'Ayah ... Ibu .... Saya tidak bisa pulang dan tidak mau pulang. Saya sudah memilih hidup saya sendiri. Terima kasih untuk semua yang sudah Ayah dan Ibu berikan untuk saya. Saya tidak bisa membalasnya, tapi semoga Tuhan bisa.
Lupakan saya. Hapus nama saya dari daftar kartu keluarga. Anggap kalian tidak punya dan tidak pernah punya anak perempuan. Atau kalau itu susah, maka anggap saja saya sudah mati di negeri orang.
Maafkan saya Ayah, Ibu. Mulai hari ini, saya berjalan sendiri.'
Sepucuk surat dari Julia yang Juan sempat baca sebelum dirampas ayahnya dan dibakar. Sepucuk surat yang hari itu langsung menghancurkan kehidupan Juan dan keluarganya.
"Dirampok anak sendiri, hehehe...." Ayah Juan mengekek seperti ada yang lucu. Namun, Juan tahu itu tidak benar-benar lucu. "Memang benar, perempuan itu jalang. Merawat anak perempuan sama dengan merawat jalang, hehehe...."
Juan memalingkan wajah. Ia benar-benar ingin muntah mendengar ucapan ayahnya. Masih belum dilupakannya bagaimana sang ayah meremehkan dirinya yang hanya bisa bermain. Yang nilai-nilainya biasa saja, tidak istimewa. Yang selalu menjadikan Julia sebagai role mode masa depannya.
"Anak itu terlalu cantik. Terlalu pintar. Persis iblis." Ayah Juan membalikkan tubuh Juan agar menghadap dirinya. "Kita sudah tidak punya apa-apa. Hidupmu sekarang adalah tanggung jawabmu sendiri. Saya sudah gak perduli lagi akan hidup siapa-siapa. Percuma! Anak perempuan saja sudah menusuk apalagi anak lelaki."
Ayah Juan meludah dan memandang jijik Juan. Ia kemudian berpaling dan berjalan sempoyongan keluar rumah. Di ambang pintu sang ayah berhenti. "Hai, Setan Kecil! Kalau kamu marah, marah sana sama Julia. Tuntut hakmu sama dia."
Di lain waktu, di hari pertama mengontrak, saat semuanya sudah ludes, saat Juan hanya berdua dengan sang ibu, kedekatan yang Juan rindukan terjadi. Kedekatan yang mengiris d**a. Menyesakkan diri. Dan meluapkan air mata.
"Juan...." Ibunya memanggil dengan suara serak disertai batuk. Juan bergegas menghampiri.
Kamar ibunya sudah menyala lampu. Dilihatnya sang ibu duduk di tepi tempat tidur busa dengan tas cokelat dalam dekapan. Tubuhnya yang kurus, terus batuk-batuk hingga tubuhnya membungkuk dalam. Juan mengusap punggung ibunya dengan sedikit tekanan, berharap batuknya mereda.
Juan ingat sudah meletakkan kompor gas di dapur. Tabung gasnya juga ada, tapi isinya kosong. Juan juga baru sadar, mereka tidak memiliki persedian air minum. Ada pun sebotol besar, itu milik ibunya yang sudah habis. Rasa lengket di tenggorokkan membuat Juan kehausan.
Ibunya membuka tas dan mengeluarkan amplop cokelat. Tangannya yang semakin kurus mengambil tangan Juan dan diletakkannya amplop cokelat itu di tangan Juan.
"Ini hakmu, Juan."
Juan menatap nanar amplop cokelat ditangannya. Tak perlu ia membuka dan memeriksa isinya, melihat ketebalannya, ia bisa menduga apa isinya.
"Tidak banyak, Juan. Tapi, itu milikmu."
"Buat ibu saja. Saya tidak butuh." Juan menyodorkan kembali amplop cokelatnya. Ia tahu, ibunya lebih membutuhkan ketimbang dirinya. Orang tuanya masih dikejar-kejar hutang karena Julia. Hatinya tidak akan tega mengambil apa pun dari orang tuanya meski sedikit.
"Ambillah." Ibu Juan menyorongkan tangan Juan yang memegang amplop. Ia kembali terbatuk-batuk. "Ambillah Juan. Ini sebagian dari hasil penjualan rumah. Anggaplah ini warisan terakhir dari kami. Julia sudah mendapatkannya. Dia bahkan sudah mendapakan berkali-kali lipat darimu...."
Ibunya menerawang, menatap dinding kamar yang terbuat dari bahan kayu lapis atau triplek yang dicat warna biru, yang sebanrnya tidak biru. Juan menduga sebelumnya ada warna merah atau jingga yang akhirnya di cat biru tua yang membuatnya justru terlihat butek.
"Saat di dalam kandungan, buyut laki-laki dari ayahmu, datang ke rumah. Dia berkata, kalau anak dalam kandungan akan membawa emasnya sendiri. Kata-kata itulah yang dipegang ayahmu sejak hari itu. Dan..., ibu juga."
Ibu Juan menunduk, menghapus air mata yang masih mengambang di sudut mata.
