Kevin

1002 Words
"Berhenti jadi anak pembangkang Kevin!" "Papa yang salah, bukan Kevin." "Anak seharusnya menurut ke orang tua. Bukan seperti kamu!" "Karena aku bukan Papa yang menghalalkan segala cara untuk berbisnis." Wijaya berdiri dari duduknya dan menghajar Kevin tepat di pipi dan perut. Kevin mundur beberapa langkah, ia masih bisa menjaga keseimbangannya. "Dia nggak salah Pa. Aku nggak mau menyakiti siapa pun." Kevin mendapatkan pukulan lagi di perut. Sekarang Kevin sudah tidak kuat menahan sakit dan tersungkur di lantai ruang kerja sang papa. "Papa tidak menyuruh kamu membunuh dia. Papa hanya ingin kamu membuat dia jatuh cinta ke kamu. Itu saja!" "Sama aja Pa!" Wijaya mengurut pelipisnya, ia sangat kesal dengan anak semata wayangnya yang tak mau menurut. "Jika kamu mau melakukan apa yang Papa minta, Papa akan segera melaksanakan pertunangan kamu dengan Rain. Kamu mau itu kan?" Ya, Kevin memang mau bertunangan dengan Rain. Namun bukan seperti ini caranya. Kevin tidak ingin menyakiti demi mendapatkan. "Cara itu kotor Pa." "Bisnis memang seperti ini Kevin. Semakin besar kamu mengorbankan, semakin banyak yang kamu dapatkan." Sungguh Kevin tak paham sama sekali darimana asal pemikiran seperti itu. Mungkin jika dalam ranah positif Kevin masih setuju, tapi Wijaya sudah kelewatan karena memakai cara kotor. "Papa mau apa setelah dia suka Kevin?" Senyum mengerikan terbit di wajah Wijaya. "Papa akan memanfaatkan orang tuanya. Mereka pasti ingin anak gadis satu-satunya yang mereka punya bahagia." "Sudah lah Pa. Ada cara lain yang lebih sehat daripada itu." "Pilihan ada di tangan kamu Kevin. Buat dia jatuh cinta dan tinggalkan setelah Papa selesai dengan urusan ini atau tidak ada tunangan dan restu dengan Rain." Astaga, itu bukan pilihan Pa. Kevin sangat mencintai Rain. Mereka sudah mengenal sangat lama dan saling berjanji untuk tetap bersama. Bahkan mereka sudah ada rencana untuk menikah setelah mapan. Namun pilihan dari Wijaya bukan hal yang baik. Kevin sangat bingung. Ia ingin bertunangan dengan Rain dan mendapat restu, tetapi Kevin juga tidak mau menyakiti orang tidak bersalah. "Kamu memilih pilihan nomor berapa Kevin?" "Beri waktu sampai besok Pa, aku akan memilih." "Tidak! Pilih sekarang atau kamu tidak akan pernah bertemu Rain lagi." Wijaya itu sangat licik. Dia mengirim Rain ke Jerman dengan alasan untuk mempersiapkan Rain menjadi pendamping Kevin. Itu bohong! Wijaya hanya ingin Rain dalam kendali kekuasaannya dan Kevin dapat ia gunakan untuk mendapatkan apa yang ia mau. Kevin sudah tau itu semua, tapi terlambat karena Rain sudah terlanjur pergi. Sekarang keselamatan Rain ada di tangan Wijaya. "Baik, aku pilih Rain." Senyum puas menghiasi wajah Wijaya. "Anak pintar. Pilihan kamu sangat tepat." Wijaya hendak memeluk Kevin tapi ditolak. Kevin memilih pergi tanpa mengatakan apa-apa. Ia benci dirinya sendiri yang belum bisa berbuat apa-apa. Saat ini Kevin hanya lah seperti boneka hidup untuk Wijaya. Kevin belum punya kekuasaan apa-apa untuk menjinakkan sang papa. Satu foto sudah ada di tangan Kevin. Foto yang tak lain adalah foto dari Jocellyn Alvioni William, putri sekaligus anak kedua dari Putra William. Pengusaha paling sukses di bidang properti. Awalnya Kevin ingin langsung tidur tapi ia melihat foto itu sekali lagi. Sepertinya wajah itu pernah terlihat oleh Kevin sebelumnya. Terbukti dari raut wajahnya yang serius. "Dia yang nabrak gue di koridor." Sungguh Kevin ingat betul. Raut wajah malu-malu yang tak sengaja menabrak dia di koridor karena menyalamatkan salah seorang temannya yang hampir terjatuh ke selokan. Nama gadis itu juga tak asing. Kevin mencoba mengingat lagi dan ia langsung membuka ponsel.  "Dia pernah kirim pesan selamat? Tapi kenapa dia pakai inisial nama?" Kevin yakin jika inisial 'JAW' itu adalah singkatan dari Jocellyn Alvioni William. Orang yang menjadi targetnya saat ini. Gadis itu terlihat polos di mata Kevin. Bahkan jika bertemu sekali lagi dan mengobrol, Kevin tak tau bisa melakukan perintah papanya atau tidak. Saat Kevin ingin menyerah dan mengembalikan foto itu, bayangan Rain kembali memasuki pikirannya. Banyak hal yang telah mereka lakukan dan itu menyenangkan. Kevin sungguh tak bisa kehilangan Rain. ***** "Kevin, bangun." Rasanya mata Kevin seperti dikalungi beban berat, susah terbuka. Saat berhasil membuka matanya, Kevin menyipit karena terlau silau. Entah di mana ini, yang Kevin kenali hanya sosok mamanya. Sungguh Kevin sangat rindu mamanya. "Mama." Kevin memeluknya. "Kamu benar-benar ingin memilih pilihan itu Nak?" "Kevin terpaksa. Rain jadi taruhannya." "Ada pilihan yang lebih baik dari itu Nak." Seperti ditarik paksa dari dimensi lain. Kevin terbangun dari tidurnya dengan keringat dingin. Bahkan ia belum mengungkapkan rasa rindunya ke sang mama. Sekarang sudah pagi, itu artinya Kevin tertidur saat masih memegangi foto Cellyn. Entah apa maksud mamanya di mimpi itu. Firasat Kevin tak baik sejak menerima tawaran Wijaya. "Apa ini salah? Tapi Papa bilang dia tidak akan menyakiti Cellyn. Papa hanya ingin mengendalikan perusahaan mereka." ***** Pagi ini di lokernya sudah ada satu kotak sarapan dan minuman. Entah dari siapa Kevin tidak tau. Hal ini sudah berlangsung lama dan Kevin belum berniat mencari si pengirim sarapan ini. Asal sarapan ini tidak berbahaya, Kevin akan membiarkan saja. Mungkin ada orang yang diam-diam memendam perasaan padanya. "Enak juga." Ini pertama kalinya sarapan yang dikirim dalam bentuk nasi goreng. Biasanya hanya roti bercampur selai coklat. Pasti lucu kalau tiba-tiba orang itu kepergok oleh Kevin sendiri. Ide gila muncul di otak Kevin. Setiap selesai menghabiskan sarapan, kotak bekal hilang begitu saja dan besoknya sudah diganti dengan yang baru dan terisi. Itu artinya, si pembuat sarapan ini akan mengambil kotak bekal saat Kevin tidak tau. Pasti dia memanfaatkan waktu pulang sekolah karena sepi. "Kabel di kepala lo rusak Kev?" "Ngaco lo. Gue baik-baik aja." Denin hanya mengangkat bahu tak tau. "Dari tadi gue perhatiin lo meringis terus. Biasanya juga makan tuh bekal biasa aja." "Ini?" Kevin mengangkat kotak bekalnya di udara. "Ya mana ada lagi selain itu." "Enak, gue suka. Gue penasaran sama pengirimnya. Kayaknya seru kalau gue tau dia siapa." "Caranya?" tanya Denin bingung. "Gue akan tunggu dia ngambil kotak ini. Pulang sekolah gue tungguin di deket loker." Denin menepuk pundak Kevin dan tertawa. "Semoga usaha lo berhasil bro. Bocorin ke gue juga ya. Siapa tau kalau lo nggak mau, gue bisa gebet dia." "k*****t lo Den!" "I'm your secret admirer Mas Kevin." Denin terpingkal-pingkal di kantin.`
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD