Bab 1. Selamat Datang di Dunia Saras
“Apa yang akan kamu berikan untuk perusahaan ini, Saras?”
Saras terdiam sesaat. Sejujurnya, dia memiliki niat terselubung ingin bekerja di tempat itu. Bukan semata-mata hanya mencari biaya hidup. “Saya bisa memberikan skill terbaik sesuai dengan kebutuhan perusahaan Bapak.”
“Mulai hari ini, kamu resmi menjadi bagian dari PT Kembara. Saya harap, kita bisa bekerja sama dengan baik selama masa kontrak berjalan,” ucap pria dengan setelan kemeja biru muda dan celana kain berwarna hitam. Dia menjabat tangan Saras sebagai sambutan.
Saras resmi memulai kehidupan baru, setelah menyelesaikan pendidikan ekonomi di salah satu universitas ternama di Yogyakarta. Ia mulai mewujudkan mimpi-mimpinya satu per satu tanpa campur tangan orang lain. Saras telah membuktikan kepada dunia bahwa dia bisa berdiri dengan kakinya. Sekilas, perempuan bermata sipit itu menatap wajah pria di depannya dengan senyuman licik di ujung bibir dan menerima uluran tangan itu.
“Terima kasih atas kesempatan yang sudah Bapak berikan kepada saya,” balas Saras, lalu undur diri dari ruangan bernuansa putih. Ia berjalan dengan perasaan bangga. Ya, dia berpongah-pongah karena dalam waktu dekat bisa melancarkan aksinya untuk memuaskan suatu hal yang tertunda selama dua tahun.
Selamat datang di duniaku, Pak Arsyil! Aku jamin, kamu tidak akan bisa keluar dari lingkaran setan yang sudah kurencanakan. Aku sudah lama menunggu momen ini. Bersiaplah untuk mendapatkan hadiah terbaik dariku. Begitulah batin Saras—setelah membaca name tag— saat melangkah keluar dari pintu, kemudian menutupnya rapat.
Seperti interview pada umumnya, Saras mulai bekerja di keesokan harinya. Kini, dia berada di kontrakan. Tubuhnya direbahkan di atas kasur, matanya menatap langit-langit kamar meratapi kesendirian. Hidup sebatang kara memang terlihat memilukan, tapi Saras bisa tetap bernapas dengan tujuan yang mulia—baginya. Tak terasa, playlist musik dari ponsel dengan casing berwarna biru laut berhenti. Dia sudah menghabiskan waktu cukup lama untuk mendengarkan lirik-lirik galau berbahasa Inggris. Saras beranjak, duduk di tepi kasur menatap kosong ke arah dinding.
“Lah, wis jam empat?” Saras buru-buru mengambil kunci motor di atas meja.
Saras baru teringat akan sesuatu. Dia harus membayarkan uang kontrakan karena sudah jatuh tempo. Terlebih, ia telah menunggak selama dua bulan karena tidak memiliki donatur tetap. Sedangkan, perutnya perlu diberikan asupan energi agar bisa terus melangkah mengarungi samudera kehidupan. Di saat teman sebayanya memiliki privelege dari orang sekitar, Saras sama sekali tidak mendapatkannya—rumah saja sudah hilang.
Dulu, Saras memiliki rumah yang utuh. Bahkan, harmonis seperti di film-film. Namun, semuanya berubah semenjak tragedi Bulan Juli 2021. Dibilang punya keluarga, dia memilikinya. Hanya saja, semua itu tidak sama lagi. Banyak perubahan yang dia rasakan. Semenjak itu, Saras harus berjuang sendirian. Ia memilih mengasingkan diri di provinsi sebelah sembari melanjutkan cita-citanya menjadi seorang sarjana.
Tak terasa, tangan kanan Saras telah selesai menjalankan tugasnya menarik gas untuk melaju ke rumah pemilik kontrakan. Kini, kaki berbalut celana hitam itu terlihat tegak di depan pintu kayu cokelat mengkilap. “Permisi, Bu,” ucapnya sambil mengetuk pintu tiga kali, sesuai adab yang berlaku.
Dalam waktu lima detik, pintu itu terbuka. “Nak Saras, ada apa?” tanya wanita berdaster merah sambil menyanggul rambut panjangnya yang berantakan. Bahkan, kelopak matanya membesar dan terlihat sayu. Dia juga sempat menutup mulut—menguap—sekali. “Ayo, duduk dulu.”
Mereka melangkah ke satu set meja-kursi yang ada di teras rumah.
“Bu, Saras mau membayar uang kontrakan. Sebelumnya, maaf bayarnya kelamaan.” Saras merogoh saku celana.
“Ras, semua orang butuh uang. Bohong, kalau saya nggak memerlukannya. Namun, lebih baik kamu pakai dulu buat makan. Apalagi, kamu belum mendapatkan pekerjaan tetap, kan?” Ibu Tumirah mengembalikan amplop putih yang diberikan oleh Saras. “Tenang, nunggak belum satu tahun. Lagi pula, kamu baru pindahan ke sini. Ayo, makan dulu di rumah. Kebetulan, tadi saya masak balungan ayam kecap pedas.”
Sungkan, malu, dan mau. Tiga perasaan yang ada di hati Saras. Makan di rumah Ibu Tumirah akan mengurangi pengeluaran, tapi rasanya enggan karena masih memiliki utang uang kontrakan. Namun, menolak pun rasanya akan sia-sia. Sebab, hidup di area pedasaan masih kental dengan pemaksaan. Saras masih ingat waktu kecil. Dia pergi ke tempat saudara, lalu ditawari makanan. Saras membantah perintah, kemudian pemilik rumah mengatakan, “makan dulu. Aku sudah susah payah memasak, tapi tamuku seakan tidak menghargai. Ayo, nikmati dulu. Kalau belum merasakannya, belum boleh pulang.”
“Saras … Nak, ayo masuk,” ajak Ibu Tumirah sambil mengelus pundak untuk menyadarkan Saras yang terhanyut kenangan masa kanak-kanak.
Sekitar pukul setengah lima sore—sesudah menikmati satu porsi makanan—Saras meninggalkan rumah dengan dinding bercat cream. Dia melanjutkan perjalanan ke sebuah minimarket terdekat. Saras ingin membeli perlengkapan dapur dan kamar mandi yang sudah habis. Namun, dia berhenti di salah satu jalan yang tidak jauh dari tujuan.
Gadis dengan helm bogo cokelat itu turun dari sepeda motor, lalu duduk di tepi jalan utama penghubung Yogyakarta-Magelang. Dia menundukkan kepala, berulang kali mengembuskan napas berat—menahan sesak di d**a. Sesekali mata Saras mengedar ke sekitar melihat situasi. Berbeda, tidak seramai saat itu. Tidak ada gerombolan orang, hanya pengemudi berlalu lalang.
Tuhan, ternyata setrauma dan seberantakan ini hidupku. Melintasi jalanan ini saja rasanya aku tidak sanggup lagi. Saras mengusap kelopak mata yang sedikit basah sambil menarik napas.
Dia berada di pertigaan jalan, duduk menghadap ke sebuah bangunan megah. Sebuah gedung yang beroperasi di dunia pendidikan menengah pertama. Katanya, tempat itu menjadi tujuan anak-anak cerdas menuntut ilmu. Ya, memang begitu fakta yang dipaparkan media setempat mengenai hasil ujian nasional setiap tahunnya. Saras pun memiliki kenangan tersendiri di tempat itu. Namun, bukan tentang prestasinya semasa sekolah. Melainkan, gedung dengan nuansa cream-orange itu menjadi salah satu saksi awal kehancuran hidup Saras.
Minggir-minggir! Kita harus segera melakukan pertolongan.
Kalimat yang terucap dari salah satu petugas kepolisian setempat waktu itu terngiang di kepala. Saras menatap sayu bangku kayu yang mulai lapuk berada di samping gedung sekolah, seketika memorinya kembali berjalan memutarkan adegan demi adegan bak film genre thriller. Benar-benar lengkap seperti adanya adegan kepolisian mengurus sebuah kasus. “Apakah di bangku itu masih ada bekas darah yang mengering?” ucap Saras dengan suara lirih, sedikit tertahan karena d**a masih terasa sangat sesak.
Ah, kayu lapuk itu sudah tidak sekotor waktu lalu. Pastinya, sisa-sisa darah sudah menghilang tergerus air hujan. Apalagi, dalam jangka waktu dua tahun. Mungkin, papan panjang itu sudah mengukir kisah manis bersama seseorang yang pernah singgah, setelah kejadian memilukan itu.
Tidak lama kemudian, Saras tersadarkan oleh suara petir dan langit sudah menggelap. Sedangkan, dia masih terpaku dengan ingatan masa lalu. Ia buru-buru kembali mengendarai sepeda motor dengan tubuh yang gemetar menuju minimarket, sebelum terjebak hujan.
“Saras!” panggil seseorang dari depan minimarket persis saat Saras hendak membuka pintu kaca.