"Kami memerhatikan perkembangannya dan semakin percaya dengan ucapan beliau. Anak yang sehat. Cantik. Pintar. Bukan tidak mungkin di masa depannya, Julia akan membawa kemakmuran."
Air mata ibu Juan mengalir deras dibarengi suara merintih yang samar.
"Makanya Ayah dan Ibu meperlakukan saya biasa saja. Tidak istimewa." Pernyataan sarkasme yang dipahami Juan dari cerita ibunya. Miris. Hidupnya berjalan berdasarkan ramalan yang keluar untuk Julia.
Dengan tangan yang sudah begitu kurus dan sedikit gemetar, sang ibu menyelusup masuk di sela-sela jemari tangan Juan. Membelai lembut punggung tangan Juan dengan ibu jari. Kedekatan ibu dan anak yang sangat jarang dirasakan Juan. Hati Juan menyelusup pilu. Kemarahannya juga kekecewaannya tak bisa ia alirkan begitu saja. Ia tidak tega.
"Maafkan.... Maafkan kami, Juan. Kami menaruh harapan setinggi langit padanya sampai lupa pada kata terakhir beliau kalau Julia juga akan mengubur dirinya sendiri. Untuk yang terakhir itu, ayahmu tertawa saja. Baginya, semua orang pasti akhirnya mati dan terkubur. Jadi bukan masalah. Dan Ibu juga berpikir sama seperti ayahmu. Bodohnya Ibu. Bodohnya Ibu...."
Juan tak kuasa. Dipeluknya sang ibu dengan perasaan tidak menentu. Ia tak pernah dipeluk ataupun memeluk. Mungkin ia pernah dipeluk, tapi pastinya itu di waktu yang sangat jauh. Saat ia masih bayi atau baru bisa berjalan. Dan ia tidak ingat akan itu.
"Juan.... Bawa Julia pulang. Itu bukan ramalan, itu permintaan Ibu. Dia harus kembali ke asalnya. Ketamakan dan kelicikannya akan membuatnya benar-benar mengubur dirinya sendiri. Ibu mohon padamu, Juan. Selamatkan Julia."
Dan saat kematian ibunya, untuk pertama kalinya juga, Juan mendapatkan kedekatannya dengan sang ayah. Kedekatan yang selama ini dikuasai Julia. Meskipun kedekatannya dengan sang ayah harus diawali hantaman hingga Juan babak belur. Tapi sebuah tujuan bersama dicapai.
"Sakit?" tanya ayah Juan dengan tatapan belum beralih pada nisan kayu istrinya.
Dada Juan bergetar mendapatkan pertanyaan lembut dari ayahnya. Matanya berkedut. Kepedulian ayahnya membuat Juan sakit dan bertanya-tanya. Setan apa yang menyusupi ayahnya hingga menjadi lembut begini.
"Maafkan, Ayah."
"Juan. Saya tidak tahu bagaimana saya nantinya terhadapmu. Luka dikhianati anak sendiri, mungkin akan berimbas padamu." Ayah Juan menatap nanar luka lebam di wajah sang anak. Hatinya ngilu.
"Dari sekarang, saya minta maaf padamu. Dan maaf untuk hari-hari selanjutnya. Saya sudah jadi pecundang. Urusanmu terserah dengan saya. Silahkan menjauh dari saya. Saya sudah tidak peduli apa-apa lagi. Saya cuma peduli satu. Kehancuran Julia."
***
Juan menatap lurus ruangan Julia dengan kenangan masa lalu yang sangat sakit. Lukanya begitu dalam. Kesadisan Julia merantak ke mana-mana. Julia dengan sangat sadar membawa seorang antek. Sekarang Juan paham kenapa Julia begitu getol menjodohkan Onel dengan Saskia. Memahami itu, tubuh Juan menegang karena amarah
Tak akan ia biarkan Julia menyakiti siapa pun lagi. Tidak Pamungkas, tidak Soraya, tidak Saskia, tidak siapa saja. Idak boleh ada kematian. Julia harus dihentikan dan mendapatkan apa yang harusnya menjadi sangsinya. Julia harus mendapatkan karmanya kembali.
Ibu.... Saya akan bawa pulang Julia dengan tangan saya sendiri. Dia akan kembali di mana asalnya, batin Juan.
"Hah? Apa?" Saskia merasa mendengar Juan bicara. Ia berhenti dan menoleh. Terkejut mendapati wajah Juan yang suram menatap ke ujung lorong di mana ruangan Julia berada.
"Juan..., ada apa?" tanya lembut Saskia.
Juan segera menyadarkan dirinya. Kelembutan suara Saskia mengingatkan dirinya akan sang ibu. Tanpa sadar, Juan mengelus pipi Saskia.
"Saskia. Kamu jangan takut akan apa pun, ya. Saya akan selalu ada buatmu. Saya akan jaga kamu. Kamu percaya saya, 'kan?"
Jantung Saskia berdegup kencang. Entah ini sebuah pernyataan sayang tanpa kata sayang. Ataukah ini hanyalah profesionalisme Juan. Yang jelas, ini sudah menyentuh hati Saskia. Membuat gadis itu semakin terpaku akan sosok Juan.
"Ya. Saya percaya kamu Juan."
***