PART 4

1055 Words
Detik demi detik berada di atas brankar rumah sakit dengan lelehan darah yang masih mengalir, membuat degupan jantung Inna nyaris terlepas dari tempatnya. Pandangannya pun mulai mengabur, lalu di detik berikutnya pula, ia tak bisa lagi menunda untuk melepaskan air matanya. Meringis sembari memenangi perutnya, Inna lakukan ketika seorang suster paruh baya datang bersama nampan besi berisi beberapa benda yang tidak ia ketahui namanya, "Ssttt..." Suara suster itu terdengar dari balik masker yang ia gunakan, "Sabar ya, Bu. Kita periksa dalamnya sekali lagi. Dokter Aldi sudah menuju kemari. Jadi tolong jangan banyak bergerak dulu, biar darahnya juga tidak banyak keluar lagi, oke?" "Baik, Suster." Jadi yang bisa Inna perbuat selanjutnya adalah menurutinya saja. Sepasang sarung tangan lateks berwarna putih gading yang baru saja dikeluarkan dari pembungkusnya, pun tak sampai sepuluh detik sudah melekat di jari-jari perawat tersebut. Dua ruas jari, tak lama kemudian masuk ke dalam alat kelamin Inna, menyebabkan keterkejutan terlontar keluar begitu saja, "Auw!" Ada banyak kalimat lagi yang suster itu berikan, tentu saja dengan tujuan menenangkan Inna di sana, "Tahan ya, Bu. Tahan sedikit biar saya coba lihat letak adiknya bagaimana di dalam. Soalnya baru mau masuk bulan ke tujuh kayaknya tadi ya? Saya coba sapa tahu kali ini darahnya bisa berhenti sebelum dokter Aldi datang." Berusaha untuk patuh, satu tarikan napas panjang Inna keluarkan sebelum ia kembali membuka suaranya dan terbata, "Iy..ya, Sus— Ssttt...!" Aktivitas keduanya terjadi dalam salah satu kamar bertirai di bangsal bersalin, sementara Torra Mahardika yang menjadi asal muasal kejadian tidak mengenakkan itu, berada di koridor luar. Torra ternyata sedang berbicara dengan kepala tukang tentang rencananya yang gagal terlaksana, "Tolong cek-cek aja semuanya sore ya, Pak Jiman. Saya berencana mau ke lokasi tapi ibu lagi di rumah sakit nih sekarang. Besok bahan-bahannya sudah bisa di drop juga, sekalian kasih saja kasbon yang diminta sama tiga orang tukang itu. Nanti saya transfer uangnya. Bisa kan, Pak Jiman?" "Bisa, Bos. Kebetulan saya sudah mau jalan ke lokasi ini. Masih beli gorengan dulu di pinggir jalan, biar nanti sekalian buat teman ngopi di sana." "Oke-oke, Pak Jiman. Lanjut deh kalau begitu. Saya urus biaya administrasi rumah sakit dulu ini. Makasih." Lalu setelah panggilan telepon itu berakhir, langkah kaki Torra pun bergerak menuju ke bagian administrasi di rumah sakit tersebut. *** Tinggal di sebuah kabupaten setelah sempat menetap di Ibu Kota Negara, memang resiko yang harus Inna Bastari jalani. Hubungan long distance relationship yang merangkak terlalu jauh, nyatanya membuahkan janin di dalam rahimnya. Ikut berada di sisi Torra merupakan sebuah kewajiban yang harus ia jalani, "Dokter Aldi sudah datang, Mak Tina. Bagaimana keadaannya?" "Aduh, syukurlah. Saya kira masih lama. Ini lagi usaha biar darahnya berhenti, Mia. Kasih tahu Dokter Aldi ada pasiennya dari Poli ibu dan anak di sini yang lagi butuh. Jangan sampai dia keburu keliling untuk visited duluan. Cepat!" "Baik, Mak Tina." Termasuk menunggu satu-satunya dokter kandungan yang diperkerjakan oleh Rumah Sakit Umum Daerah Naibonat tersebut. Tak ada satu kata pun yang keluar dari bibir Inna, di tengah ketegangannya menunggu sang obygn datang. Pandangannya tertuju pada suster paruh baya yang baru ia ketahui namanya, sembari sesekali menatap ke arah gorden pembatas berwarna biru langit di sampingnya. Tak sampai lima menit kemudian dokter Aldi Wiryawan yang ditunggu, hadir bersama kaca mata minus bertengger di batang hidung mancungnya, lengkap dengan jas putih di tubuh tegapnya. Rasa khawatir laki-laki berusia tiga puluh dua tahun itu menguap begitu saja tanpa bisa terkontrol lagi dan Inna nyaris berteriak, karena sikapnya, "Kenapa bisa, In? Suami gilamu itu mana?" "Dok!" Pernah menjadi teman baik mendiang Indra Baskoro yang merupakan kakak kandung Inna Bastari, adalah rahasia besar yang selama beberapa bulan disembunyikan oleh wanita hamil itu dari suaminya, "Sus Tina, tolong ambilkan saya air hangat di dalam wadah besi ya? Hangat suam-suam gitu jangan lebih banyak air dinginnya." Sejujurnya Inna tidak ingin menyimpan hal tersebut. Ia ingin berbagi cerita itu pada Torra, tapi sikap tidak peka selalu diterimanya selama beberapa bulan pernikahan mereka. Ditambah lagi, Aldi dengan terang-terangan mengatakan bahwa hingga sekarang pun dirinya masih saja menyimpan banyak rasa untuk Inna, dan begitu menyesal pada waktu yang sempat menciptakan jarak untuk keduanya, "Baik, Dok. Saya ambilkan air hangat sekaligus mencari suami pasien dulu. Tadi bapak itu saya suruh pergi ke bagian administrasi." "Suruh tunggu di luar saja, Sus Tina. Masa laki-laki masuk ke kamar bersalin? Biarkan dia di luar. Jangan disuruh masuk. Mengganggu sa—" "—Kak Aldi, cukup!" Suara Aldi yang sarat kecemburuan, membuat Inna terpaksa memotong ocehannya. "Egh, permisi, Dok!" Dan hasilnya pun sudah dapat dipastikan, ketika tanpa sadar Inna menyempitkan hubungan mereka berdua. Suster paruh baya bernama Martina itu, tentu saja merasa aneh dengan perdebatan kecil yang terjadi di sana. Secepat mungkin ia mencari jalan agar dapat keluar dari tempat tersebut, guna menepis segala pikiran buruk di dalam isi kepalanya, "Mungkin ibu itu kenalannya Dokter Aldi kali. Kan tadi dia sendiri yang minta kami telepon, terus juga sampai panggil kakak segala. Jadi pasti keluarganya itu." Kini, anak cucu Adam itulah yang tersisa. Aldi pun sudah selesai menyematkan sepasang sarung di kesepuluh jadi-jarinya seperti apa yang Suster Tina lakukan beberapa saat lalu dan menyentuh masing-masing kaki Inna, adalah hal berikutnya yang ia lakukan. Dokter kandungan itu bersiap untuk memeriksa keadaan janin melalui jalan lahir, "Buka kakinya, Sayang. Aku masukin obat biar darahnya berhenti ya?" "Aduh, Kakkk... Nggak mau. Aku mal— Ssttt... Aduhhh..." Tetapi Inna dengan spontan merapatkan kedua kakinya dan itu berakibat pada kondisi perutnya. Satu kekehan masam, sempat terpatri di wajah tampan Aldi sebelum ia menajamkan bola matanya menatap Inna. Tangan Aldi sedikit memaksa agar sepasang kaki jenjang Inna terbuka lebar untuknya dan wanita itu pun berusaha untuk membuang rasa keki dalam dirinya, "Aku udah biasa ngeliat yang kayak gini, Cantik." Sayangnya Aldi yang diliputi tumpukan kebahagiaan sejak berjumpa kembali dengan sang pujaan hati beberapa bulan lalu, terus saja mengumbar dan seolah tak bisa berkompromi, "Jaga bicaramu, Kak. Ini di rumah sakit. Jangan panggil aku begitu karena kita nggak punya hubungan apa-apa!" "Kita belum, Inna Bastari. Bukan nggak punya. Aku tahu keadaanmu dengan manusia gila itu bagaimana, dan semakin dia menyakitimu, maka lambat laun kesempatan itu ada darimu untukku. Buka yang lebar, Sayang. Jangan protes lagi!" "Arghhh..." Sehingga hal itulah yang membuat keadaan semakin terasa rumit, menurut seorang Inna Bastari. Ia tidak pernah membuka kesempatan, serta tak ingin melakukan banyak kesalahan yang lebih fatal lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD