Sebuah kesepakatan yang melegakan banyak pihak sudah dibuat. Kesepakata yang justru membuat Slamet dan keluarganya tersenyum bahagia. Membuat keputuasaan menjadi harapan baru.
Robi dan rekannya yang ternyata seorang pengacara, mampu mengintimidasi Fery. Surat jaminan tanah dan rumah yang disita Fery, dalam sekejap sudah kembali pada Slamet. Meski kembali dalam pertanggungan orang lain, tetapi Slamet sangat tidak keberatan.
Ini karena Robi tetap menganggap sebagai hutang tanpa bunga dan bisa dicicil sesuai dengan kemampuan Slamet. Asalkan Slamet mau bekerja sebagai sopir pribadi bagi orang tua Robi.
Slamet pun langsung menyanggupi. Ia bukannya tak suka bekerja pada keluarg Pamungkas, namun balas budi harus ia lakukan. Ia tak mau menjadi orang yang tidak tahu diri untuk sepanjang hidupnya. Dan jika ia tak bisa mendidik kedua putra dan putrinya, dirinya sangat berharap sikapnya akan ditiru oleh kedua cucunya.
Slamet keluar dari rumah selalu jam enam pagi. Ia harus membersihkan enam mobil milik keluarga Pamungkas dari debu. Jika ada yang benar-benar kotor dan nyonya besar tidak sedang membutuhkannya cepat-cepat, maka Slamet akan berkewajiban mencucinya.
Pagi ini, Slamet akan mencuci semua mobil yang tak dipakai. Memastikan nyonya besarnya tak terlalu membutuhkannya dan kemudian ia akan berpamitan mengundurkan diri.
"Pak..., kasihan Ibu Sofia. Kalau Bapak keluar, siapa ya, Pak, gantinya?" tanya istri Slamet sembari menyodorkan kopi hitam pada Slamet.
"Aka banyak, Bu. Jaman sekarang orang pada sibuk cari kerja. Pasti mudah bagi beliau menemukan pengganti, Bu."
"Tapi, Ibu Sofia percaya banget sama Bapak."
Slamet terdiam. Ia mengembalikan cangkir kopi yang isinya sudah ia seruput banyak. "Kita tidak bisa mengkhianati kebaikan Pak Robi, Bu. Tanpa dia, kita tadi malam sudah ada di kolong jembatan sama anak-anak. Saya berangkat dulu, Bu. Jangan lupa belikan s**u dan chiki-chiki untuk Ipul."
Istri Slamet hanya mengangguk dan tersenyum. Robi memberikan uang lebih yang tak dihitung utang. Sangat cukup untuk mebayar hutang-hutang di warung, juga untuk membelikan s**u bagi cucunya yang bayi dan makanan ringan untuk cucunya yang lain.
***
Kedua satpam yang membukakan gerbang bagi Juan, hanya bisa tersenyum kecil saat Juan memberikan alasan kenapa ia harus datang pagi-pagi demi Saskia. Bagi insan yang bercinta dan kemudian ribut, memang harus segera memperbaiki keadaan. Terlambat saja, bisa makin runyam.
Juan menikmati membawa mobilnya masuk menuju ke pelataran teras rumah besar Saskia. Ini karena di kanan kiri jalan yang diperuntukan bagi kendaraan bermotor, ditanami pohon-pohon cemara yang terawat baik. Mendekati pelataran teras, ada sebuah pohon camelia yang sedang berbunga. Membuat sekitarnya dipenuhi warna merah api dari bunga yang berguguran.
Juan mengenakan pakaian paling santainya. Karena masih terlalu pagi, akan konyol jika dirinya menggunakan celana kain. Jadinya, Juan menggunakan celana olahraga warna hitam dan kaos warna putih. Benar-benar santai agar tak dibilang berlebihan atau lebay istilah jaman sekarang.
Sebenarnya, sesaat setelah melewati gerbang rumah Saskia, Juan bingung akan apa. Kedua satpam mengatakan kalau Saskia tidak mungkin bangun pagi, tetapi kalau sudah janjian, ya mungkin saja bisa bangun pagi.
Juan melihat keadaan rumah yang sepi. Pintu ganda rumah emmang sudah dibuka lebar, tetapi Juan tak melihat aktifitas di dalamnya. Karena tak ingin dituding sebagai seorang pengintai, Juan terpaksa keluar dari mobil.
Kepalanya celingukan, berharap ada suara menyapa, atau bentakan pun tak masalah. Asalkan ada tanda-tanda kehidupan.
Tepat di ambang pintu, seorang pelayan wanita yang berada di sudut, terkejut dan bergegas menghampiri Juan. Ia tadinya sedang membersihkan perabotan guci yang ada di bawah tangga, karenanya sosoknya tak terlihat dari luar. Bahkan andai kata si pelayan tak bersuara, Juan tidak akan menyadrai jika ada orang lain di ruang utama.
"Cari siapa, Om?"
Dengan langkah tergopoh, pelayan yang usianya Juan perkirakan awal empat puluhan, berjalan mendekat. Rambut panjang kusamnya diikat ke belakang. Ia tak mengenakan seragam khusus, tetapi pakaiannya msaih sopan dengan kaos berbahan tebal, agak longgar, dipadu celana pendek di bawah lutut yang tidak ketat.
"Saskia...."
"Jam segini, Mbak Saskia masih tidur."
Jawaban yang sama seperti jawaban yang diberikan satpam di depan. Juan jadi bertanya-tanya untuk apa Saskia memintanya datang pukul enam pagi kalau dirinya tidur. Padahal bisa saja pagi yang dimaksud jam tujuh atau delapan.
Juan memeriksa jam tangannya. Jam enam lewat tiga menit. Seharusnya dia masih tepat waktu saat ia mendekati gerbang Saskia.
"Kalau dibangunkan?"
"Mana berani saya, Om." Si pelayan tersenyum lucu. Seolah-olah permintaan Juan meggelikan.
"Bangunkan saja."
Si pelayan segera mengangguk hormat ke atah asal suara di belakang Juan. Sedangkan Juan segera berbalik dan tersipu malu mendapati Soraya tersenyum menggoda ke arahnya. Di belakang Soraya ada seorang lagi pelayan lain yang mendekap keranjang belanjaan.
"Pagi, Tante. Dari belanja?" Juan mengarahkan tatapannya ke belanjaan yang masih didepak pelayan lain.
"Belanja sayur dekat-dekat sini. Sekalian olahraga."
Soraya terlihat segar dengan baju olahraga berwarna putih. Terlihat bercak kecokelatan di bagian paling bawah celana. Mungkin Soraya tak sengaja menginjak kubangan lumpur dan becek.
"Pagi-pagi ke sini. Apa lagi kangen berat?" Soraya bicara pada Sambara sembari meminta pelayan yang membawa belanjaan langsung ke belakang dan menyerahkan ke juru masak.
"Hehehe.... Lagi ribut Tante. Saskia menantang saya datang pagi-pagi."
"Oh, ya?" Soraya tampak benar-benar terkejut. Putrinya adalah seorang yang cukup sombong jika berhadapan dengan pria. Ia tak pernah meminta apalagi menantang seorang pria karena bagi Saskia, mereka tak sepadan.
"Dia memintamu datang jam enam pagi? Apa yang sebenarnya terjadi."
"Salah paham, Tante. Dan saya tadinya janji pagi nanti mau datang untuk meluruskan salah pahamnya. Tetapi Saskia malah suruh saya datang jam enam. Dan dianya tidur."
"Kamu menyesal?"
"Tidak tante. Bukan menyesal. Kesal. Karena Saskia kalau marah kayak api. Nyambar ke mana-mana, hehehe...."
Soraya ikut tertawa dengan Juan. Ia semakin suka dengan sosok Juan yang bicara apa adanya. Tak melebih-lebihkan demi agar terlihat baik.
"Langsung ke atas aja. Bangunkan anak itu. Sekali-sekali biar dia bangun pagi."
"Gak usah Tante. Kasihan. Mungkin dia kecapekan. Saya tunggu aja."
"Nunggu malah bosan."
"Gak pa-pa, Tante. Tante, mau saya bikinkan sarapan istimewa?" Juan mengerling.
***