Julia dan Juan

2113 Words
Julia terpaku di ruang tamu ditemani kakek dan neneknya, juga beberapa kerabat lainnya. Wajah Julia datar dan terkesan jenuh. Ia tak suka berada pada sekumpulan orang-orang yang dianggapnya tak berguna. Mereka bicara terlalu banyak hal-hal yang tak punya manfaat untuk ke depannya. Julia tak ingin mendengar celoteh riang, tawa tak jelas, juga pertanyaan-pertanyaan tak penting yang musti ia jawab sebagai bentuk kesopanan. Julia sedikit b*******h jika ada pujian-pujian kebanggaan untuk dirinya. Usia sudah sepuluh tahun lebih. Memiliki seorang adik, baginya memalukan. Sempat menolak dan meminta ibunya menggugurkan saja adiknya. Saat itu, ibunya langsung menampar pipinya dan menatap Julia dengan tatapan marah sekaligus ngeri. Tak menduga seorang Julia yang masih kanak-kanak memiliki pikiran untuk sebuah pelenyapan nyawa. Setelah hari itu, Julia tak peduli lagi. Yang penting kehidupannya tak terganggu. Yang penting ia masih bisa mendapatkan apa yang dia mau. Yang penting permintaannya dan tuntutanya yang lain selalu terpenuhi. Lain-lainnya ia tidak akan mengurusi. Dalam keadaan setengah melamunnya, Julia mendengar keriuhan yang berlipat. Ibunya muncul sembari menggendong seorang bayi yang dibungkus kain jarit bercorak. Tak ada tangisan dari si bayi. Mungkin karena terlalu nyaman dalam dekapan sang ibu. Semua orang mengeliling ibunya. Membelai si bayi dan mengucapkan kata-kata kekagumannya. Menanyakan proses kelahirannya. Dan kemudian membawa ibunya dan si bayi ke dalam kamar. Sedangkan ayahnya, ditemani kakeknya, bersama-sama ke belakang. Sepertinya akan mengurusi seuatu yang berada di dalam kantong kresek hitam. Julia tidak yakin, hanya sempat mendengar kalau apa yang dibawah ayahnya sudah disiapkan kakeknya untuk dikubur. Salah seorang wanita, kemudian memanggil Julia untuk masuk ke dalam kamar dan melihat adiknya. Julia enggan masuk, tetapi ia tak punya pilihan selain menurut. "Julia.... Sini, Sayang." Ibunya masih terlihat sangat pucat. Duduk bersandar di tempat tidur dengan bayi yang masih anteng meski sekitarnya begitu bising. Julia mendekat perlahan dan melihat adik laki-lakinya untuk pertama kalinya. "Namaya, Juan. Kelak, dia akan menjagamu," ucap ibunya sembari membelai kepala Julia. "Jangan-jangan nanti kebalik. Malah Juan yang akan jadi kakak," celetuk seorang wanita bertubuh gemuk dengan tawa cekikikan. Tawa yang menular pada lainnya. "Bisa jadi. Anak cowok kalau ama saudara perempuannya, kadang sok tua," sahut lainnya. Dan kemudian semua berargume. Julia malas mendengarnya. Ia berpamita keluar untuk melihat apa yang dilakukan ayahnya. Julia tak menemui ayahnya. Ia tak menuju ke belakang rumah, melainkan melangkah ke teras rumah. Julia membutuhkan udara segar. Baru juga Julia sampai di teras, ia melihat kakeknya yang sepertinya baru selesai menimbun sesuatu. Kakeknya kemudian memasangkan sangkar ayam di atas tempat ia selesai menimbun. Julia mengernyit memandangi kakeknya yang bergeming dan menatap sangkar ayam itu. Julia penasaran apakah ada yang salah. Tiba-tiba kakeknya menoleh menatap Julia dengan tatapan yang aneh. Jantung Julia berdegup kencang. Ia bisa merasakan kalau ada gal penting yang dipikirkan kakeknya dan itu terkait dirinya. Kakeknya melangkah mendekati Julia. Kembali kakeknya menatap Julia lekat-lekat dan kemudian membelai kepala Julia. "Kamu memang cahaya. Tapi dia adalah matahari. Jangan main petak umpet sama adikmu. Percuma." *** Julia mengepalkan kedua tanganya yang berada di atas wastafel keramik. Kata-kata yang sudah lama tak pernah ia ingat karena saat itu ia tak bisa memaknai ucapan kakeknya, kini seolah menjadi penjelas. Juan muncul menemukanya. "Dia.... Bagaimana dia ada di sini? Bagaimana...." Julia memandangi pantulan wajahnya di cermin dengan mimik wajah serius. Ia tak benar-benar menatap pantulan dirinya, ia menatap pada masalah barunya yang tak pernah sekali pun ia duga. Kemunculan seseorang yang bahkan Julia sudah meremehkannya sejak keduanya hidup bersama. Juan dan dirinya tak pernah ada kedekatan. Julia sendiri memilih tak terlalu berinteraksi dengan Juan, Ia tak pernah tertarik untuk mengenali Juan, bahkan sejak kelahiran Juan. Kini, Juan muncul di hadapannya tanpa ia duga. Julia tidak tahu harus bagaimana. Ia pun bertanya-tanya apa tujuan Juan. Apakah memang murni ini adalah sebuah kebtulan ataukah ini adalah rencana Juan yang sebenarnya sudah menemukan dirinya. "Tapi bagaimana? Bagaimana dia menemukan saya?" tanya Julia pada pantulannya sendiri. Julia tidak pernah menggunakan nama belakangnya lagi. Ia bahkan mengganti nama belakangnya dengan nama suaminya melalui persidangan. Dan jika pun dicari dengan kata kunci 'Julia", maka dipastikan akan berminculan ribuan nama Julia. Itulah kenapa Julia bingung dicampur dengan penasaran. "Saya harus bertanya. Saya harus tahu bagaimana dia di sini dan apa tujuannya? Harus." Julia menarik napas. Menyiapka diri untuk menghadapi Juan. "Tunggu. Bagaimana caranya bicara dengan Juan? Gak mungkin saya bertanya begitu saja. Tidak. Tidak bisa begitu." Julia kebingungan sendiri. Ia mondar-mandir sembari memikirkan caranya bisa berkomunikasi dengan Juan. Ia tidak akan bisa tenang seumur hidupnya jika begini. "Kalau tidak bisa ditanya di sini, saya bisa tanya di tempatnya. Gitu lebih baik." Akhirnya Julia menemukan cara terbaiknya untuk bisa berkomunikasi dengan Juan. Ia akan mencari tahu keberadaan Juan. Baru akan memutuskan keluar toilet, Julia menyadari hal lain. Ekspresi Juan. Adiknya itu tak bereaksi terkejut saat menatapnya. Juan justru terlihat sangat biasa saja layaknya seseorang yang baru masuk ke dalam lingkungan yang baru. Juan tersenyum ramah pada dirinya. "Apa Juan tidak ingat saya? Dia benar-benar tidak ingat saya?" Perasaan Julia melonjak-lonjak antara ingin meyakini bahwa Juan tidak ingat akan dirinya dan sulit memercayai Juan tidak mengingatnya. Ia meninggalkan Juan saat Juan masih sekolah dasar. Tapi Julia sempat pulang saat Juan sudah SMP. Mustahil di usia remajanya, Juan tidak mematri ingatannya akan sosok Julia. Namun, Juan benar-benar tidak terkejut padahal tadi adalah pertemuan pertama mereka setelah kurang lebih tiga belas tahun tidak berhubungan. Juan begitu santainya menatap dirinya. Ini menjadi kepanikan baru bagi Julia. Ia tidak menemukan jawabannya dan itu menyusahkan dirinya. Niatnya untuk menemui Jua esok harinya, rasa-rasanya harus dipercepat saat ini juga. Julia memikirkan cara untuk bisa berdua saja dengan Juan sebelum laki-laki itu pergi pulang. Pintu toilet diketuk. Julia tersentak terkejut. Beruntung ia sendirian, hingga ekspresinya tak perlu dibaca siapa pun. Julia menarik napas dalam, bercermin, merapikan diri, dan membuka pintu. Saskia berdiri dan menatap dingin pada Julia yang tersenyum untuknya, setelah membuka pintu toilet. "Kenapa pintunya harus dikunci?" tanya Saskia kesal. Toilet di rumah orang tua Saskia adalah semacam ruangan yang dikhususkan, yang mana di bagian dalamnya ada dua bilik toilet untuk buang hajat. Jadi jika pun dikunci, bisa cukup mengunci bilik buang hajat tanpa harus mengunci pintu utama ruang toilet. "Saya tidak suka diganggu saat begitu." Julia tersenyum manis dan memajukan tubuhnya dekat dengan Saskia. "Butuh konsentrasi untuk membuangnya," bisik Julia dengan kekehan kecil yang samar. "Kasihan sekali. Mungkin kamu harus ke dokter untuk periksa. Sepertinya ada begitu banyak beban hidup yang disembunyikan yang sulit untuk dikeluarkan." Saskia tersenyum miring dan mendorong pintu lebih lebar. Julia terpaku. Kata-kata Saskia menakutkan Julia. Seolah-olah gadis itu sudah mengetahui sesuatu yang paling dasar dalam dirinya. Julia langsung mencengkeram kuat lengan Saskia dan menatapnya tajam. "Apa maksudnya? Apa maksud ucapanmu barusan?" tanya Julia. Saskia meringis sekaligus mendelik. Julia memang jahat pada dirinya dan ayah ibunya, tetapi baru kali ini Julia bersentuhan fisik dengan dirinya. Saskia menyentak lengannya dengan keras, membuat cengkeraman tangan Julia terlepas. "Sadar diri kamu siapa? Cuma orang asing yang tiba-tiba masuk dengan membawa status perkawinan. Jadi, jangan lagi sembaragan sentuh-sentuh saya!" Saskia memberikan peringatan keras. Ia jijik dipegang Julia. "Dan kamu juga harus sadar diri, bahwa kamu dan ibumu hanyalah orang kedua." Saskia mengepalkan tangannya. Bisa saja ia menampar Julia. Tapi akal sehatnya melarangnya berlaku keras, karena akibatnya akan panjang. Apalagi ada Juan sebagai tamu. Ia masih ingat etika untuk menjaga kedamaian saat ada tamu di rumah, meskipun tamu itu hanyalah kamuflase. "Oh, ya. Di mana kamu dan Juan bertemu?" Saskia menatap Julia dengan aneh. Kemudian ingat kalau Julia tadi terlalu sibuk dengan makanannya. "Makanya, kalau ada tamu tuh hargain. Minimal, dengarkan kalau dia lagi bicara. Kayak orang kelaparan saja sibuk sama makanan." "Orang tanya baik-baik, kenapa kamu jadi sinis?" ucap kesal Julia. "Juan dan saya sudah cerita ini, itu, ini, itu, kenapa kamu masih tanya? Udahlah saya sakit perut. Saya perlu membuangnya cepat sebelum jadi sulit untuk dibuang." Saskia tak memedulikan Julia dan langsung menuju salah satu bilik toilet untuk buang hajat. Julia hanya memandangi punggung Saskia dengan perasaan mangkel. Ia keluar dari ruang toilet sembari membanting pintu. Saat berjalan di selasar, Julia melihat Juan yang berjalan mendekat. Ini adalah harapan yang menjadi kenyataan. Sebuah jalan mulus atas keresahan yang sudah memuncak di kepala. Dalam hatinya Julia bersorak atas keberuntungan yang selalu berpihak padanya. Julia dan Juan saling tatap. Jarak keduanya semakin dekat. Di dalam diri masing-masing bergulat perasaan yang sama, yaitu keingintahuan. Juan sangat ingin tahu, bagaiman reaksi Julia jika keduanya berhadapa-hadapan tanpa seorang pun di dekat mereka? Sedangkan Julia sangat ingin tahu, apakah Juan mengingat dirinya? "Ruang toilet untuk pria ada di sebelah kiri," ucap Julia dengan senyum ramah yang dibuat-buat. "Terima kasih. Tapi saya ingin menyusul Saskia. Saya khawatir ia kenapa-napa." Juan menjelaskan dengan senyum yang tak kalah ramahnya dengan Julia. Adu akting. "Perhatian sekali." "Harus. Orang tua saya mengajarkan saya untuk tidak hanya perhatian pada keluarga, tetapi juga pada orang yang di sayang." Julia diam dalam kegelisahannya. Juan sama sekali tidak terkejut. Juan terlalu santai menanggapi dirinya seolah-olah ia dan Juan adalah dua orang asing yang baru bertemu. Apakah sesuatu terjadi? Apakah anak ini abis kecelakaan dan mengalami amnesia? Apa begitu? Batin Julia terus bertanya-tanya akan begitu biasanya sikap Juan. "Saya punya seorang kakak perempuan yang sangat pintar dan juga sangat penyayang. Begitu pintarnya dia, sampai-sampai dia mendapat beasiswa kuliah di luar negeri." Ucapan Juan melintas berbarengan dengan siur angin yang membelai rambut panjang Julia. Juan mengakui memiliki kakak perempuan yang kuliah di luar negeri. Kampusnya adalah kampus tempat Julia kuliah. Juan tidak lupa ingatan. Juan sedang menyindir dirinya. Julia menjadi geram karena merasa dipermainkan Juan dengan sikapnya yang begitu santai. "Bagaimana kamu masuk ke sini?" desis Julia. Juan tersenyum semakin lebar. Ada kepuasan yang semakin berlipat-lipat melihat bagaimana tegangnya wajah Julia. "Sama sepertimu. Melalui pintu depan," sindir Juan dengan kiasan. Yang mengartikan bahwa baik dirinya maupun Julia sama-sama berada di lungkup keluarga Pamungkas karena ada orang dalam yang memperkenankan masuk. "Bukan itu." Julia meralat. "Bagaimana kamu bisa kenal Saskia? Dia bukan dari kalangan...." "Kalangan apa? Kalangan siapa?" potong Juan cepat. Wajahnya tak lagi terukir senyum karena ia paham apa maksud Julia. "Kalanganmu atau kalangan saya?" Juan mendekati Julia dengan tak melepaskan tatapannya. Menekan Julia dan sekaligus memberikan peringatan pada Julia, bahwa mulai malam ini, keduanya akan lebih sering berhadapan. "Ingat Julia. Kamu dan saya berasal dari kubangan yang sama. Ke ujung dunia sekali pun kamu berlari dan bersembunyi, asal usulmu tidak akan meninggalkanmu. Pahami itu." Juan kemudian tersenyum manis ditemani tatapan menyengat Julia. Genderang perang sudah ditabuh untuk keduanya. Juan menyerang duluan dan kini Julia harus mempersiapkan diri untuk menjaga kedudukannya. "Sayang. Kamu gak pa-pa?" Juan berseru yang mengejutkan Julia. Begitu seriusnya Julia dengan emosinya sampai tak menyadari kehadiran Saskia yang berjalan mendekat. Julia tidak yakin untuk bergegas pergi. Saskia pasti sudah melihat dirinya berbicara dengan Juan. Jika ia langsung menghindar, maka adik ipar tirinya itu akan sigap dengan segala praduganya yang dipastikan melenceng. Julia memperbaiki raut wajahnya menjadi manis dan berbalik. Seperti yang diduga. Julia mendapati tatapan sangar Saskia atas dirinya. Dipastikan Saskia sudah mulai berprasangka atas dirinya dan Juan. Pastinya Saskia mengira kalau dirinya sedang mengganggu Juan. "Kalian sedang bicara apa?" tanya Saskia tajam. Yang ada di benak Saskia adalah Julia sedang mengintimidasi Juan. Julia pasti mengatakan sesuatu terkait hubungan Saskia dengan Onel. Meremehkan Juan dan mungkin meminta Juan mundur. "Sedang bicara biasa saja. Gak ada yang perlu kamu khawatirkan." Julia menjawab dengan santai dan kemudian berbalik, melangkah duluan ke tempat makan malam. "Ngomong apa dia?" tanya Saskia pada Juan. "Tidak banyak. Saya juga baru menyusulmu. Kamu gak apa-apa?" Juan dengan halus mengabaikan pertanyaan Saskia. Ia sedang tak ingin banyak dialog perihal dirinya dan Julia. "Perhatian sekali," cibir Saskia. Tapi tak bisa diungkiri ada perasaan senang menyelusup. Seumur-umur ia dekat dengan pria, tak ada yang sebegitu perhatiannya seperti Juan yang sampai menyusulnya ke toilet. "Bukankah saya harus begitu, agar saya menjadi istimewa di sini." Saskia diam. Ada kegalauan mengganti rasa senang yang baru saja dirasa. Menyadari bahwa ini sekedar sandiwara, Saskia menjadi muram. "Ayo." Juan menggandeng jemari Julia dan mengajaknya kembali ke meja makan. Saskia menurut. Tapi tak lama, Saskia teringat akan sesuatu. Ada hal yang ganjil dengan percakapan mereka di dalam mobil. *** "Hanya itu saja?" Saskia mengangguk. "Ya. Hanya itu saja. Bagaimana?" "Hmm.... Menjadi tunanganmu, sampai batas waktu yang tidak jelas, patokannya hanyalah sampai Onel menjauh dan kakak tirimu mengakui hubunganmu dan saya. Begitu?" "Ya. Dan saya akan membayarmu di setiap pertemuan yang saya minta. Jadi, berapa yang kamu pinta?" Untuk beberapa saat Juan terdiam, membuat Saskia kesal karena ia merasa Juan sedang bersikap jual mahal. "Seratus juta? Dua ratus juta? Atau berapa?" tanya Saskia agar Juan cepat menjawab. "Saya gak butuh uangmu." Saskia tercengang. Bingung sendiri. "Lalu?" "Saya hanya akan mengajukan satu permintaan padamu. Nanti." *** Saskia menahan tangan Juan, menghentikan langkah keduanya. Juan menatap Saskia dan bertanya, "Ada apa?" "Beritahu saya sekarang apa permintaanmu." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD