Apakah Cinta?

2091 Words
Sepanjang perjalanan, Anggara dan Julia lebih banyak diam. Anggara tak berniat membuka obrolan karena melihat diamnya Julia. Sudah dipastikan Julia sedang dalam kemarahannya yang besar. Karenanya Anggara memilih mendiamkan saja dulu. Ditambah, karena ada sopir, Anggara tak ingin membuat keributan yang bisa menjadi bahan gunjingan sampai keluar. Sampainya di kantor, Anggara mengikuti Julia ke ruangannya. Ia akan mencoba menenangkan istrinya itu. Satu hal yang diketahui Anggara jika Julia marah adalah, bersikap mengalah dan memberikan perhatian. Jika Anggara mengabaikan kemarahan Julia, maka apinya akan membesar. Akan ada yang celaka setelahnya. Begitu memasuki ruangannya, Julia langsung melempar tasnya ke sofa dan berbalik menghadap ke Anggara yang baru menutup pintu. Julia berkacak pinggang, menunjukkan tak hanya kemarahannya tetapi juga superioritasnya. "Bisa gak, kamu didik adik kamu agar jauh lebih sopan sama saya? Menghormati saya sebagai kakak iparnya. Tidak membantah apalagi melwan. Bisa, gak?!" Permintaan Julia yang diucapkan dengan membentak, terasa sebagai tuntutan bagi Anggara. Atau bahkan sebenarnya perintah. "Maklumin saja dia. Dia kan masih muda. Dan juga bungsu." "Gini ini. Yang gini ini yang bikin anak itu ngelunjak. Kamu masih menganggapnya adik kecilmu. Buka matamu lebar-lebar. Saskia bukan lagi si gadis kecil yang perlu kamu timang. Dia sudah bertumbuh dan butuh didikan. Kamu kan kakaknya. Harusnya kamu tau bagaimana mengendalikan dia." "Tapi, kenapa harus Onel, sih? Saskia kan sudah jelas-jelas menolak. Ditambah Onel ketahuan selingkuh." "Onel itu gak selingkuh! Dia kan udah jelasin ama kamu kalau dia sedang bersama tim pemasaran, untuk membahas peluncuran produk baru. Onel itu sedang hati-hati agar tidak ada pencurian ide. Kebetulan aja yang dilihat Saskia Cuma salah satu stafnya yang kebetulan lagi adalah perempuan. Padahal, sebenarnya di ruangan itu ada beberapa orang lagi." Anggara menghela napas. Sebenarnya kalau mau jujur, apa yang Onel sampaikan sebagai alibi, justru terasa tidak masuk akal. Seumur-umur, dia tak pernah membahas apa-apa dengan timnya di dalam kamar hotel. Bukankah setiap perusahaan besar selalu tersedia ruang rapat yang kedap suara? Jadi agak aneh jika Onel masih memerlukan kamar hotel untuk rapat. Namun, Anggara selalu tidak bisa berkutik. Ia seperti dipaksa untuk mempercayai alibi Onel dan memang sebenarnya begitu. Julia mengintimidasi Anggara untuk percaya. Itu selalu. "Oke. Tapi, Saskia tidak cinta." Dan apa kita cinta?! pekik Julia dalam hati kecilnya, yang untungnya tak terucap karena langsung ditelannya dengan air liur. "Hari gini kamu membicarakan cinta? Cinta itu belakangan, Gara. Pikirkan tentang masa depan. Masa depanmu dan masa depan Saskia." "Kenapa dengan masa depan saya dan Saskia?" tanya Anggara bingung. Bodoh! maki Julia dalam hati. "Kalau Saskia jadi menikah dengan Onel, maka akan dua perusahaan besar yang juga menikah. Pencapaian ini akan menjadi maksimal. Pengembangan usaha akan bertumbuh melesat. Ditambah, kamu tidak akan menjadi yang teremehkan lagi. Saat Papa bangun dan sehat, dia tak akan lagi memandangmu remeh. Ini adalah jalanmu untuk melakukan pembuktian. Kamu bisa menjaga keluargamu saat dia sakit. Menjaga adikmu dengan menikahkannya pada orang yang sangat tepat. Menjaga perusahaan yang bahkan kamu bisa mengembangkannya jadi jauh lebih baik. Kamu tidak akan lagi diperbandingkan dengan Atha. Kamu tidak akan dianggap pecundang lagi, Gara." Julia tersenyum sangat tipis setelah melihat reaksi Anggara atas ucapannya. Lelaki lemah dan sensitif itu tertegun. Tertohok dengan semua ucapan Julia. Kelemahannya dibeberkan dengan gamblang. Memalukan tetapi memang