Prolog
Siapa sih yang nggak mau nikah? Semua orang pasti pengin nikah, kan? Yang homo atau lesbi sekalipun pasti pengen nikah, walau nikah sama sesama jenis.
Banyak hal yang dipertimbangkan, dari mulai segi kesiapan mental dan materi. Yang bilang; makan nggak makan, asal sama kamu. Itu bullshit, emang cinta bikin kenyang? Kalau cinta bikin kenyang, ngapain capek-capek masak.
Dan menikah juga butuh pasangan yang cocok, karena menikah itu cuma satu kali dalam seumur hidup, jangan sampai salah memilih pasangan.
Namaku Latisha Quina Salsabela, umur 18 tahun, baru tamat SMA, sudah mempunyai kesiapan mental untuk menikah, tapi belum mempunyai pasangan. Sejak SD punya cinta-cita menikah muda, cita-cita yang sangat mulia, bukan? Yaitu menyempurnakan separuh agama, kurang sholehah apa coba?
Sekarang, aku, kedua abangku dan kedua orang tuaku tengah duduk di ruang keluarga. "Ma, Pa. Adek mau nikah," ujarku tanpa basa-basi yang membuat ke empat bola mata menatapku heran, lalu seketika tawa mereka pecah.
"Bercanda lo lucu," celetuk Abang Willy —Kakak pertamaku—
"Gue serius, emang gue ada tampang ngelawak?"
"Bukannya selama 18 tahun hidup, lo jomblo terus?"
Kali ini ucapan Abang Kevin memang benar, karena aku punya prinsip; pacaran setelah menikah, yaitu dengan seseorang yang telah menjadi imamku.
Aku mengangguk. "Makanya cariin adek suami."
Papa menggaruk tengkuknya, lalu menatapku. "Dek, kamu nggak mau kuliah? Lagian kamu mau nikah sama siapa? Nikah itu nggak mudah, Dek."
Aku mengangguk yakin. "Adek udah lelah belajar, makanya adek mau cari suami yang mapan, sholeh, pintar, dan bonusnya tampan."
"Emangnya ada yang mau sama kamu? Masak air aja gosong, beresin tempat tidurnya aja masih andalin Mama, mandi aja suka malas-malasan, dan kamu mau suami yang kayak gitu?" ucapan Mama menohok sekali, tetapi aku tetap semangat untul mendapatkan laki-laki yang seperti itu.
"Makanya nanti kita buat sayembara pemilihan calon suami untuk adek."
"Ngawur, mending kamu kuliah dari pada mikir nikah di umur segini," tutur Papa, setelah itu meninggalkan ruang keluarga.
Aku berpikir keras, di mana aku bisa mendapatkan sesosok suami yang seperti aku idamkan, aku menatap Abang Willy dan Abang Kevin. "Dosen-dosen Abang nggak ada yang bisa dikenalin ke gue gitu?"
"Udah sana, mending lo tidur dari pada kebabanyakan ngelantur," ujar Abang Kevin.
Aku menatap Abang Willy, dan berharap dia bisa membantuku.
"Ada."
Aku tersenyum senang. "Siapa?"
"Satpam kompleks."
"Sialan!"
Benar-benar tidak ada yang bisa membantuku, kalau begitu biar aku sendiri yang mencarinya.
Tunggu Tisha menjemputmu wahai calon suamiku.