Setelah berputar-putar, akhirnya Juan dan Saskia memutuskan membelikan seperangkat perhiasan untuk Soraya. Juan memaksasa pembagian delapan puluh persennya atau kalau ini menjadi kado masing-masing, maka Juan akan memberikan liburan mahal bagi Soraya.
Saskia bukannya tak suka. Ia justru diam-diam sangat senang sekaligus takjub. Namun, kecurigaan menyelip.
Hubungannya dengan Juan adalah sandiwara. Sebuah rekaya. Juan bahkan belum menyebutkan nominal untuk jasanya menjadi tunangan bayangan. Tetapi, Juan tidak main-main dalam permainannya. Ia mau mengeluarkan uang untuk sesuatu yang bukan kepastian.
"Bagaimana?" tanya Juan pada Saskia.
Keduanya kini berada di ruangan khusus. Ruangan yang memang disediakan bagi tamu yang ingin memilih perhiasan secara privasi dan kenyamanan saat mengambil keputusan. Ruangan eksklusif yang disediakan didominasi warna merah dan emas. Mengangungkan kemewahan sekaligus kemanan.
Juan dan Saskia ditinggal berdua oleh manajer khusus agar keduanya bisa mengambil keputusan.
"Saya keberatan jika pembagiannya justru lebih ringan di saya. Ini kan ulang tahun mama saya. Harusnya saya yang lebih besar untuk hal itu. Dan lagi..., hubungan kamu dan saya kan bukan hubungan nyata. Kamu jangan terlalu berlebihan memberikan sesuatu. Lima persen, sudah sangat cukup.kan saya maunya tidak ada pembagian sama sekali."
Juan tersenyum kecil sembari mengusap berlian di salah satu anting, di salah satu kotak perhiasan yang terbuka di hadapan keduanya.
"Kamu terlalu perhitungan," ucap Juan. "Ini itunya dihitung besar dan kecil."
"Bagaimana saya gak hitung besar dan kecil? Delapan puluh persennya, itu sangat besar pembagiannya bagi kamu yang bukan siapa-siapa?"
"Apa harus menjadi bagian kamu seutuhnya untuk sesuatu yang sifatnya keihklasan?"
Saskia tertohok. Protes Juan terdengar sebagai ungkapan kemarahan karena menjadi seseorang yang tak dianggap. Walaupun kebingungan sendiri akan bagaimana ia menganggap Juan jika lelaki itu ia biarkan ikut memberikan kado spesial bagi Soraya.
"Kenapa?"
"Apanya kenapa?" tanya Juan bingung.
"Kenapa kamu seperti begitu ingin membelikan Mama kado?"
Juan terdiam dan kembali memandangi kotak-kotak perhiasan yang di dalamnya terdapat anek model perhiasan untuk satu set. Ia teringat akan ibunya. Yang meskipun tak dipenuhi perhiasan berlian, tetapi ibunya memiliki simpanan perhiasan emas. Sebagiannya disimpan, sebagiannya dikenakan. Dan itu ludes satu per satu untuk Julia. Sampai kemudian ibunya tak mengenakan perhiasan apa pun selain cincin pernikahan yang ia pertahankan dan kemudian diberikan pada Juan.
"Saya belum pernah.... Bahkan belum sempat membelikan ibu saya perhiasan. Selingkar cincin pun belum."
Kening Saskia berkernyit. Bingung akan pernyataan Juan. Juan yang ia kenal bukanlah seorang pengangguran yang mengandalkan akting untuk menjadi sesuatu bagi wanita lain. Juan punya usaha. Masalahnya menjadi bingung karena Juan merasa tidak bisa memberikan apa-apa bagi ibunya.
"Kok, bisa?" tanya Saskia penasaran.
"Karena..., beliau sudah meninggal saat saya masih sekolah."
Saskia tercekat. Ia merasakan aura kesedihan menyelimuti Juan. Wajah Juan yang kembali menatap perhiasan dan mengusapnya dengan ujung jari, terlihat sedih. Wajah itu mengeras dan tulang rahang Juan terlihat semakin menonjol. Itu bukan kemarahan, melainkan kedukaan.
Saskia tidak tahu apa yang merasukinya. Saskia sendiri terkejut dengan tindakan selanjutnya yang ia lakukan. Jemarinya terulur dan menggenggam jemari Juan. Ia merasakan jika telapak tangan Juan begitu luas, melindungi Juan dari sakitnya, tidak cukup dengan satu tangan, dan Saskia mengulurkan tangannya yang lain. Diam-diam Saskia berharap dalam hati jika kedua tangannya bisa menjadi penenang bagi Juan.
Kedua mata gelap Juan melirik ke tangannya yang dilindungi oleh kedua tangan Saskia. Senyumnya tak lagi suram. Kehangatan dari tangkupan kedua tangan Saskia, justru memberikan kehangatan yang tak terjabarkan. Sesuatu yang manis. Sesuatu yang lama Juan rindukan. Kenyamanan.
Tangan Juan yang lain, mengambil satu telapak tangan Saskia. Membelai punggung jemari gadis itu dengan sangat lembut. Seolah mengkhawatirkan jika telapak tangannya yang kasar akan melukai kulit gadis itu, yang lembutnya selembut kapas.
"Tanganmu kecil," ucap lirih Juan.
"Mungkin karena saya kurang gizi."
"Hmmm..., saya bisa membuatmu jadi bergizi dan berisi."
"Bagaimana caranya."
Juan menatap Saskia dengan tatapn aneh. Senyumnya mengingatkan Saskia pada laki-laki penggoda.
"Apa?" tanya Saskia dengan nada menyentak.
Juan masih dengan senyumnya, memajukan tubuhnya agar lebih dekat dengan wajah Saskia. Pipi Juan bagai angin yang membelai pipi Saskia. Hanya sekilas, namun terasa. Membuat Saskia bergidik, merasakan sensasi baru sentuhan pria.
Aroma buah segar menggelitik hidung Juan. Semakin dekat dengan telinga Saskia, semakin terasa aroma buah dari sekitar Saskia. Aroma buah Cherry yang manis dan menggoda. Saat ia sudah benar-benar dekat dengan telinga Saskia, barulah Juan tahu, kalau aroma Cherry menguar kuat dari kumpulan rambut Saskia yang terurai.
"Caranya..., kita sewa kamar di hotel."
Setelah mengucapkan itu, Juan tertawa terbahak-bahak. Cukup mencairkan ketegangan aneh yang dirasakan Saskia. Gadis itu langsung menendang tulang kaki Juan. Meskipun Juan mengaduh kesakitan, namun pria itu tetap senang. Setidaknya ia sudah tak terjerat pada pesona Saskia yang bagi Juan semakin hari semakin mengganggunya.
"Br3ngs3k. Otak gila," gerutu Saskia.
"Hahaha.... Gak papa saya gila. Karena saya memang gila sudah mau jadi tunangan bayangan kamu." ucap kalem Juan.
Gilanya kan karena kamu, sambung Juan dalam hati dengan perasaan geli tapi senang.
"Pokoknya saya gak mau kalau kamu ambil bagian tersbesar. Dan sebenarnya saya juga gak mau kamu ambil bagian. Saya maunya ini kado saya," tukas Saskia dengan cemberut.
"Oke. Silahkan pilih yang mana versimu paling indah. Dan bayar. Tapi, seperti tadi saya bilang, saya akan memberikan liburan istimewa dan paling mahal untuk Tante Soraya."
Saskia menghela napas. Rasanya ini akan jadi perdebatan yang panjang.
"Oke!" Saskia membentak. Ia tak tahu harus bersikap bagaimana. Keteguhan Juan, sebenarnya menggelitik perasaan suka Saskia. "Tapi kamu harus janji."
"Apa?"
"Bahwa ini tidak akan ada pamrih ke depannya. Kalau memang ada hitungannya, kita bicara sekarang."
"Deal. Jadi kita pilih yang mana?" Juan menatap rangkaian kotak-kotak perhiasan yang didalamnya aneka rupa perhiasan indah tertata apik.
Saskia menarik napas dan mengembuskannya dengan senyum yang disembunyikan. Getar halus dalam dirinya, membuat Saskia malu sendiri. Ini terasa nyata dan Saskia semakin menikmati sesuatu yang sebenarnya tak nyata.
Juan dengan bel yang tersedia di meja, memanggil kemabli masuk si manajer khusus. Disepakati salah satu kotak perhiasan yang sudah dipilih Saskia. Keduanya kemudian sama-sama keluar untuk melakukan p********n menggunakan kartu kredit Juan, sedangkan Saskia mentransfer dua puluh persennya ke rekening Juan.
Sonya, melihat keduanya dari luar toko perhiasan yang kebetulan ada tempat duduknya.
Melihat Juan sudah keluar, dengan segera ia mengirim pesan bergambar. Foto yang dia ambil saat Juan dan Saskia baru masuk toko perhiasan.
Sonya: Oh, ini wanita barumu? Tumben masih muda. Bagaimana jika saya masuk dan menceritakan padanya siapa kamu?
Sonya tersenyum girang saat pesannya dibaca Juan. Ia melihat Juan membaca tak jauh dari Saskia. Lelaki itu bergeming se inci pun. Membuat Sonya keheranan. Juan seperti tidak khawatir dengan isi pesannya.
Lebih mengejutkan Sonya lagi adalah saat ia melihat Juan merapatkan diri ke Saskia sembari menunjukkan ponselnya. Sonya jadi meragukan diri bahwa sebenarnya Juan hanya membaca sekilas pesannya dan kemudian beralih ke pesan berikutnya.
Saat dalam keheranannya yang terus menatap Juan dari luar, ponselnya berdering. Hampir saja ponsel itu terlepas dari tangannya karena terkejut. Dan jantung Sonya berdebar tak beraturan. Juan menelepon.
Setelah sekian waktu ponselnya berderi, Sonya memberanikan diri menerima panggilan itu.
"Hai, Tan. Ada di mananya mal ini?" sapa Juan langsung tanpa basa-basi.
Sonya bahkan bisa melihat Juan tak juga menjauhi Saskia. Sonya bingung sampai tak bisa berkata-kata.
"Ah, ya. Ini teman wanita saya. Tante mau kenal?" Juan bicara seolah-olah ucapannya mendapat tanggapan dari Sonya.
"Hahaha.... Tidak apa. Tidak ada yang keberatan jika kita makan siang sama-sama. Ya, 'kan?"
Sonya melihat Juan dengan santainya lagi, bertanya pada wanita muda di sisinya, dan pertnyaan Juan mendapat tanggapan anggukan kepala.
Juan terlihat memberikan isyarat kalau ia akan keluar dan Sonya melihat wanita muda di sisi Juan mengangguk lagi. Juan keluar. Tatapan Juan bagai Elang, saat ia melihat keluar dan langsung bisa melihat Sonya duduk di kursi panjang yang memang disiapkan pihak mal untuk istirahat.
Juan tak mendekat, ia berdiri di ambang pintu toko perhiasan yang terbuka lebar.
"Apa menurut Tante ancaman ini berhasil?"
Sonya tetap tak bisa berkata-kata. Sikap Juan dan cara bicara Juan, entah bagaimana cukup menakutkannya. Ia hanya memiliki kekuatan memandangi saja Juan. Berusaha menunjukkan pada Juan akan kekuatannya yang tak seberapa.
"Mau apa Tante dengan mengirim foto tadi?"
"Siapa dia?" akhirnya Sonya bisa bersuara. Rasa penasaran yang ia bendung sejak di perkiran, lepas sudah.
"Bukan urusan Tante."
"Saya tidak suka."
"Dan apa saya harus menuruti ketidaksukaan Tante?"
"Kamu gak bisa begini sama saya, Juan."
"Saya bisa begini dan bisa begitu, suka-suka saya. Sekarang, apa yang Tante mau dengan mengirimi saya foto ini?"
"Saya akan kasih tau dia, siapa kamu dan hubungan kamu dengan saya."
Juan terkekeh geli. Seolah ucapan Sonya hanyalah guyonan anak kecil.
"Oke. Sekarang?"
Sonya lagi-lagi terkejut. Juan tak khawatir sedikit pun. Ini membuat Sonya tak bisa menekan Juan.
"Saya akan makan siang di restoran korea lantai atas. Saya tunggu Tante di sana. Yang perlu Tante sadari jika ingin mempermalukan saya adalah..., saya tidak pernah khawatir.
Jika dia mendengarkan hal memalukan tentang saya dan dia tak menerimanya, dia bisa bebas pergi dan saya masih bisa cari baru.
Tapi..., jika banyak orang tau, kalau Tante menggunakan saya sebagai penghibur, saya yakin, akan banyak orang melecehkan Tante. Ahhh..., suami dan anak-anak Tante bagaimana? Apakah mereka akan baik-baik saja?"
Sonya mengepalkan tangannya kuat-kuat. Ancaman itu berbalik untuk dirinya. Dan Juan benar.
Ia tak bisa mempermalukan Juan yang bisa saja membalikkan keadaan. Posisinya lemah.
"Saya harap, ini yang pertama sekaligus terakhir kalinya. Jangan ganggu saya juga wanita saya. Tante belum tau sebesar apa kemarahan saya. Dan sebaiknya Tante jangan coba-coba mencari tau."
Juan mematikan ponselnya, menyisakan tatapan tajam pada Sonya, dan masuk kembali ke dalam begitu saja. Mengabaikan Sonya yang kemudian menjadikannya dendam. Akan ada pembalasan dan Sonya memastikan itu.