Onel memasuki lift khusus otoritas tinggi dengan perasaan gamang. Ia paling kesal sekaligus khawatir jika ada permintaan agar dirinya datang ke kantor pusat. Apalagi jika permintaan itu diajukan dari sekretaris pribadi Andrew, si sulung, maka sudah dipastikan ada sesuatu yang salah.
Keadaan makin runyam bagi Onel karena seorang senior yang selalu memberikan analisa dan bantuan jawaban akan kemungkinan-kemungkinan kesalahannya, tiba-tiba tidak masuk dan tidak bisa dihubungi. Ini membuat Onel tidak bisa mengira-ngira apa yang jadi persoalan hingga kakak sulungnya itu perlu memanggilnya ke kantor pusat.
Namun, meskipun ingin, tetap saja Onel tak bisa menolak dan mengelak. Mau tidak mau dia tetap ke kantor pusat. Sendirian. Sesuai dengan apa yang diminta Andrew.
Sekretaris Andrew yang sedang bicara dengan beberapa staf inti, bergegas mendekati Onel dengan senyum ramahnya.
"Selamat pagi, Pak Onel," sapa si sekretaris dengan sangat manis.
Onel sebenarnya menyukai sekretaris Andrew yang baginya memiliki kecantikan yang lembut. Wanita berkulit kuning langsat itu, memiliki mata sipit seperti kucing. Ada poni yang menaungi di atas mata, seolah menajaga kepintaran gadis itu agar tak terjetembab.
Berulang kali Onel merayunya, bahkan Onel pernah memberikan hadiah mahal bagi gadis itu. Tetapi, gadis itu dengan halusnya menolak semua dan mengembalikannya melalui kurir. Dan itu yang justru membuat sekretaris Andrew menjadi sangat menarik.
"Kapan kamu panggil saya dengan 'Sayang', gitu?" Onel mencoba menowel pipi si sekretaris, tetapi gadis itu dengan cara elegan menghindar dengan cepat memutar tubuhny.
"Mari, Pak. Sudah ditunggu." Si sekretaris bergerak cepat menuju ruangan Andrew. Mengabaikan Onel yang cemberut.
Onel tidak ada pilihan selain mengikuti si sekretaris. Dirinya gelisah saat pintu sudah dibuka. Onel perlu menarik napas dalam-dalam agar tenang.
Alih-alih tenang, Onel justru syok, mendapati orang andalannya duduk di sofa tamu, dekat dengan Andrew. Pak Dodi, kepala bagian keuangan, yang menjadi andalan Onel sesaat akan bertemu Andrew, sudah ada di ruangan Andrew dengan membawa banyak berkas.
Tak perlu mempertajam penglihatannya, ia langsung paham kalau yang sedang di beber di meja panjang itu adalah berkas-berkas catatan keuangan. Pucatlah wajah Onel. Kakak tertuanya itu bukanlah orang buta. Selisih angka seratus rupiah saja, akan langsung kelihatan dan akan dikejar pertanggung jawabannya.
Onel ragu-ragu mendekat. Apalagi Andrew menatapnya begitu tajam. Ia pun menyapa Andrew dengan suara lirih. Kalau sudah begini, Onel tak bisa bersikap gagah.
"Pak Dodi, saya kira tidak kerja. Saya telpon tidak diangkat." Onel memilih menekan Dodi yang sudah membuatnya apda posisi aneh begini. Harusnya Dodi memberitahukannya ini dan itu sebelum dirinya diminta datang ke kantor Andrew.
"Saya yang larang dia angkat telponmu. Juga saya yang melarangnya untuk memberitahumu. Kamu keberatan?" Andrew menyandarkan tubuhnya dengan gaya elegan
"Tidak. Saya Cuma bertanya saja," elak Onel gusar. Tetapi ia menatap marah pada Dodi yang duduknya gelisah.
"Kenapa ada selisih begitu banyak di catatan keuangan ini?" Andrew bertanya tegas tanpa basa-basi menanyakan keadaannya adiknya.
Onel beruasaha tenang. Ia harus bisa memberikan jawaban yang masuk akal.
"Perjalanan bisnis? Pengembangan varian produk baru? Makan siang, makan malam, dan jamuan untuk relasi? What a stupid thing that u have done, Dude?"
Onel menelan air liurnya. Belum sempat ia menjawab pertanyaan pertama Andrew, kakaknya itu justru melontarkan pertanyaan selanjutnya yang justru terasa seperti sebuah pernyataan menuduh.
"Ya..., memang seperti itu. Apakah ada masalah? Kan memang begitu. Untuk urusan bisnis, perusahaan yang membayar," jawab Onel dengan percaya diri yang segera ia bangun.
"Perjalanan bisnis ke mana? Ke Bali?"
"Ya. Kan saya perlu melihat keadaan hotel dan resort kita."
Ada senyum meremehkan terukir di wajah Andrew yang membuat Onel semakin salah tingkah.
"Bruesel? Kita bahkan tidak punya apa-apa di sana. Atau Kanada? Jerman? Apa yang kita punya di sana?"
"Saya sedang prospek. Saya pikir kita perlu membuka hotel atau restauran dengan nuansa Indonesia di sana."
"Dan untuk itu semua, kamu kembali tanpa memberikan laporan apa-apa? Tidak ada catatan untuk itu semua. Dan untuk prospek saja, kamu tiap bulannya harus woro wiri?"
"Ya..., karena masih berupa prospek, saya perlu bolak-balik ke luar negeri. Memastikan bahwa ini akan baik-baik saja."
"Oke. Kalau begitu informasikan ke saya, apa saja yang sudah kamu dapatkan?"
Onel menelan air liurnya. Ia jaran diajak bicara perihal bisnis. Bukan karena dia tidak diajak, tetapi Onel sendiri yang menjauhi hal-hal yang membuatnya pusing. Ini baru pertama kalinya ia ditanya begitu detail dan Onel tidak tahu apa-apa.
"Nggg..., ya lokasinya."
"Itu saja?"
"Nggg..., ya..., ada lagi lainnya. Nanti saya susun laporannya." Cepat-cepat Onel mengelak dengan memberikan kepastian yang palsu.
Andrew tertawa mengejek. Ia memajukan tubuhnya, dekat dengan Onel.
"Sampai detik ini, saya tidak mengerti apa yang dilihat Saskia Pamungkas terhadap dirimu. Gadis itu, jauh di atasmu, Nel. Antara dia memang sudah gila, atau..., dia butuh seseorang untuk dijadikan mainan. Atau, semacam alas kaki. Dan untuk yang kedua, kamu lebih cocok."
Tash!
Pipi Onel terasa seperti ditampar. Ia diremehkan sedemikian rupa oleh kakaknya di depan orang lain. Harga dirinya terkoyak dan dirinya marah. Sayangnya, lagi dan lagi, Onel tak mampu melakukan lebih, selain diam dengan mengepalkan tangan.
Dan kedua mata Andrew bergulir ke tangan Onel yang mengepal.
"Jadilah laki-laki kalau dirimu tidak ingin diijak-injak. Dan jangan jadi tikus di perusahaan saya."
Onel mendelik. Kata 'perusahaan saya' menyentak d**a Onel. Ayahnya meninggal saja belum, tetapi cara kakaknya bicara seolah semua sudah menjadi hak milik Andrew dan dirinya bukanlah siapa-siapa.
"Perusahaan akan melakukan audit besar di tempatmu. Jika saya menemukan terlalu banyak kebocoran, maka...." Andrew menggantung kalimatnya, memerhatikan si bungsu dalam keluarga yang terlalu bodoh juga pemalas. "Maka kamu tidak perlu melakukan apa-apa lagi. Cukup diam dan bersenang-senang. Akan ada jatah bulanan untukmu."
Wajah Onel pucat. Ini artinya, hidupnya sudah tak lagi bebas. Keuangannya dibatasi seperti dulu lagi. Dirinya akan diperlakukan seperti remaja yang mendapatkan uang sakunya.
Andrew tersenyum tipis dan berdiri. Ditepuknya pundak si adik bungsu yang tak berguna.
