Karena tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi dari Onel dan keluarganya, sebagian orang terdekat keluarga Onel, memilih pulang dan berjanji untuk datang lagi esok harinya. Begitu juga Saskia, Julia, dan Anggara. Kepada Andrew, si sulung, mereka berpamitan dan berpesan, andaikan ada sesuatu terjadi untuksegera dihubungi.
Julia terkejut saat sampai di parkiran mobil, ia tak melihat ayahnya. Terlebih yang menyalakan remot mobil justru adalah Juan. Juan membukakan pintu belakang untuk Julia dan Saskia.
"Mana Hartono?" tanya Julia.
Juan langsung menatap tajam Julia. Jika orang lain saja memanggil ayahnya yang berpesan sebagai sopir dengan embel-embel 'Pak', ini Julia yang anak sendiri bahkan hanya menyebut nama. Itu sangat keterlaluan dan semakin melukai perasaan Juan.
Julia yang berada di dekat pintu yang sudah dibuka Juan dan posisinya sangat dekat dengan Juan, sangat bisa memaknai kemarahan dari tajamnya kedua mata Juan. Tapi, dengan sengaja Julia mengulang pertanyaan yang sama.
"Ke mana Hartono?"
"Pulang dulu," jawab Saskia. "Bisa masuk?"
Pertanyaan yang lebih tepatnya adalah perintah. Julia mendengkus dan masuk ke dalam mobil diikuti Saskia.
Tak ada yang bicara. Anggara sendiri merasa sangat lelah, hingga tak terlalu peduli dengan siapa mobilnya disetir. Ia berbasa-basi sebentar dan kemudian diam, terkantuk-kantuk. Julia dan Saskia hampir sama dengan Anggara. Rasa lelah setelah bekerja yang kemudian berlanjut pada acara ulang tahun yang gagal, berakhir pada kehebohan karena bencana lainnya.
Sampai di rumah, Anggara mengajak istrinya untuk langsung naik ke atas dan istirahat. Julia tak menolak, dirinya pun sangat lelah. Ia tak hanya lelah fisik, tetapi juga pikirannya lelah. Semua berantakan, membuat Julia merasa berada di jalan yang buntu.
"Kamu langsung pulang, 'kan?" tanya Julia setelah semuanya ada di ruang tamu. Kedua mata Julia sedikit memerah dan berkaca-kaca karena mengantuk.
Saskia seketika emosi. Sikap Julia berlebihan terhadap Juan. Dari yang bertanya perihal Hartono dengan nada angkuh, sesampainya di rumah, Julia justru bertanya dengan nada sinis. Seolah-olah Juan adalah seorang bawahan yang perlu ditanya dengan sindiran.
"Tidak." Lagi-lagi Saskia maju menjawab Julia. "Juan belum pulang. Juan belum ketemu Mama."
"Harus?"
"Itu yang disebut etiket." Juan ganti menjawab. Ia sendiri juga sudah sangat dongkol sejak tadi karena sikap dan cara bertanya Julia yang arogan. "Saya datang dengan salam, maka kembali dengan salam. Jika Tante Soraya belum tidur, saya mau pamitan dulu dengan beliau."
"Ck. Udahlah Julia, ayo ke atas. Sas, panggil Mama, Juan mau pamitan itu. Juan..., saya ke atas dulu."
Juan mengangguk sopan sedangkan Anggara langsung berbalik dengan melengos. Ia bukan sedang kesal dengan Juan, justru ia kesal dengan Julia yang terasa sedang rewel. Padahal ia sedang sangat lelah dan ia ingin Julia ikut ke atas bersamanya.
Julia terpaksa mengikuti suaminya. Sempat ia mendengkus setelah menatap Juan dan Saskia bergantian. Tak ada pilihan baginya. Ia juga enggan ribut karena ini sudah sangat malam.
Soraya muncul dari sayap lain rumah, di mana kamar Pamungkas berada. Seorang pelayan yang ditugasi menjaga anak dan menantunya, segera menginformasikan kedatangan meraka. Sempat basa-basi dengan Julia dan mengatakan kalau dirinya tadi hanya menjenguk keadaan suaminya. Julia tak merisaukan, ia terus mengikuti suaminya menuju lift.
"Bagaiaman Onel dan orang tuanya?" tanya Soraya yang mendapatkan pelukan ringan dari Saskia.
"Gak apa-apa, Ma. Hanya semuanya mengalami syok aja. Si sopirnya juga aman. Gak ada yang terluka parah," jelas Saskia.
"Syukurlah. Pak Hartono suruh pulang aja, Sas. Sekalian bilang kalau besok boleh datang siangan. Mama juga gak ke mana-mana."
"Pak Hartono sudah pulang, Ma. Mmm...." Saskia menatap Juan sekilas. Begitu saja jantungnya sudah langsung berlompatan. "Juan tadi yang saranin pulang."
"Oh, syukurlah. Jadi tadi Juan yang setir mobilnya, ya."
"Iya, Tante," jawab Juan dengan senyum manis.
"Kalian tadi di luar sudah makan?"
"Belum, Ma. Mana kepikiran juga. Julia suruh kita tungguin keadaan Onel dan orang tuanya bener-bener baik, baru pulang."
"Kasihan." Soraya membelai lembut lengan putrinya. "Mama sudah minta pelayan buat hangatkan beberapa makanan. Kalian makanlah dulu."
"Saya permisi pulang dulu, Tan. Sudah sangat malam ini," pamit Juan.
"Oh, ya. Tante sudah siapkan kamar tamu buat kamu. Kamu menginap saja di sini. Kasihan kamunya. Apalagi jarak dari sini ke tempat kamu kan butuh satu jaman perjalanan."
Saskia dan Juan saling pandang. Saskia memberikan gelengan kecil, menolak Juan menginap.
"Eh, gak usah, Tante. Malah jadi merepotkan. Saya tidak apa-apa. Sudah biasa juga. Lagi pula kalau ini, saya bisa tidur di restoran."
Saskia makin mendelik dengan alasan yang diberikan Juan. Itu sama saja memberikan alasan yang melemahkan kondisi. Soraya, ibunya pasti akan jauh lebih iba lagi terhadap Juan. Sedangkan Juan yang mendapat pelototan mata dari Saskia, hanya bisa memberikan ekspresi kebingungan.
"Nah. Malah tidur di restoran. Sudah, tidur sini aja. Tante sudah siapkan kamar dan baju ganti. Udah gak usah rewel. Sekarang kamu makan malam saja dulu sama Saskia."
"Ma..., kayaknya Juan gak akan nyaman menginap di sini. Biar aja pulang, Ma. Dia kan laki, masak iya nyetir satu jaman aja bisa letoy." Saskia mencoba mengubah keinginan ibunya agar Juan menginap.
"Kamu ini." Soraya menowel hidung putrinya. "Keras sih boleh. Tapi kan Juan ini kekasihmu. Masak iya kamu gak kasihan dia masih harus menyetir dengan perut kosong, pulang ke rumahnya. Kalau pun sudah makan di sini, pasti bawaannya ngantuk. Kalau di jalan kenapa-napa seperti Onel gimana?"
Kata 'kekasih' yang diucapkan Soraya, membuat wajah Saskia merona dan Juan menunduk malu. Status semu yang disandang keduanya, membuat Saskia dan Juan terjebak pada kejadian-kejadian yang seolah-olah hubungan keduanya adalah kenyataan. Bayangan akan musibah ciuman berkelebat membuat Saskia berdebar-debar gelisah.
"Tapi, Ma..."
"Sudah, ah. Mama gak mau ada apa-apa. Jantung Mama masih kaget ini karena Onel. Kamu sama Juan makan dulu, abis itu kamu antar Juan ke kamar tamu yang di dekat kolam."
Soraya kemudian mendekati Juan. "Kamu makan dulu. Jangan nekat pulang. Tante bisa jantungan nanti."
"Jadi merepotkan, Tante," ucap Juan sungkan.
"Repot kalau kamu maksa tetep pulang. Ya, udah sana, makan. Tante mau isttirahat dulu."
Tak ada bantahan. Saskia dengan wajah merengut, bersama-sama dengan Juan ke ruang makan. Tak ada yang bicara dan Juan memilih diam dulu karena ia tahu Saskia sedang kesal.
Saskia menyendok makanannya dengan bunyi dentingan yang berulang. Seperti disengaja untuk membuat keributan agar sunyi tak benar-benar sunyi. Tak hanya itu, saat mengambil ayam goreng yang agak jauh dari jangkauannya, ia tak meminta tolong Juan yang duduk di sebelahnya. Melainkan berdiri, memakujan tubuhnya agak ke samping, melewati Juan yang langsung memundurkan duduknya.
Juan melipat bibirnya ke dalam. Menahan diri bertanya akan kenapanya Saskia terlihat sangat sewot.
Sampai kemudian makan malam selesai. Saskia berdiri cepat dan memundurkan kursinya dengan kasar, hingga terdengar bunyi decit yang seperti memenuhi ruang makan. Juan hanya menarik napas, masih mencoba sabar dan mulai membuntuti Saskia.
Keduanya berjalan ke taman belakang, terus sampai menuju kolam, dan berputar menuju ke kamar tamu. Kamar tamu yang lebih tepat disebut paviliun karena melihat tempatnya yang terpisah juga besarnya.
Saskia membuka pintu dan masuk.
Kamar yang benar-benar lengkap. Ada sofa panjang dan meja kecil segi empat. Tempat tidur yang besar dan luas. Lemari pendingin dan juga AC. Televisi lebar di depan tempat tidur.
"Ini kamarnya," ucap Saskia ketus. Tanpa menatap Juan, Saskia berbalik dan hendak keluar.
Tapi, Juan menghalangi pintu, membuat Saskia yang merengut dengan tatapan ke bawah tidak jelas, justru akhirnya menabrak d**a Juan. Saskia meringis dan mundur selangkah, sedangkan Juan justru maju lagi selangkah.
"Apa?" bentak Saskia mulai gelisah karena Juan justru maju dan seperti tak memberi jarak. Ini membuat Saskia harus mundur lagi selangkah.
"Sepertinya kita harus bicara." Juan menatap lekat ke dalam manik mata Saskia. Ia memajukan tubuhnya selangkah dan dengan tangannya yang lain, mendorong daun pintu di belakangnya agar tertutup.
Bunyi berdebam pintu yang tak terlalu keras, membuat Saskia terlonjak panik. Ia dan Juan berada dalam satu kamar, berdua saja, dengan pintu yang sudah tertutup. Jantungnya berlompatan, tetapi perutnya merasa seperti ada kupu-kupu yang bermain.
"Bi...bicara a...apa?" Saskia sudah tak bisa bicara dengan tegar lagi. Ia tidak mengerti kenapa tubuhnya memiliki reaksi yang tak biasa.
Sedangkan Juan, kelelakiannya tergoda melihat kepanikan yang lucu di mata Saskia. Ia menjadi sangat ingin menggoda. Rasa kantuk dan lelahnya sudah lenyap.
Juan maju selangkah lagi dan Saskia seperti tikus yang kedapatan berhadap-hadapan dengan kucing. Tubuhnya seperti meloncat. Saskia langsung bergegas menjauhi Juan. Arah yang sangat salah karena Saskia justru mendekati tempat tidur.
Jari telunjuk Saskia langsung terangkat ke depan saat melihat Juan yang sepertinya akan melangkah mendekat. "Diam di situ! Kalau mau bicara ya bicara aja. Gak usah dekat-dekat!"
Sebuah permintaan yang justru membuat Juan menyeringai. Saskia tidak sadar jika sikapnya makin lama makin menjelaskan situasinya yang panik dengan keberadaan Juan. Saskia kalah.
Dan Saskia makin kalang kabut melihat seringai Juan yang mengerikan tetapi sekaligus menggoda. Seringai yang dibarengi tatapan mata yang membuat tubuh Saskia menghangat.
"Saya tak suka bicara jauh-jauh. Kenapa? Kamu takut dengan saya? Kamu sudah jadi penakut?"
Sebuah tantangan. Saskia harus bisa menguasai dirinya. Di tidak boleh kalah. Dia harus mengumpulkan kejudesannya agar bisa mengimbangi Juan.
"Saya gak takut sama kamu. Saya cuma..., ehem..., tidak suka..., ehem..., berdekatan dengan pria."
Saskia berdeham beberapa kali. Tenggorokannya seperti menolak kata-kata yang dilontarkan Saskia.
"Jadi, kamu mau bicara?" bentak Saskia.
"Kenapa kamu marah-marah? Kamu tidak suka saya menginap di sini?"
"Ya. Kenapa, sih, kamu gak tegas menolak tawaran Mama menginap di sini."
"Mamamu sudah menyiapkan semua, mana tega saya menolak."
"Halah. Alasan. Bilang saja kalau kamu justru bersorak-sorak menerima tawaran menginap ini. Kamu senang. Dan kamu ingin mengambil kesempatan, 'kan?"
Juan mengernyit bingung. "Kesempatan apa?"
"Ciuman!"
Sesudah mengatakan itu, kembali rona merah menguasai wajah Saskia yang putih. Jawaban spontanitas yang terlalu cepat, yang kemudian dimaki-maki sendiri oleh Saskia dalam diri. Seharusnya bukan itu alasannya. Seharusnya ada alasan yang jauh lebih logis, yang sudah Saskia gerutukan dalam hati.
Tapi, yang keluar justru kata yang mana bayangannya melekat terus di pelupuk mata Saskia. Yang mana hangatnya bibir Juan, belum hilang di bibir Saskia.
"Ciuman...?" tanya Juan lirih. "Apa hubungannya ciuman dengan saya menginap di sini?"
Tidak ada! Memang tidak ada! Arhhh! Si4l4n kau Saskia. Kenapa bisa se0d0h itu! jerit Saskia dalam hatinya.
Saskia memaksa otaknya untuk bisa menjawab Juan. Memaksa otaknya mengeluarkan jawaban logis yang tak memalukannya.
"Ya, kan, kamu bisa aja menyusup masuk kamar saya dan..., itu..., melakukan..., anu..., itu..., ciuman...."
Saskia semakin gagap. Otaknya bekerja dengan cara semakin tidak masuk akal. d**a Saskia menjadi sesak akan perasaan berdebar-debar. Membuat napasnya naik turun dengan panik. Kedua bola matanya tak berani menatap Juan. Meskipun kepalanya masih tegak, tetapi bola matanya justru bergerak-gerak ke arah lain, mengindari Juan.
Juan diam saja dengan senyum dikulum dan menikmati pesona Saskia yang panik. Gadis itu terlihat makin menggemaskan dengan cara paniknya.
"Dan sekarang bagaimana situasinya? Saya yang ada di kamarmu atau kamu di kamar saya?" tanya Juan dengan langkah perlahan mendekati Saskia.
Saskia benar-benar gelisah. Berulang kali ia menahan napasnya setiap matanya bersirobok dengan mata Juan. Dan ia harus berulang kali memalingkan wajah hanya agar bisa bernapas. Saskia tak bisa mundur lagi. Kakinya sudah menabarak tempat tidur.
Juan sudah berada tepat di hadapan Saskia dengan jarak hanya beberapa inchi saja.
"Sepertinya kejadian di rumah sakit tadi mengganggumu...."
Juan menurunkan kepalanya sedang satu tangannya yang lain langsung memegang dagu Saskia, menaikkan kepala Saskia agar sedikit mendongak. Menjaga kepala Saskia agar tak pindah ke mana-mana.
"Kamu harus tahu bedanya, mana ciuman dan mana bukan."
Suara Juan semakin lemah, tetapi tepat meninggalkan jejak maskulin di telinga Saskia. Gadis itu bagai terkena bius. Tubuhnya tak bisa berkutik, hanya di dalam dirinya yang menari-menari. Hanya di bagian bawah perutnya yang semakin dikelilingi kupu-kupu.
Arah mata Juan tepat ke ranumnya bibir Saskia. Ia diam sejenak di situ, menunggu ada celah bagi bibirnya bisa masuk. Dan tak lama, Saskia yang kepanasan dengan arah mata Juan, membuka seedikit bibirnya. Dengan cepat Juan menguasai bibir bawah Saskia.
Tak ada penolakan. Penerimaan. Saling menikmati. Saskia memejamkan matanya dan Juan merapatkan tubuh Saskia.
Yang terjadi mungkin memang seharusnya terjadi.
***