begitu kenyataannya. Sepanjang hidupnya, Anggara selalu diperbandingkan dengan Atha. Ia hampir tak memiliki perlindungan. Yang ada dia harus mengejar ketertinggalan. Atha sendiri, tak pernah berniat membantunya. Dia sebagai kakak juga ikut meremehkannya. Hanya Julia yang menyelamatkannya secara nyata. Hal yang ia syukuri sekaligus ia takuti. Julia sudah melakukan sesuatu dan Anggara cukup takut untuk itu. Ia hanya bungkam. Baginya, asal dirinya dipandang lagi sebagai seseorang, maka Anggara akan tutup mata dan tutup mulut. "Lalu saya harus bagaimana ke Saskia?" Julia benar-benar muak dengan Anggara yang menjadi suaminya. Beribu makian keluar dari dalam kepalanya. Untuk urusan kecil saja, Anggara masih meminta petunjuknya. Julia jadi merasa menikah dengan seorang bayi. Awalnya, cukup menyenangkan menikah dengan Anggara. Ia bisa melakukan pengendalian penuh. Ketergantungan Anggara terhadap dirinya, membuat Julia merasa aman. Dengan sedikit sentakan dan ancaman, Anggara akan bertekuk lutut. Hanya saja, Julia adalah juga wanita. Ia tak sekuat yang dibayangkan oleh dirinya sendiri. Ada masa-masa ia jenuh dan mengharap lelaki di sisinya lebih kuat dari sebelumnya. Bisa mengambil keputusan. Dan bisa memenuhi keinginan hatinya yang egois. Tidak selalu bertanya untuk ini itunya yang kecil-kecil. "Terserah kamu mau bagaimana. Pokoknya kamu harus didik adikmu." Julia menatap ke dalam mata Anggara. Keseriusan terpancar dari mata Julia. "Kalau kamu tidak bisa melakukannya. Maka..., saya sendiri yang akan melakukan tindakan nyata bagi Saskia." Anggara terhenyak akan ucapan Julia. Dari matanya, menyembul ketakutan sekaligus kengerian. Julia tidak peduli akan reaksi suaminya. Ia berbalik dan menuju ke meja kerjanya. Sesantai itu Julia membuat keputusannya. Anggara mendekati Julia yang sudah duduk. "Apa..., apakah ini ancaman?" Julia menatap suaminya malas. "Ya. Kalau kamu menganggapnya demikian." Hati Anggara bergetar. Kali ini, ia tidak bisa terima keputusan Julia. Ia sangat menyayangi Saskia sejak kelahirannya. Gadis itu tak pernah jadi pembanding untuknya. Gadis itu bahkan selalu berada di sisinya sampai kemudian Julia datang dan Saskia menjauh. "Tidak akan ada sesuatu terjadi pada Saskia. Tidak akan ada!" Anggara mendesis dengan suara dalam. Setelahnya ia berbalik dan keluar dengan langkah lebar. Julia terkejut saat pintunya ditutup dengan kasar. Saat itu juga Julia tahu, bahwa ia tak bisa main-main dengan Saskia selama Anggara masih melindungi gadis itu. *** Anggara gelisah di kamarnya sendiri. Jantungnya tak pernah berhenti berdegup dengan ritme yang kuat. Membuat dadanya terasa sakit. Berulang-ulang ia memeriksa jamnya. Memastikan detik dan menitnya masih bergerak dengan tempo waktu yang normal. Berulang-ulang juga ia memeriksa ponselnya. Memastikan ada telpon masuk, memastikan juga dering ponselnya benar-benar dalam posisi berdering, bukan senyap. Malam ini akan terjadi sesuatu. Julia sudah membulatkan tekadnya. Dan Anggara yang ketakutan, hanya bisa menunggu di dalam rumah. Anggara tak memiliki nyali yang besar untuk mencapai keinginannya dengan cara paling keji sekali pun. Ia benar-benar tak mampu. Tudingan pecundang yang selama ini dilontarkan ayahnya, menjadi benar adanya. Ponselnya berdering dan Anggara langsung menerimanya. "Julia?" "Kamu sudah masuk kamarnya?" tanya Julia dari seberang telepon. Anggara bisa mendengar suara angin yang menderu dan suara kendaraan yang sepertinya menyalip mobil Julia. Suara-suara yang masuk, menandakan kalau Julia menurunkan kaca jendelanya. Entah maksimal atau diturunkan sedikit. "Apa kamu masih membuntutinya?" tanya Anggara mengabaikan pertanyaan Julia sebelumnya. "Masih." "Bagaimana dia?" "Sepertinya akan mulai hilang kontrol. Mobilnya sudah mulai melaju terlalu cepat. Kamu sudah masuk kamarnya, belum?" bentak Julia. Anggara menjilati bibirnya yang tiba-tiba kering. "Belum," jawab Anggara lemah. "B0d0h! Kamu mau nunggu apa lagi? Saya sudah melakukan bagian saya, kamu mana?" Anggara mengigit bibir bawahnya. Kemarahan Julia terasa nyata diucapkan di depan matanya. Padahal Julia masih menyetir. "Apa kita harus melakukan ini?" Julia langsung mengumpat. Kata-kata kotor dan penyebutan segala hewan, terlontar dari suara Julia. Belum lagi kata-kata hinaan yang sering ayahnya lontarkan untuk dirinya, kini diucapkan juga oleh Julia. "Kamu ini b0d0h atau bagaimana? Kamu emang pecundang, ya? Timbang melakukan itu saja, kamu gak bisa. Lalu kamu bisanya apa, ha? Lembek sekali kamu ini sebagai laki-laki. Dasar b4nci! Saya gak mau tau, ya, Anggara. Pokoknya kamu harus melakukan apa yang sudah direncanakan. Jangan coba-coba kamu mundur atau apa pun. Jika ini semua gagal..., kamu yang akan saya seret ke neraka!" *** "Kak Anggara.... Kak.... Kak Anggara...." Saskia menepuk lengan Anggara yang sedari tadi disebut namanya tak juga memberikan reaksi. Anggara tersadar dengan gelagapan. Menatap Saskia bingung. Hanya seasaat dan kemudian menyadari jika itu adiknya. Anggara melepaskan napas lega. Membuat Saskia mengernyit keheranan. "Melamun apa sih, Kak?" tanya Saskia penasaran. "Enggak. Gak melamun," elak Anggara dengan memberikan Saskia senyuman manis. "Lagi ada pikiran aja." "Pikiran apa, Kak?" Anggara mengeluh dalam hati. Saskia bukan hanya kritis, gadis itu bahkan terlalu peduli akan keadaan orang-orang di sekitarnya. Ia akan terus bertanya, jika memang sekiranya ia dalam kesulitan. "Pekerjaan. Ah, sudah, gak sudah dibahas itu." Anggara langsung memutuskan karena melihat Saskia yang akan buka mulut. Gadis itu pasti akan menanyakan pekerjaan apa yang memberatkan Anggara. "Saya memintamu ke sini bukan tentang mengurus saya," sambung Anggara. "Tapi tentang kamu dan Onel." Ekspresi wajah Saskia langsung berubah. Ia langsung cemberut dengan sudut bibir turun ke bawah. "Bisa tidak kita tak membahas itu," erang Saskia. "Saya capek. Saya malas. Saya jenuh." "Sas, coba pikirkan lagi tentang Onel. Dia itu baik. Masa depannya jelas. Onel terlihat sangat menyayangimu. Coba buka hatimu untuk dia." "Kakak diintimidasi sama Kak Julia?" Anggara seketika jadi malu. Saskia langsung bisa membaca situasinya. Ini artinya, Saskia sudah membaca bahawa meskipun status Anggara sebagai suami, tetapi yang jadi pemimpin adalah Julia. Ini memalukan Anggara karena kelemahannya terbaca oleh adik tirinya itu. "Tidak," dusta Anggara. "Gak semua-semuanya harus terkait dengan Julia, 'kan?" Ada ketidaksukaan dari nada bicara Anggara yang membuat Saskia menutup mulut dan tidak berargumen. Ia sangat tahu kelemahan kakaknya dan tak ingin membuatnya lebih malu lagi. Ia sangat sayang pada Anggara, begitu sayangnya, ia jadi membenci Julia setengah mati karena kakak tercintanya dikuasai dengan semena-mena oleh Julia. "Lalu saya harus bagaimana, Kak. Saya tidak mencintainya." "Cinta itu bisa tumbuh belakangan asalkan kamu membuka diri." "Ini sudah dua tahun lebih, Kak. Saya bahkan tidak bisa merasakan apa-apa jika bersama Onel." "Cobalah dulu kali ini, Sas. Cobalah melihat Onel dari sisi yang berbeda." "Tapi, saya sudah bersama Juan." "Kamu hanya emosi seasaat. Kamu terhadap Juan hanyalah pelarian. Kamu hanya ingin menunjukkan pada kita semua kalau kamu bisa mendapatkan lelaki versimu. Kamu hanya protes." "Itu bukan protes! Saya memang tidak pernah mencintai Onel. Dan tidak akan bisa. Please..., jangan paksa saya, Kak." "Kenapa kamu jadi keras kepala gini, sih, Sas," keluh Anggara dengan kesal. "Tidakkah kamu melihat adanya hal-hal baik jika bersama Onel. Ayolah, Sas, jangan seperti anak kecil." Saskia menahan dirinya untuk tidak semakin marah. Ia khawatir akan keluar kata-kata yang melukai Anggara. Ia tidak ingin melukai perasaan Anggara. Kakaknya itu meskipun ikatannya tiri, adalah kakak terbaik. Dibandingkan dengan Atha, Saskia lebih dekat dengan Anggara. Anggara selalu berada di dekatnya, membimbingnya, menemaninya. Saat ia pertama kali mengeluarkan darah wanitanya, Anggaralah yang tahu dan mengajarinya bagaimana mengatasi rasa takutnya atas darah yang keluar dari organ intimnya. Saat Saskia pertama kali menyukai seseorang, Anggara jugalah yang mengajarinya untuk memahami arti perasaannya pada seseorang. Apakah benar-benar sayang ataukah hanya sekedar suka. "Kak..., Apakah Kakak mencintai Kak Julia?" Pertanyaan Saskia menganggu Anggara. Tak ada yang pernah bertanya itu padanya dan ia bingung untuk menjawab. Jawab jujur ataukah berdusta. "Ya, tentu aja." Jawaban yang sebenarnya gak sepenuhnya benar. Anggara sendiri sampai sekarang tidak tahu apakah ia cinta ataukah karena keterikatan masa lalu antara dirinya dengan Julia yang membuat keduanya menikah dan hidup bersama. Ia memang menyukai fisik Julia sejak pertama kali diperkenalkan Atha kepadanya. Julia dengan rambut hitamnya yang ditata curly di bagian bawah rambut, terlihat sangat cantik dan anggun dengan gaun biru langitnya. Mata Julia yang bening bagai telaga, membuat Anggara hanyut ke dalamnya. Belum lagi suara Julia yang sedikit serak, terdengar seksi dan menggoda. Julia secara fisik menang begitu sempurna. Wajar jika Athan begitu memuja dan memuji Julia. DI masa-masa yang lain, Anggara pernah berpikir untuk merebut Julia dari Atha. Pikiran sesaat yang tak terduga menjadi kenyataan. "Tapi, saya tak melihatnya begitu." Ucapan Saskia membuat Anggara tertegun. "Kenapa begitu?" "Saya tak melihatmu benar-benar bahagia, Kak. Saya jarang melihatmu tersenyum jika ada Kak Julia. Saya juga tak pernah melihatmu bermesraan meski di dalam rumah sekali pun. Dan saya, tak merasakan kehangatan perasaan kalian jika bersama. Kehidupan pernikahan kalian berdua terlalu dingin." Saskia menjabarkan kebenarannya atas pernikahannya dengan Julia. Dan itu semua benar. Jika adiknya bisa melihatnya dengan jelas, Anggara kemudian bertanya-tanya apakah orang lain juga melihatnya dengan jelas. "Kak. Saya tidak mau hidup sepertimu. Saya hanya ingin menikah dengan pria yang memang saya cintai dengan sejujurnya. Yang di pernikahan saya ada kehangatan karena kebersamaan yang dilandasi sayang. Yang didalamnya ada dukungan untuk satu dengan lainnya. Saya tidak ingin kehidupan pernikahan saya sama sepertimu, Kak. Begitu dingin dan monoton. Kerja sama-sama. Pulang sama-sama. Dan selesai. Tidak. Saya tidak ingin seperti itu, Kak." Tak bisa berkata-kata lagi. Keinginan dan impian adiknya begitu membahagiakan. Anggara tidak sanggup meneruskan intimidasinya pada Saskia. Gadis kecilnya itu berhak untuk bahagia. "Apakah kamu bahagia bersama Juan?" "Ya. Ya saya bahagia bersamanya." Itu nyata. Saskia merasakan hal berbeda bersama Juan. Hidupnya terasa berwarna. Ada kemarahan yang tak perlu ditahan. Kemarahan yang segera diredam Juan dengan caranya yang tak pernah Saskia dapatkan dari lelaki mana pun. Ada kelucuan yang membuat Saskia tertawa, meskipun sering kali tawanya ia sembunyikan hanya agar Juan tak terlalu senang. Yang terpenting ada perlindungan. Sejak pertama bertemu, Juan sudah melindungi harkat dan martabatnya sebagai wanita di hadapan Onel. "Apakah kamu benar-benar mencintai Juan, Sas?" Kali ini Saskia menelan air liurya dengan kesusahan. Ia tidak tahu bagaimana menjawabnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD