Kita Menikah

1035 Words
Juan merasa mendengar petir di siang bolong. Di tengah padatnya lalu lintas, Juan menghentikan laju mobil dengan tiba-tiba lalu begong menatap Saskia. Pikiranya tak bergerak. Tak ada yang bisa membuatnya tersadar karena ucapan Saskia. Semuanya membeku dan waktu terasa mati. Sedangkan Saskia, hanya menatap Juan dengan jantung berdegup secepat Roller Coaster. Ngebut dan berputar-putar. Ini memang memang hanyalah sebuah rekayasa, tetapi bagi Saskia ini benar-benar nyata. Ia sudah melamar Juan. Lelaki yang diam-diam ia sukai dan merambat pada cinta. Bunyi ketukan keras dan makian seseorang menyadarkan Saskia karena ketukan berada di sisinya. Seketika Saskia kalang kabut menyadari situasinya. Bunyi klakson kendaraan dari roda dua dan roda empat. Orang-orang yang mengomel. Benar-benar membuat situasinya tidak baik. "Juan. Juan. Mobilnya." Saskia menepuk-nepuk paha Juan dengan panik. Tatapannya tak terarah fokus ke Juan, melainkan ke beberapa orang berwajah marah. Juan yang merasakan sakit juga panas di panas di pahanya, mulai sadar situasi. Ia serupa dengan Saskia, sedikit kalang kabut. Tetapi dirinya paling cepat menguasai keadaan. Juan mengatur pedal gigi dan gasnya, mobil pun melaju. Mulai menepi dan benar-benar mobil benar-benar berhenti. "Jelaskan pada saya. Jelaskan pada saya permainan apa lagi ini?" tanya Juan. "Ya..., seperti..., yang..., kamu dengar tadi." Saskia bicara terbata-bata. Ngedumel dalam diri karena Juan meminta penjelasan yang artinya ia harus mengulang, yang artinya lagi ia harus berkubang pada rasa malu. "Ulangi." Juan memaksa. Ia tidak mau salah dengar, harus jelas. "Memangnya tadi pendengaranmu lari ke mana? Masak gitu aja musti saya ulang-ulang. Mau saya ulang berapa kali, hah?" Saskia menjadi kesal karena malu. Tidak mungkin dirinya melamar pria untuk kedua kalinya, meskipun itu terhitung sebagai permainan alias sandiwara. "Ulangi. Kamu harus ulangi," tuntut Juan. "Memangnya kamu tadi..." "Iya!" potong Juan yang mulai kesal karena tak diberi jawaban. "Iya, saya tidak mendengar. Makanya ulangi." Saskia yang tadinya menatap Juan dengan kekesalan, berubah menjadi serius. Dengan agak malu, Saskia mengulang ucapannya. "Jumat besok, kita menikah. Kita akan bercerai sesegera mungkin, tepatnya sampai hotel Mama berhasil saya selamatkan." "Menikah? Kenapa harus menikah?" "Untuk pengalihan perhatian." Juan bengong dengan ekspresi bingung. Sejak Saskia menyampaikan perihal pernikahan, kepalanya benar-benar tak bisa berpikir. "Tunggu. Tunggu. Saya benar-benar bingung. Jelaskan pelan-pelan ke saya." "Julia tidak menyukaimu. Tidak menyukai hubungan kita. Dia pasti akan belingsatan kalau tahu kita akan menikah. Perhatiannya pasti akan teralihkan dari pelelangan hotel Mama. Dan saya akan mengambil kesempatan untuk menyelematkan hotel Mama." "Caranya? Hotel Tante Soraya sudah masuk daftar pelelangan. Untuk menariknya dari pasar, artinya kita harus bisa menebus minimal sebesar hutangnya dan bunganya. Bagaimana kita membagi waktu antara menghitung besaran hutang dan aset dimiliki untuk menyelamatkan hotel, tapi dibarengi dengan pernikahan yang tentunya butuh persiapan." "Kita hanya nikah KUA. Kita hanya perlu datang dan mendaftar, bukankah itu tidak butuh waktu lama? Sangat mudah, 'kan?" Mudah bagimu, sulit bagi saya Saskia. Kamu pikir menikah itu sesuatu yang bisa dibuat mainan, yang kalau sudah selesai urusan bisa cerai. Sinting. Juan hanya bisa menggerutu dalam hati. Ia bingung sendiri harus menanggapi bagaimana. "Juan. Kalau kamu tidak mau, bilang dari detik ini juga. Gak usah banyak mikir. Saya sedang ruwet," ucap Saskia yang mulai berprasangka buru. "Kalau saya tidak bisa