"Cepat nikahi Saskia Pamungkas dan kedudukanmu akan aman."
***
Tak banyak pekerjaan yang perlu dilakukan Saskia. Sebagian besarnya sudah beres. Sebentar lagi adalah waktu makan siang dan seorang sahabat meneleponnya, menanyakan Saskia kemungkinan untuk makan siang bersama karena mereka sudah lama tak melakukannya.
Jeni adalah sahabat sejak masa kanak-kanak Julia. Keluarga Jeni adalah sahabat bagi keluarga Pamungkas. Tapi, sudah beberapa tahun Jeni banyak tinggal di Bali untuk mengikuti suaminya. Itu yang membuat keduanya jarang bersama-sama lagi.
Baru saja Saskia akan mengucapkan salam perpisahan, ketika pintunya dibuka tanpa diketuk.
Julia masuk. Berjalan terus mendekati Saskia tanpa memedulikan ekspresi marah dan sorot tajam kesal Saskia.
"Ya, udah, Jen. Sampai ketemu nanti, oke. Saya beresin dulu sedikit pekerjaan saya."
Saskia menutup telepon dibarengi dengkusan keras agar Julia peka akan kekurangajarannya masuk begitu saja.
"Lupa cara menget...."
"Suruh Juan ambil Hartono." Julia langsung memotong kalimat Saskia yang Julia yakini pastilah sebuah kalimat protes. "Saya sudah siapkan sopir terbaik untuk Mama."
Saskia mengernyit dalam. "Apa-apaa, sih? Sudah datang gak pake sopan santun, eh ini malah ngatur-ngatur."
"Hartono itu bukan orang baik. Saya sudah selidiki latar belakangnya."
"Oh, ya?" tanya Saskia dengan nada malas dan menyandarkan tubuhnya dengan sikap tak peduli.
"Ya. Hartono bukan orang baik. Jadi sekarang kamu suruh Juan ambil Hartono."
"Ada catatan kriminal yang bisa saya baca dan kurasi?"
Julia menelan liurnya. Berhadapan dengan Saskia berarti ia harus menyodorkan data akurat dan Julia tak memiliki itu selain sebuah karangan.
"Belum. Saya masih suruh orang mendapatkan detailnya, tapi..., ayolah Saskia, lebih realistis jika ini untuk keluarga kita."
Mual perut Saskia mendengar kata-kata Julia yang seketika menjadi bagian keluarga yang begitu peduli akan keutuhan. Sepertinya Julia lupa jika kemunculannya, semua menjadi tidak benar-benar utuh.
"Realistis yang bagaimana? Ada apa dengan dirimu, Julia? Kenapa kamu menjadi seperti seekor cacing kepanasan? Bukankah sebelumnya kamu itu tidak peduli. Tidak ada sodoran pemikiran untuk sopir pengganti. Tapi setelah Juan menyodorkan seseorang sebagai sopir, kamu malah kebingungan. Oh..., tidak. Kamu tidak kebingungan, tapi ketakutan."
Deg!
Saskia bisa mengetahui ketakutannya dan Julia makin panik di dalam diri. Julia memang tidak bisa berpikir jernih sejak kemunculan Juan di malam itu. Ketakutannya akan masa lalu yang datag, membuat Julia tak bisa menata strategi dengan benar hingga perasaannya bisa terbaca Saskia.
"Iya. Iya saya ketakutan. Saya takut Mama dan Papa kenapa-napa," jawab Julia yang ditanggapi tawa kecil sarat ejekean dari Saskia.
"Geli saya dengarnya, Jul. Kamu mungkin bisa membodohi Kak Anggara dengan sikapmu yang seolah-olah peduli padahal tidak. Tapi, kamu tidak akan bisa membodohi saya. Justru sikapmu yang begini yang membuat saya curiga."
"Curiga apa? Kamu itu hanya tidak suka saja dengan saya, jadinya apa pun yang saya lakukan akan menjadi tendensi prasangka buat kamu."
"Kalau kamu memang sebegitu perhatiannya, kenapa tadi tidak sigap menawarkan sopir baru untuk Mama. Kamu malah sibuk memikirkan Kak Anggara yang orangnya sendiri tidak keberatan. Sekalinya Juan membantu, kamu malah mau jadi pahlawan. Maksudnya apa?"
"Tadinya saya juga sudah berniat untuk mencarikan sopir untuk Mama. Tapi kan keduluan Juan."
"Niat aja yang kamu dulukan. Bukan tindakan," ucap sinis Saskia.
"Terserah apa pikiranmu, tapi kamu harus suruh Juan bawa Hartono lagi."
"Terserah apa yang kamu mau. Tapi Mama tidak ada keluhan dengan Pak Hartono. Ditambah, Mama juga tadi sudah bertanya padamu dan kamu jawab apa? Terserah Mama, bukan? Kok, sekarang enak-enaknya kamu mau begini begitu."
"Kenapa jadi ceramah?" bentak Julia. Kepanikan dan kelalutanya yang menumpuk membuat Julia tak bisa lagi mengendalikan emosinya. Sikap dan kata-kata Saskia terlalu menekan Julia.
"Siapa yag ceramah. Saya omong apa adanya. Lagian yang bener ajalah, orang baru kerja, kamu juga menyetujui, lalu tiba-tiba memintanya diberhentikan dalam hitungan jam. Kamu waras gak?"
Kesia-siaan. Julia tidak bisa menggoyangkan Saskia. Hal yang sudah ia duga sebelum ia masuk ke ruangan Saskia. Tapi ia tetap nekat berhadap-hadapan dengan ipar yang paling dibenci Julia.
"Oke. Kalau begitu saya akan bicara dengan Anggara," ancam Julia, yang sepertinya lagi-lagi adalah sia-sia. Saskia justru tersenyum meremehkan.
"Silahkan."
Saskia jelas mau tertawa atas kebodohan Julia. Sudah berapa kali Julia mengusulkan dan mengajukan ini dan itu untuk ibunya. Mengatur dan berlagak bagai seorang nyonya besar. Tapi, tidak berhasil.
Ibunya bukanlah ibu Anggara. Itu yang mejadi andalan Saskia saat berhadapan dengan kakak tirinya, yang sebenarnya memiliki hati yang lembut. Anggara bukanlah seorang yang jago berdebat. Asalkan Saskia bilang kalau ibunya adalah urusannya, maka Anggara tak bisa berkutik.
Dan Julia sangat paham akan itu. Ancaman Julia justru menjelaskan bagaimana frustasinya Julia.
Telepon meja yang digunakan sebagai telepon penghubung antar divisi, berdering. Saskia menekan tombol suara bersama ketimbang mengangkat gagangnya.
"Bu, ada Pak Onel, apakah beliau bisa masuk?" Sekretaris Saskia bertanya karena di dalam ada Julia. Si sekretaris tadi melihat wajah Julia yang beringasan dan asal begitu saja nerobos masuk ruanga Saskia. Ia khawatir ada pembicaraan serius dan mengijinkan Onel masuk begitu saja tanpa konfirmasi, bisa menjadi kesalahan baginya.
Saskia tak memberikan jawaban malah justru mematikan saluran teleponnya.
"Timanganmu datang. Bawa pergi sana. Saya tidak menginginkan dia ada di sini. Di hadapan muka saya. Sejak hari pertama kamu bawa dia ke rumah," ucap Saskia mendesis.
Kata-katanya adalah sindiran yang jelas.
"Kamu terlalu lugu, Saskia. Dikenalkan orang baik, kamu justru memilih Dajjal."
"Jika orang seperti Juan adalah Dajjal, maka kamu pun tidak beda jauh. Sepertinya saya sangat sadar kalau Juan itu Dajjal, karenanya saya memilih dia. Agar kalian kaum Dajjal saling berhadapan. Jika Kak Anggara melindungimu. Saya pun akan melakukan yang sama pada Juan."
Julia tertohok. Juan datang dengan mengumumkan peperangannya dan Saskia memutuskan menjadi penyokong solid bagi Juan. Julia tak bisa berkutik.
Julia baru akan berargumen ketika pintu ruangan Saskia terbuka.
"Saskia, kita perlu bicara."
***