Ayah Torra sudah kembali ke rumah dengan beberapa wejangan dari dokter, bahwa lebih banyak berdiam diri di tempat tidur, merupakan cara ampuh untuk dapat beraktivitas seperti sebelumnya.
Empat hari berada di rumah sakit benar-benar tidak mengenakkan untuk Thomas Mahardika, sebab sepanjang hari ia selalu mendengar Theresa Widayati menggerutu tentang Inna Bastari, menantu perempuan mereka.
Penyebab kambuhnya sakit jantung akibat mengejar penjual bakso keliling, berulang kali disebutkan istrinya, "Kita udah sampai di rumah, Ma! Kamu bisa nggak, sih, diam dan nggak bikin kupingku sakit terus? Lupa apa kata Dokter Brata, hem? Mau aku tidur di rumah sakit lagi?"
"Yang anak kamu itu Mas Torra apa Inna? Kenapa papa belain dia terus?!"
"Karena di dalam perutnya ada keturunanku juga, Ma! Cucu kita!" Bahkan setelah sampai di kamar mereka, pun Theresa masih sama seperti kemarin dan membuat rasa kesal Thomas tersulut begitu saja.
Seharusnya itu tak perlu terjadi karena sebagai seorang ibu, Theresa tentu tahu bagaimana rasanya mengandung dan juga melahirkan, "Dia sudah bawa Mas Torra masuk ke agamanya dia, Pa! Kamu lupa?!"
"Memangnya apa yang bisa kamu banggakan dari ajaran agama kita? Kamu ke gereja pas hari minggu aja enggak kok ngatur-ngatur Torra soal agama. Sadar nggak, sih? Kita itu dari awal sudah salah dalam membimbing Torra, Ma. Kamu sibuk dengan pekerjaanmu dari dulu ngurusin toko online dan aku pun diam aja nggak ada niat mempermasalahkan sikapmu yang keras kepala."
"Pa—"
"—Jangan bantah! Aku sibuk di lokasi proyek untuk memberi kalian bertiga kehidupan yang layak, tapi bagimu itu semua belum cukup dengan adanya toko online itu, kan? Kalau Torra dengan mudah mengganti keyakinannya, bukan berarti Inna yang harus kamu salahkan. Lagi pula Tuhan itu satu, Theresa. Bukan agama yang menyelamatkan kita, tapi iman adalah penentunya! Pintu keluar dari kamar ini ada di sebelah sana, jadi silahkan kamu keluar dan biarkan aku tidur sekarang! Kepalaku sakit!"
"Papa emang nggak pernah bisa diajak kompromi! Tidur yang banyak! Biar nggak nyusahin aku terus karena penyakitmu itu!"
"Jangan lupa pintunya ditutup!" Namun, Theresa memilih untuk tetap pada pendiriannya, terus mempermasalahkan hal yang menurut Thomas bukan bagian dari kapasitas, kendati mereka merupakan orang tua kandung Torra.
Theresa keluar dari kamar dengan kobaran api yang semakin menyala merah dan saat itulah Inna mungkin akan terkena percikannya, tatkala keduanya berpapasan di undakan anak tangga.
Berburuk sangka adalah alasan mengapa suara lantang Theresa kembali ia perdengarkan untuk menantu perempuannya, "Apa itu? Kamu makan di dalam kamar ya? Sudah berapa kali saya bilang—"
"—Ini stoples isinya lulur mandi racikan dari ibu saya, Ma. Kalau Mama nggak percaya, silahkan dicek sendiri. Telinga sama otak saya masih berfungsi dengan baik, jadi mama nggak perlu capek-capek mengingatkan soal aturan di keluarga ini la—"
"—Tutup mulutmu, Inna! Kamu lagi bicara sama mamaku itu!" Dan terkutuklah Torra ketika tanpa bertanya terlebih dahulu, ia pun dengan cepat berkobar seperti ibunya.
Perdebatan pun meletus begitu saja tanpa bisa dicegah oleh mereka bertiga di sana, "Kamu sudah lihat kan, Mas? Mama benar-benar nggak nyangka begini pilihan yang kamu bawa ke rumah ini! Nggak punya sopan santun!"
"Cepat minta maaf sekarang, In! Kamu berniat bikin anakku lahir dengan sikap melawanmu itu! Cepat minta maaf ke mam—"
"—Nggak perlu! Mama nggak akan ngasih maaf kecuali kamu kembali ikut agama mama dan papa lagi!"
"Ma!"
"Apa, Mas? Heh, hebat! Kamu bahkan sudah semakin membantah omongan mama seperti istrimu itu! Lucu sekali!" Lalu ujung dari semuanya adalah kepergian Theresa bersama langkah lebarnya menuju ke lantai dasar rumah mereka.
Di tengah undakan anak tangga, suara Torra kembali terdengar berisi luapan amarah untuk istrinya, "In, sudah berapa kali aku bilang, sih? Kamu kan tahu mama itu—"
Prank
"Astaga, Ibu!" Tetapi belum lagi kalimat itu sampai di ujungnya, suara pecahan sesuatu terdengar dari dalam dapur dan tentunya diikuti oleh teriakan Mbok Darmi yang begitu menggelegar.
Torra berlari meninggalkan Inna di tengah tangga. Ia tak lagi sempat mengucapkan apa-apa lagi tentang sikap Inna yang menurutnya sangat tidak sopan, dan wanita hamil itu pun demikian.
Inna memilih untuk terus melangkah menuju ke kamarnya di lantai dua, sembari bergumam sejumlah kepiluannya pada sang pencipta, "Maafkan hamba ya, Rab. Hamba sadar betul ini sebuah kesalahan fatal, tapi hamba benar-benar nggak bisa diam sementara Mama terus menyalahkan kayak gini. Tolong berilah petunjuk untuk rumah tangga ini. Kami bahkan baru memulainya. Tolong hamba."
Masuk ke dalam kamar sembari meletakkan stoples racikan lulur buatan ibunya di atas meja, baru saja dilakukan Inna setelah ia selesai menutup pintu kamar.
Dengan langkah pelan ia meraih handuk baru yang tersusun di lemari pakaian paling bawah, lalu masuk ke dalam kamar mandi sembari berceloteh pelan, "Opamu sudah pulang dari rumah sakit, Dek. Jadi kita udah bisa periksakan kamu ke dokter kayak biasanya. Maafkan bunda yang belum bisa bikin kamu tidur nyenyak, Nak. Bunda janji kita pasti bisa secepatnya keluar dari rumah ini sama ayah juga. Bunda bukan mau ajarin kamu berbuat jahat, kamu tahu itu kan? Ini semua demi kebaikan kita nantinya. Doakan bunda ya, Sayang?"
Ya, Inna memang berencana untuk keluar rumah saat itu. Ia ingin memeriksakan bayi dalam berada dalam kandungannya, karena memang hal tersebut sudah dirinya lakukan empat hari lalu. Akan tetapi karena ayah mertuanya mengalami anfal dan harus dibawa ke rumah sakit, maka rencana itu urung terlaksana.
Semua jelas terjadi karena Inna tidak ingin menciptakan suasana menegangkan lagi di hari pertama dan kedua pasca dirawatnya sang ayah mertua.
Tok tok tok
"Inna! Innaaa...! Kamu dalam kamar kan?! Buka pintunya cepat!"
"Astaga!" Tetapi pada kenyataannya hari tenang itu mungkin hanyalah bagian dari harapan yang belum pernah terwujud untuk Inna, saat Torra sekali lagi bersuara tinggi dan berusaha memaksanya membuka pintu kamar mandi.
Deg deg deg
Degupan jantung Inna, bahkan nyaris melompat keluar di tengah derasnya air dingin yang menetes dari pancuran di atas kepalanya.
Meraba tembok kamar mandi, mengambil handuk dan membelit tubuh telanjangnya sembari bersuara merupakan langkah yang secepatnya ia lakukan, "Iya, Mas. Tu..tunggu sebentar."
Brak brak brak
"b******k kamu, In! Cepat buka pintunya!" Tapi ternyata Torra semakin pula bersuara lantang, bahkan merendahkan Inna dengan perkataan yang seharusnya tidak ia ucapkan.
Air mata wanita itu menetes begitu saja tanpa bisa dibendung, lantas dengan tangannya yang bergetar, pintu kamar mandi pun akhirnya terbuka lebar.
Kerongkongan Inna terasa kering menatap manik tajam Torra yang berdiri bersama kedua tangan terkepal di depan matanya. Suara nyaris tak terdengar itu meluncur dengan terpaksa, "Mas—"
Plak
"Pergi minta maaf sekarang juga ke mama atau aku bakal bikin hidupmu menderita!" Tapi tidak pernah terselesaikan, akibat perbuatan gila Torra.
Pria itu menampar pipi kiri istrinya dengan tangan kanannya, dan kisah pilu pun terjadi untuk kesekian kalinya.