bagaimana?" tanya Juan khawatir. "Saya akan segera cari penggantimu." Juan terkesiap. Terkejut dengan keputusan Saskia yang semua serba buru-buru. "Saskia. Ini akan menjadi keru..." "Sudah!" Saskia membentak. Saskia kecewa dan sudah berkesimpulan Juan menolak. Sebagai si pelamar, pastinya malu itu mengoyak harga dirinya. "Saya keluar." Belum juga Saskia benar-benar keluar, Juan menahan lengan gadis itu. "Baik. Kita akan menikah besok Jumat. Tapi, dengan syarat." "Apa?" "Bahwa mulai detik ini, kamu harus percaya dengan saya. Apa pun yang kelak akan kamu dengar atau lihat, kamu harus tetap percaya dengan saya. Setidaknya sampai yang namanya perceraian itu terjadi. Bisa?" "Oke," jawab cepat Saskia dengan lega. "Tidak bisa oka oke saja." Saskia melongo. "Ini harus serius. Saya harus yakin kamu memahami apa yang saya mau. Saya tidak bisa bergerak membantumu jika ini adalah sesuatu yang terlalu berlebihan. Pastikan kamu paham. Bahwa kamu hanya akan selalu percaya terhadap saya." Saskia terdiam. Suara Juan yang besar dan dalam, membuat suasana menjadi benar-benar serius. Anehnya, meskipun akalnya mengatakan bahwa permintaan Juan terlalu berlebihan dan tak masuk akal, tetapi hatinya justru merasa ikhlas dan patuh. Saskia mengangguk. "Ya. Sampai kita akhirnya berpisah, maka sampai di situlah saya akan selalu percaya padamu." *** Julia mondar-mandir tidak karuan. Pikirannya kusut seperti benang wol sebelum digulung dan dirajut. Ia kesulitan mengurainya. Tidak menemukan titik-titik penting akan segala hal terkait dengan Juan. Sampai detik ini saja dia tidak tahu bagaimana Juan bisa masuk dalam kehidupannya. Ditambah kini adiknya tahu akan perbuatannya. Masalahnya, dari mana dan bagaimana Juan tahu semuanya. Ini menjadi menakutkan bagi Julia. Ini juga membuat Julia tidak berpikir jernih harus apa di kemudian terhadap Juan. Julia tidak memiliki kepercayaan dirinya. Ia khawatir jika setiap langkahnya akan membuatnya terjebak pada perangkapnya sendiri. Julia kemudian menelepon Onye. Ia akan mencoba mencari tahu apakah ada kemungkinan Juan menghubungi Onye. "Nye," sapa Julia begitu teleponnya diterima setelah tujuh kali deringan. "Siap." "Ada orang yang datang menemui kamu belakangan ini?" Pertanyaan Julia yang konyol. "Ya, pasti ada lah Bu. Tau sendiri, kerjaan saya bagaimana." Jawaban yang sudah diduga. "Bukan. Bukan begitu. Seseorang yang menanyakan perihal kecelakaan mobil yang kamu senggol dan masuk jurang." Hening. Onye terdiam membuat Julia makin gelisah. Ia tak lagi duduk di kursinya. Ia justru duduk di ujung meja. "Nye!" bentak Julia tidak sabar. "Ada, tidak?" "Apa polisi menyelidiki kasusnya lagi?" Suara Onye tak setegas dan sekuat tadi. Ada nada kekhawatiran di sana. "Tidak. Tidak ada polisi." Julia lebih menegaskan suaranya agar Onye percaya. Lagi pula ia juga tidak yakin jika Juan memiliki hubungan dengan polisi dan mulai membuka [enyelidikan atas tragedi yang sudah ditetapkan sebagai kecelakaan tunggal. "Trus, kenapa Bu Julia tanya-tanya?" "Tidak ada apa-apa. Saya hanya kepikiran dan keingat saja," dusta Julia. Terdengar helaan napas. Rasanya Onye lega. "Tidak ada. Tidak ada orang datang ke sini dan tanya-tanya perihal kecelakaan dulu itu." "Kamu yakin?" "Sangat yakin." Julia tanpa sadar menggigit-gigit bibir bawahnya. Ia selalu menemui jalan buntu jika berkaitan dengan Juan. "Seseorang tapi tahu tentang kecelakaan itu dan dia tau kalau itu bukan murni kecelakaan." "Siapa?" Kepanikan terdengar dari suara Onye. Belum sempat Julia menjawab, pintunya dibuka dengan hentakan. Kalau dihitung-hitung, sudah tiga kali pintunya dihentakkan. "Jul! Saskia mau nikah!"

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD