PART 8

1090 Words
Kekesalan Inna muncul begitu saja atas ulah Aldi yang menurutnya sangat berlebihan, terlebih ketika pintu ruang rawat inap itu sudah tertutup, "Kenapa kamu tutup pintunya, Kak Al! Apa kamu sudah nggak waras? Dokter mana yang memeriksa pasien tanpa seorang perawat pun di dekatnya, hem? Kamu mau aku--" "Aku memang mau kamu, In. Dari dulu tapi terpaksa harus kutahan demi keinginan Papa yang mau aku jadi dokter juga." Inna berkata dengan suara lantang, namun Aldi tak sungkan untuk memotong ucapannya. Dokter kandungan itu bahkan mengungkapkan hal yang pernah terjadi dalam hidupnya di masa lalu dan berhasil membuat kedua bola mata Inna terbelalak, "Astaga, Kak!" Jujur saja, Inna tak pernah tahu perasaan apapun yang ada di dalam diri Aldi. Tidak sama sekali dan hal tersebut adalah sebuah kenyataan. Aldi berkata bahwa dirinya sudah berusaha untuk mendekati Inna melalui Indra, namun tak satu pun cerita tersebut sampai ke telinga wanita itu sampai kakaknya meregang nyawa di atas aspal akibat kecelakaan beruntun. Inna sudah menjelaskan semuanya ketika mereka bertemu di poli ibu dan anak saat hendak memeriksakan kandungannya untuk yang pertama kali, "Apa? Kamu mau pura-pura nggak tahu? Bukannya pas Indra masih hidup kita sering balas-balasan email? Harusnya kamu peka dong. Bukannya malah tergoda sama laki-laki lain pas kamu udah punya handphone. Ini akibat dari keganjenan di f*******:, kan?" "Kakak, cukup!" Tapi Aldi tak pernah memercayai apa yang Inna sampaikan, lalu membuat ibu hamil itu jengah dan meledakkan amarahnya kini. Inna merasa waktu yang Aldi pilih saat ini, kurang tepat dengan kondisi tubuhnya, tapi nampaknya sang Obygn tak mau mengerti. Suara menghakimi Aldi masih saja terdengar nyaring di sana, "Nggak bisa cukup, Inna! Kamu menjengkelkan." "Enak aja! Bukan aku tapi kam-- Hemphhh..." Bahkan kini tindakan tak senonoh pun ia lakukan, ketika Inna berusaha untuk kembali menjawab kata-kata pedasnya. Aldi Wiryawan melumat habis bibir ranum Inna setelah ia mendekat ke arah brankar tanpa disadari wanita itu. BRUK "Argh!" Lalu yang bisa Inna lakukan, tak lain mendorong tubuh liat Aldi dengan sisa-sisa tenaganya hingga terjungkal ke lantai. Melelehkan bendungan air matanya, kini menjadi hal yang terlihat di depan mata Aldi Wiryawan dari seorang Inna Bastari. "b******n kamu, Kak! Aku bukan p*****r!" Aldi juga mendengar bagaimana cacian dari mulut Inna tertuju padanya, dan ia tidak keberatan akan hal itu. Aldi seolah sadar bahwa seharusnya ia dapat menahan sejumlah gejolak yang tak pernah padam di dalam hatinya untuk sang pujaan hati, "In, aku--" "Keluar! Keluar atau aku bakalan teriak-teriak sekarang!" Tapi yang Aldi lakukan adalah sebaliknya, hingga membuat Inna bersedih hati. Wajah memerah ia tunjukkan setelah mencoba mengusir Aldi dari sana, namun belum juga berhasil terlaksana. Aldi tetap diam mematung di depan brankar setelah bangkit berdiri dan sebaris kalimat pun keluar dari pita suaranya, "Maaf. Aku tak akan mengulanginya, dengan catatan kamu harus cepat sehat." Aldi menunggu tanggapan dari Inna. Tatapan matanya tertuju pada sosok yang berbaring dengan selang infus di pergelangan tangannya, lalu menimbulkan sedikit rasa iba, "Kamu dokter, Kak Al. Kamulah yang seharusnya bisa membantuku untuk cepat pulih, bukan semakin menambah beban pikiranku." "Aku tahu. Sekali lagi maafkan aku. Itu... Itu tak akan terjadi lagi. Aku pergi." Setelah mendengar Inna berkata demikian, langkah kaki Aldi melebar menuju ke arah pintu ruangan rawat inap. Aldi pergi bersama berjuta perasaan yang bercampur aduk, akibat perbuatannya pada Inna. Tujuan pria berkaca mata itu adalah pelataran parkir rumah sakit, tetapi baru saja pintu kamar tertutup, langkah sudah harus terhenti oleh suara salah satu perawat yang bertugas, "Maaf, Dokter Aldi. Pasien yang kemarin berencana melakukan persalinan normal, mengalami gagal janin. Frekuensi detak jantung calon bayinya tidak stabil, maka itu saya menunggu Dokter dari tadi." Gagal janin pada seorang pasien yang sebelumnya memaksa untuk melahirkan secara normal terjadi di sana, "Ya sudah. Siapkan semuanya. Kita lakukan SC sekarang juga! Anak-anak anestesi masih ada 'kan?" "Pak Tino sama Robert saja yang belum pulang, Dok. Mak Martha barusan pamit setelah Dokter Hanum selesai tadi." Maka suka tidak suka, Aldi harus mengesampingkan kepentingan pribadinya. Berbelok kembali ke ruangan bersalin adalah tujuan terbarunya kini, "Cukup kok. Kamu ikut saja nanti ya? Ayo cep--" "Aku usahakan besok ya, Ra? Kamu duluan saja ke Kupang biar nggak telat ikut deklarasinya, karena kamu sekretaris partai." Namun langkah kaki Aldi terhenti, ketika suara Torra yang sedikit berdebat dengan Laura, tak sengaja masuk ke dalam indera pendengarannya. Aldi pun mengangkat satu lengannya, sebagai tanda agar perawat yang berada tepat di belakangnya ikut berhenti melangkah sepertinya. Dokter kandungan itu bergeser ke arah dinding dengan telunjuk yang sudah ia letakkan tepat di depan bibirnya, dan lagi-lagi sang perawat pun menuruti kehendaknya. Seperti hansip yang hendak menangkap maling jemuran, keadaan Aldi bersama perawat wanita itu tak ubahnya demikian, "Kita berencana naik bareng kali ini, Tor. Kamu tuh susah dibilangin dari dulu, padahal harusnya kali lalu kamu dapatin kursinya. Maka itu aku datang nyari kamu ke rumah, karena nomormu nggak bisa dihubungin." "Ra, istriku pendarahan. Bukan aku nggak mau angkat teleponnya." "Tante Tere bilang dia nggak suka sama perempuan itu." "Dia hamil anakku." "Kamu yang bodoh! Harusnya aku!" "Kita di rumah sakit, Ra. Aku lagi nggak mood ngebahas ini." "Tapi aku masih mencintaimu, Tor." "Ra, aku--" "--Jangan disangkal. Jangan pura-pura bodoh sama keadaan kalau perempuan itu cuma pelarian kamu dariku. Aku pulang. Tante Tere biar aku yang antar sekalian." "Memang harus kamu yang antar karena kamu yang bawa Mama ke sini." "Hem, aku pulang dulu." Cup Sekian banyak kalimat yang sudah masuk ke dalam isi kepala Aldi dan di ujungnya ia terpaksa bergumam, mengeluarkan kekesalannya, "Suami b******k! Ya Tuhannn... Kamu hanya sekedar pelarian untuknya, In. Kau salah memilihnya!" Aldi tidak menyangka jika wanita yang selama ini begitu ia cintai, memiliki nasib sedemikian rupa, membuat hatinya di liputi rasa iba sekaligus jengah. Untung saja perawat di belakang punggung Aldi memperdengarkan suaranya lagi di sana, "Dok?" "Sebentar, Sus. Tunggu dua orang di depan kita itu pergi dari sana dulu." Pijakan yang sempat melambung tinggi, mendarat kembali ke bumi dengan selamat. "Mereka sudah pergi tuh, Dok." "Egh, iya. Baiklah. Ayo, Sus." "Iya, Dok." Dan keduanya kini bergerak menuju ke ruang bersalin, tempat di mana pasien gawat janin tadi berada. Kendati begitu, jangan berharap pikiran Aldi akan tetap sama seperti sebelum ia mendengarkan obrolan Torra, karena pada kenyataannya sejumlah rencana sudah terlintas untuk segera terlaksana, "b******n kau, Torra! Lihat aja apa yang nanti bakal aku lakukan. Kalian berdua pasti bercerai! Tunggu tanggal mainnya!" Sejak kecil, Aldi selalu mendapatkan segala keinginannya dari kedua orang tuanya, jadi kali ini pun dirinya sangat yakin dengan apa yang ia kehendaki. Berhasilkah Aldi menjadi duri dalam keutuhan rumah tangga Inna dan Torra? Aku tak tahu. Kita tunggu saja. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD