet untuk mengisi waktu yang ujung-ujungnya seringkali lupa waktu dan lupa saldo. Tak heran jika setiap tahun Zhen memiliki pekerjaan tambahan, pulang ke Jakarta untuk memberi ultimatum pada Lian agar tidak molor dalam menuntaskan pendidikannya meski ujung-ujungnya gelar Strata 1 baru didapatkan Lian setelah menempuh pendidikan tinggi selama sepuluh semester. Lian memang dikenal enggan akrab dengan teman-teman sekolah ataupun kuliahnya. Namun hal itu bukan tak beralasan. Semua temannya tau jika Lian adalah putri dari Liang Raiden, seorang Cardiac Surgeon sekaligus pebisnis di lini kesehatan yang tengah berkembang pesat. Tak sekali dua kali teman-temannya mengajaknya bergaul meski akhirnya Lian hanya dimanfaatkan. Mereka juga bukan orang susah, lantas mengapa setiap urusan p********n diserahkan pada Lian? “Mending main sama Kak April, Kak Lyra dan Mas Firhan daripada main sama teman-temanku. Mereka cuma ngarep aku bayarin bill,” ujar Lian di masa lalu kala April menanyakan mengapa ia begitu malas bergaul. Sifatnya yang lebih menyukai kesendirian membuat Lian tak banyak memiliki teman perempuan. Apalagi teman laki-laki, nyaris tak ada. Ditambah ia hanya mengenal pria-pria di keluarganya yang ia nilai baik dan menghargai perempuan. Maka tak heran jika saat Savian menyatakan cinta, melakukan banyak hal untuk menarik hati Lian, dengan cukup mudah hati Lian pun luluh. Savian itu pandai bersandiwara, membuat Lian ingin memberikan banyak hal pada mantan kekasihnya itu. Saat Savian pura-pura menolak, Lian justru bersikeras agar Savian menerima. Ujung-ujungnya, tingkat ekonomi dan level pergaulan Savian pun meningkat karena dimodali oleh Lian. Dan bodohnya, Lian lagi-lagi tak sadar jika Savian hanya ingin mendulang emas, bukan bersama Lian karena mencintai gadis itu. “Kamu akrab sama dr. Kane, Dek?” tanya Liang. Lamunan Lian pecah begitu saja kala suara berat sang Ayah menyapa pendengarannya. “Ngga sih, Pa. Sejak Lian kerja di rumah sakit bisa kehitung deh ngobrol sama dr. Kane. Itupun biasanya sebentar atau dia nanya alternatif obat untuk pasiennya yang alergi kandungan tertentu. Gitu aja. Kenapa, Pa?” “Baik lho anak itu, Dek.” Alisha terkekeh. “Maksud Papa?” ketus Lian. “Papa cuma bilang, dr. Kane itu baik.” “Oh. Ga ada maksud tertentu kan?” “Kayak apa?” “Misalnya Papa kesambet kuntilaki basement dua, terus tiba-tiba mau jodohin Adek sama playboy cap kampret itu?” Alisha bukan terkekeh lagi, namun terbahak. “Bukannya kuntilanak ya?” Liang malah membahas perihal ghoib. “Sepasang Papa.” “Oh gitu.” “Iiih Papa. Awas aja aneh-aneh!” “Kamu yang aneh-aneh. Anak baik gitu dikatain kampret.” “Tauk ah! Terserah Papa.” “Boleh dijodohin?” “Ngga! Ga mauuu!” “Sekarang aja ga mau, nanti kalau jodohnya ternyata Kane, Papa mau ketawarin Adek.” “Iiih Papa!” *** Siang itu rasa kantuk begitu hebat menyerang Lian. Kedua matanya mungkin sudah mulai lelah karena menantang cahaya dari layar komputer plus hembusan angin yang berasal dari penyejuk ruangan. Ia berdiri dari duduknya, melangkah ke ruang persiapan resep, memerhatikan team-nya yang bekerja. Pukul 13:45 wib dan nampak Kane melewati meja penerimaan obat. Dokter itu akan memulai kerjanya di shift kedua hari ini. “Cie Kak Lian,” goda Nia, seoang asisten apoteker yang bertugas siang itu. “Dilihatin aja. Ditegur dong Kak.” “Kamu tuh, gampang banget kemakan gosip.” “Kalaupun benar ga apa-apa Kak Lian.” “Ga apa-apa gimana? Sama playboy kayak dia? Ih! Ga banget!” “Awas ketulah Kak. Makan omongan sendiri nanti,” ujar Sherly, timnya yang lain. “Tapi kayaknya dr. Kane tuh emang suka deh sama Kak Lian,” ujar Nia lagi. “Jangan ngaco kamu, Ni.” “Soalnya aku suka merhatiin dr. Kane gaje gitu lho Kak.” “Gaje gimana?” “Ya entah lama-lama di dekat vending machine, ngeliatin ikan di akuarium samping, main hape di sofa depan.” “Apanya yang gaje?” “Setiap dokter tuh dapat free kopi, Kak. Kopi di kantin kan enak banget. Ngapain coba dr. Kane malah ngambil kopi kaleng di vending machine? Udah ga lebih enak, bayar pulak. Terus, akuarium di dekat IGD kan lebih gede, lebih bagus, ngapain coba dia ngeliatin yang di sini mulu? Udah gitu, dari sini ke ruang dokter kan ngesot sampe, Kak. Ngapain dia malah duduk di depan mainan hape? Mendingan rebahan di ruang dokter.” “Kamu nyambi jadi cenayang ya?” Yang ada, tim shift kedua instalansi farmasi kompak menyuarakan koor tawa. “Cie, Kak Lian,” goda Sherly lagi. “Hush! Jangan gitu. Nanti kedengaran dia, malah bikin besar kepala.” “Kayaknya dr. Kane ga tipe gitu kok Kak,” Raihan bersuara. Ia adalah satu-satunya asisten apoteker pria yang bertugas siang itu. “Setau aku dr. Kane tuh emang orangnya ramah, cenderung peka, dan meng-sad.” “Hah?” “Menyedihkan, Kak.” “Karena?” “Diputusin muluk. Soalnya mantannya pada ga tahan sama kesibukan dia.” “Ya mantannya aja yang bloon. PPDS kok dipacarin!” Kembali mereka tergelak. “Kalian kalau bukan nakes jangan mau dipacarin sama PPDS dan fellow bedah tahun pertama dan kedua. Berasa neraka!” ujar Lian. “Makanya, kan cocok sama Kak Lian. Kak Lian udah paham banget gimana sibuknya dokter. Secara dr. Liang, dr. Zhen, bahkan sepupu-sepupu Kakak banyak yang dokter. Kakak lihat sendiri gimana waktu mereka habis untuk pasien dan bikin jurnal. Ga sempat manja-manjain ceweknya.” “Tauk ah! Kalian nih kenapa semangat banget sih jodoh-jodohin gue? Kenapa ga kalian aja gitu wahai cewek-cewek yang masih pada single.” “Soalnya kelakuan anehnya dr. Kane itu bukan buat caper ke kami, Kak,” ujar Sherly. “Tapi, ke Kak Lian. Kita juga ga ada yang sadar sebelum kejadian kemarin kesebar.” Lian menghempaskan napas, bersikap tak acuh. Jika diladeni bisa sampai buka puasa mereka bergibah. Ia lalu melangkah kembali, sepertinya berjaga di balik meja penerimaan obat dan bertemu pasien jauh lebih baik daripada mendengar celotehan timnya. *** “Puasa lo?” tanya Luca yang baru saja duduk di samping Kane, di balik meja Doctor Station. “Puasalah Dok. Lo? Ikutan lagi tahun ini?” “Ikut dong! Biar seru.” “Sahur?” “Yoi! Rame banget bocah di rumah gue puasa-puasa begini. Durudugdugdug dari jam setengah tiga pagi. Emang ada ibu-ibu masak jam segitu?” “Ada kali yang anggota di rumahnya sekodi.” “Kaos lo sekodi!” “Iya dong, Dok. Beli kaos tuh langsung banyak, warna sama ga masalah. Kalau udah masuk sini ga bakal sempat juga mikirin ganti baju. Efisiensi dana dan waktu.” Luca terkekeh. Ia lalu menutup rekam medis pasiennya setelah memasukkan resep ke dalam sistem di komputer. “Hey guys!” sapa Isla yang ikut bergabung di space tersebut. “dr. Isla,” sapa Kane. “dr. Kane?” “Hmm.” “Kok lo pucat sih?” “Tumben lo perhatian.” “Gue mah selalu perhatian.” “Sama Mas Ryu?” “Exactly! Tapi beneran lo agak pucat lho, Dok.” “Ga apa-apa. Cuma ga sahur.” “Lah, kok bisa?” tanya Luca. “Gue aja yang ikut-ikutan puasa, sahur.” “Di kosan gue ga ada yang lewat durudugdugdug, Dok. Alarm nyala malah gue matiin lagi.” Luca meraih termometer infra-red di dekatnya, meletakkan benda itu beberapa senti di depan kening Kane. “37,8 tuh. Demam lo, bro!” “Biarin sih! Nanti abis buka gue minum obat.” “Heh, orang sakit boleh ga puasa. Gue pesanin makan apa ke kantin?” “Ga usah, Dok.” “Lo balik La?” tanya Luca pada Isla. “Iyalah, Dok. Buka pertama sama bocah dong.” “Emang Aya dan Thea puasa?” “Puasa dong. Kalau lagi ga ada yang dimakan sama mereka.” Kane terkekeh seraya membaca lembaran-lembaran diagnosa pasien yang dialihkan padanya. “Ya udah, bye La,” ujar Luca kemudian. “Lah, dr. Luca ga balik?” “Bocah ini sakit, ya gue standby dong.” “Balik aja, Dok,” ujar Kane. “Tenang aja. Gue males ngeliatin surat panggilan sidang. Vika juga udah balik ke rumah orang tuanya. Ngapain juga gue sendirian di rumah. Mending di sini ngerjain tesis.” Kane dan Isla beradu pandang, tak berani menginterupsi sambatan Luca. “Ya udah. Stay strong kalian. Gue balik ya? Nanti abis masak gue kirim sebagian deh ke sini. Mayan buat makan malem biar ga boring.” “Thanks, La,” ujar Kane dan Luca, kompak. Isla mengangguk, lalu melangkah menjauh, meninggalkan instalansi itu, sementara Kane berdiri dari duduknya seraya menepuk lembut punggung Luca. Yah mau bagaimana lagi, kisah cintanya sendiri selalu kandas di tengah jalan, sungguh tidak capable dalam memberi nasihat pernikahan. Kane menjauh dari Doctor Station, masuk ke salah satu bilik, mulai memeriksa pasiennya yang belum lama datang. *** Empat jam pun berlalu. Adzan berkumandang dari setiap speaker yang tersebar di seantero rumah sakit. Sebenarnya sudah sedari pagi kepala Kane terasa pening ditambah nyeri di sekujur tubuh. Ia menenggak segelas plastik air mineral hingga tandas tak tersisa, lalu merebahkan kepalanya di atas meja. Luca yang memerhatikan meletakkan punggung tangan di kening Kane, lalu mendengus. “Istirahat sana. Gue gantiin. Tinggal pilih tuh mau bed mana.” Kane menegakkan tubuhnya, meraih sebutir kurma untuk menaikkan gula darahnya kembali. Kunyahannya terasa hambar, padahal seharusnya manis bukan? Kehilangan mood-nya untuk menyantap beberapa menu berbuka yang diletakkan di meja Doctor Station, Kane akhirnya memilih berdiri dari duduknya. “Shalat bentar ya, Dok.” “Oke. Abis shalat infus.” “Iya deh.” “Tuh, bener kan! Daritadi disuruh buka ga mau sih lo,” sambat Luca lagi. “Marahnya entar aja kalau gue udah diinfus, Dok.” Luca mencebik, sementara Kane berjalan meninggalkan instalansi menuju Ruang Dokter. Sepertinya sekali ini tak ikut shalat berjamaah tak apa bukan? Tiga rakaatnya pun ia tunaikan. Sebelum melangkah ke IGD kembali Kane sempat membuat segelas teh manis hangat dan menyesapnya perlahan hingga tandas. Keringat di tubuhnya bercucuran, meski pening yang ia rasa tak juga mereda. Sadar jika ia membutuhkan pengobatan, Kane segera melangkah keluar dan menuju IGD kembali. Di batas koridor dari arah lift menuju farmasi, Lian mendapati Kane berjalan lurus dengan wajah pucat pasi menuju IGD. Jantungnya berdetak cepat, khawatir ada yang tak beres. Lian melangkah cepat ke ruangannya, mengambil keripik kentang pesanan Kane dengan wadah berwarna hijau muda. Gegas ia kejar langkah Kane sebelum pria itu kembali memasuki medan tempurnya. “dr. Kane!” panggil Lian. Kane tak menoleh. “dr. Kane!” Panggilan kedua, akhirnya langkah Kane terhenti. Lian masih melangkah mendekat, sementara Kane berbalik. Namun saat ia bermanuver, kepalanya justru berdenyut hebat, pun telinganya turut berdenging. Kane menggeleng-gelengkan kepala. Menatap Lian yang melihatnya dengan wajah khawatir. “dr. Kane?” panggil Lian. Sayangnya, Kane tak lagi mampu menangkap suara Lian dengan jelas. “dr. Kane?” Sosok Lian nampak bergoyang, suara di sekeliling Kane pun bergaung tak jelas, lalu tubuhnya terasa begitu dingin. Kedua kakinya seolah tak lagi berpijak. Sekejap kemudian … hanya kegelapan yang dirasanya. ‘Brugh!’ “DR. KANE!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD