***
Obrolan singkatnya bersama Heros tadi, rupanya membuat mood Clarissa sedikit lebih baik daripada sebelumnya.
Lelaki yang selalu dipercayakan oleh kakaknya Lucas untuk melatih dirinya itu, memang selalu berhasil membuatnya melupakan kekesalan yang dirasakan. Heros terkadang bersikap tengil ketika bersamanya saja.
Ya, Clarissa dan Heros memang cukup dekat. Karena biasanya selama ini yang melatih Clarissa menguasai ilmu beladiri dan menembak adalah Heros di kala Lucas sibuk dengan urusannya.
Tidak heran jika pria itu menaruh hati terhadap Clarissa, karena mereka memang sering menghabiskan waktu bersama.
Menit berlalu...
Setelah dari atas Rooftop tadi, Clarissa langsung turun ke lantai dasar. Ia menuju meja pramusaji di sana dan mengambil piring, lalu diisi dengan beberapa menu.
Tidak banyak yang diambil oleh Clarissa, hanya satu buah croissant dan sepotong omelet.
“Clarissa,” seru seorang pria menyapa perempuan tersebut.
Langsung menoleh, Clarissa menatap dengan raut terkejut pada sosok yang memanggil tadi. “Mario?” Clarissa bergumam. Detik berikutnya ia menarik kedua sudut bibir, hingga menghasilkan senyum yang manis di sana. “Hey, kamu disini rupanya,” sambung Clarissa seraya membawa langkah menghampiri pria tersebut.
Mengangguk pelan, pria yang memiliki nama Mario itu turut mengulas senyum di wajahnya yang tampan. “Ya, kebetulan semalam aku menginap di hotel ini,” jawab Mario.
Hendak membalas, namun Clarissa mengajak Mario menuju sebuah meja kosong di sana. Dan kini mereka berdua sudah duduk di tempat masing-masing.
“Aku pikir kamu bersama keluarga yang lain.” Clarissa mengedikkan bahu. “Rupanya kamu menginap di hotel ini juga,” tambahnya.
“Iya, aku sengaja menginap di hotel karena kebetulan ada pekerjaan yang harus aku selesaikan, makanya aku tidak bisa berkumpul dengan mereka di sana,” kata Mario menjelaskan.
Clarissa mengangguk pelan seraya menggigit potongan croissant pada ujung garpunya.
“Dan kamu tahu kalau aku dan Axel menginap di hotel ini?” tanya Clarissa.
“Ya, aku tahu, makanya tadi pagi-pagi sekali aku menghubungimu. Maaf jika ternyata aku mengganggu waktumu,” jawab Mario dengan senyum tipis di bibirnya.
Seketika Clarissa berhenti mengunyah dan fokus menatap Mario dengan kening berlipat tipis. Raut wajahnya menyiratkan kebingungan.
“Kamu menghubungiku? tadi pagi? Oh ya?” tanya Clarissa beruntun.
Mengangguk pelan. “Ya, tapi kau menolak panggilanku, makanya aku minta maaf, mungkin aku sudah mengganggumu,” jawab Mario.
‘Perasaan sedari aku bangun sampai sekarang, aku tidak pernah menolak panggilan dari siapapun,’ batin Clarissa.
Demi menuntaskan rasa penasaran, Clarissa meletakan kembali pisau dan garpu di tangan ke atas piring.
Kemudian, Clarissa meraih ponselnya yang tergeletak di samping piring; membawa benda pipih itu ke depan wajahnya.
Tanpa memperdulikan Mario yang saat ini menatap bingung kepadanya. Clarissa mulai mengutak-atik layar canggih miliknya itu.
Ia langsung memeriksa panggilan masuk, dan ternyata benar terdapat nama kontak Mario di sana. Panggilan tersebut ditolak. Dan ketika Clarissa memperhatikan waktu panggilan tersebut masuk, ternyata dirinya sedang di kamar mandi saat itu.
‘Oh, pasti Axel yang melakukannya. Siapa lagi kalau bukan dia.’ Clarissa membatin.
Setelah itu Clarissa beralih kepada Mario sembari mengembalikan ponselnya ke tempat semula. “Aku baru ingat. Ya, aku minta maaf. Sebenarnya kamu tidak mengganggu sama sekali. Hanya saja saat kamu menghubungiku, kebetulan saat itu aku sedang di kamar mandi. Makanya aku menolak panggilanmu,” ucap Clarissa menerangkan. Dia terpaksa membohongi Mario.
Bukan apa-apa, Clarissa hanya malas jika harus membahas Axel bersama Mario, karena Clarissa ingin menikmati sarapan paginya tanpa harus mengingat nama pria menyebalkan itu.
“Oh, pantas saja. Baiklah, tidak mengapa. Seharusnya aku yang minta maaf karena sudah lancang menghubungimu,” kata Mario.
“Tidak mengapa. Bukankah sebelumnya kamu juga sering menghubungiku?” Clarissa memandang Mario dengan senyum ramah.
“Ya, memang benar seperti itu. Tetapi, masalahnya sekarang keadaan sudah berbeda. Kau adalah perempuan bersuami dan tidak bisa sebebas dulu lagi,” kata Mario. Nadanya terdengar seperti menyiratkan kekecewaan.
Clarissa hanya tersenyum menanggapi ucapan Mario.
Sejenak, keheningan mengisi waktu di antara mereka. Clarissa hanya menghabiskan setengah dari croissant-nya, sedangkan omeletnya tak disentuh sedikitpun. Tiba-tiba saja Clarissa tak berselera untuk melanjutkan sarapan paginya.
“Jujur saja … aku terkejut mendengar keputusanmu semalam,” kata Mario kembali mengangkat topik di antara mereka.
Membawa pandangan ke arah Mario, Clarissa menatap lekat wajah pria yang merupakan kakak iparnya ini.
“Mengapa kau harus mengorbankan masa depanmu, Clarissa?” tanya Mario sembari menatap serius pada Clarissa.
Menghela nafas pelan. Sebenarnya Clarissa enggan menjawab. “Aku hanya reflek. Keadaan yang mendesak membuatku tak bisa menolak. Aku terpaksa menerima permintaan Axel,” jawab Clarissa dengan jujur. “Tapi, aku tidak ingin mengambil pusing atas keputusanku, dan aku menganggap jika semua ini memang sudah menjadi garis Takdirku.” Clarissa mengedikkan bahu. “Menyesal pun rasanya percuma bukan? Semuanya sudah terjadi,” lanjutnya.
“Apakah Axel menyakitimu,” tanya Mario lagi.
Menggeleng pelan. “Tidak. Dia tidak melakukan apapun padaku,” jawab Clarissa.
“Aku harap kau tidak berbohong dan berupaya menyembunyikan sikap buruk Axel terhadapmu di depan semua orang,” ucap Mario.
Terkekeh pelan. “Aku tidak akan menyembunyikan apapun. Selama itu masih bisa aku hendle sendiri. Axel bukan masalah besar bagiku. Aku bisa menanganinya,” kata Clarissa. “Mario, aku tahu kamu mencemaskanku sama seperti yang lain. Keluargaku contohnya, mereka juga sama sepertimu sangat mencemaskanku. Mereka berpikir Axel akan menyakitiku, tapi nyatanya tidak seperti yang kalian cemaskan. Kamu melihat sendiri bagaimana keadaanku pagi ini. Aku terlihat baik-baik saja bukan?”
“Aku berbeda dengan keluargamu, Cla. Mereka mencemaskanmu karena mereka menyayangimu, sementara aku? aku mencemaskanmu karena aku mencintaimu,” ungkap Mario secara gamblang. Bahkan, dia tidak peduli bahwa perempuan di depannya ini adalah adik iparnya sendiri.
Terdiam, Clarissa tak memberi respon apapun atas ungkapan Mario barusan. Clarissa tidak terkejut, karena ia sudah tahu bahwa Mario menyukainya sejak dulu.
“Baiklah, aku minta maaf jika ungkapanku barusan membuatmu tidak nyaman,” ucap Mario menyadari kesalahannya.
“Tidak mengapa, aku baik-baik saja,” balas Clarissa. Tidak ada senyum, wajahnya terlihat biasa saja.
Tanpa mereka sadari, obrolan mereka itu turut didengar oleh Axel. Karena ternyata pria tersebut duduk di sebuah meja tepat di belakang Clarissa.
Jarak mereka sangat dekat, dan oleh karena itu Axel bisa mendengar apa yang barusan dikatakan oleh Mario kepada istrinya itu.
Ungkapan Kakak angkatnya itu barusan membuat Axel mengepalkan kedua tangan dan juga rahang tegas yang mengetat kuat.
Berdiri dari duduknya, Axel bukannya pergi meninggalkan Clarissa dan Mario di sana, yang ada pria itu justru menghampiri istrinya tanpa rasa ragu.
“Kau sudah selesai sarapan?” tanyanya dengan suara dingin kepada Clarissa, membuat perempuan tersebut terperanjat kaget.
Mendongak dan menatap terkejut pada suaminya. Clarissa menatap bingung mengapa pria tersebut tiba-tiba berada di dekatnya. Begitupun dengan Mario, juga kaget karena tiba-tiba mendapatkan kehadiran adiknya di sana.
“Belum. Aku belum selesai sarapan,” kata Clarissa menjawab.
“Kalau begitu segera selesaikan sarapanmu. Aku akan menunggumu di sini, dan kita kembali ke kamar,” ucap Axel.
Masih mendongak sambil mengerutkan kening, Clarissa menatap bingung pada suaminya itu. Sementara Mario, hanya diam saja; menyandarkan punggung pada sandaran kursi dan melipat kedua tangan di dadaa. Mario terus memperhatikan lekat wajah adiknya itu.
“Buat apa kamu menungguku? Kalau kamu ingin kembali ke kamar, ya silahkan saja kau pergi. Aku bukan anak kecil yang harus di tunggu. Aku bisa jalan sendiri dan aku masih ingat nomor kamar kita,” kata Clarissa panjang lebar.
Clarissa menolak ajakan pria yang merupakan suaminya itu. Ia juga kesal karena Axel mengganggu kebersamaannya dengan Mario.
“Tapi masalahnya, aku ingin kembali ke kamar bersama istriku!” pungkas Axel.
“Dan istrimu masih mau tetap disini! Lagi pula sarapanku belum habis!” kata Clarissa membalas. Suaranya tak kalah dingin dari sang suami.
Jangan tanyakan lagi bagaimana dongkolnya hati Axel saat ini. Akibat dari rasa kesalnya itu terhadap Clarissa, pun Axel menarik piring di depan perempuan tersebut. Meraih garpu, Axel menusuk kasar potongan besar croissant diatas piring dan di masukan ke dalam mulutnya.
Clarissa mengangkat sebelah alis melihat tingkah aneh suaminya itu. Sementara Mario membulatkan kedua mata kepada Axel.
Tidak sampai disana, Axel lanjut memasukkan potongan omelet yang masih utuh ke dalam mulutnya setelah makanan pertama habis ia telan.
Merasa tenggorokannya seret, Axel menyambar gelas air mineral bekas Clarissa dan membawa menuju bibir. Axel meneguk hingga tak tersisa.
“Piringmu sudah kosong. Sekarang tidak ada alasan lagi kau tetap disini. Ayo, kita kembali ke kamar.” Tanpa menunggu persetujuan istrinya, Axel langsung meraih sebelah tangan Clarissa dan digenggam erat.
Clarissa tersentak. Mau tidak mau ia pun berdiri dari duduknya. Melihat Axel meraih ponsel miliknya diatas meja. Setelahnya, Axel hendak membawanya pergi.
“Tunggu, Axel!” seru Mario sambil bangkit dari duduknya, lalu meraih tangan Clarissa yang terbebas.
Axel melihatnya. Membuat rahang tegas itu semakin mengetat kuat. “Lepaskan tangannya!” kata Axel menghardik kakak angkatnya itu.
“Kau tidak berhak memaksa Clarissa seperti ini,” ujar Mario.
Axel terkekeh. “Jangan lupakan kalau wanita ini adalah istriku! Aku berhak atas dirinya,” sarkas Axel. “Jauhkan tanganmu!” titahnya sekali lagi kepada Mario.
“Dan kau juga harus ingat kalau kau hanyalah suami yang tidak diinginkan olehnya,” sahut Mario tetap menggenggam tangan kiri Clarissa. “Dia mengabulkan keinginanmu, karena dia tidak mau mempermalukan keluarganya di depan khalayak,” tambah Mario.
Clarissa diam saja; menatap jengah pada kedua pria tampan itu.
“Sebaiknya tutup mulutmu dan lepaskan tangan istriku! Kau terlalu banyak ikut campur! Kau bukan siapa-siapa disini!” desis Axel mengeram dan menatap tajam kepada Mario.
“Aku ini adalah kakakmu,” ujar Mario.
“Kakak angkat! Dan aku tidak pernah menganggapmu sebagai seorang kakak!” sahut Axel.
Clarissa tetap diam. Membiarkan kedua tangannya digenggam masing-masing oleh Axel dan Mario.
Sementara ketiganya sontak menjadi pusat perhatian pengunjung disana.
“Ku peringatan sekali lagi, lepaskan tangan Clarissa, Rio!” hardik Axel yang kesekian kalinya.
“Biarkan Clarissa memilih apakah dia mau ikut denganmu, atau dia akan tetap tinggal di sini bersamaku,” ujar Mario.
Sepertinya kesabaran Axel mulai habis. “Kau memang tidak tahu diri sejak dulu!” geram Axel.
Tanpa melepas genggamannya di tangan Clarissa, Axel melangkah maju ke arah Mario dan langsung meninjau rahang tegas pria yang merupakan kakak angkatnya itu.
Tubuh Mario terhuyung ke belakang. Sedangkan para pengunjung di sana sontak memekik karena ulah Axel tadi terhadap Mario.
Axel kembali melayangkan tinjunya ke arah Mario, namun kali ini tidak sampai mengenai wajah pria tersebut, karena Mario berhasil menghindar.
Mendesah kasar, Clarissa memijit pelipis. “Dasar pria-pria tidak tahu malu!” gumamnya, kemudian memutar tubuhnya dan meninggalkan mereka di sana.
Bahkan, Clarissa tak berniat sedikitpun untuk melerai keduanya. Dia terus membawa langkah menuju lift yang akan membawanya kembali ke lantai tempat kamarnya dengan Axel.
Sedangkan Axel dan Mario masih melanjutkan aksi memalukan mereka di sana. Sampai keduanya dilerai oleh penjaga di tempat tersebut.
…
Beberapa saat setelahnya…
Saat ini Clarissa sudah di dalam kamar. Hampir sepuluh menit ia duduk termenung di sofa. Sesaat kemudian Clarissa menenggak tubuhnya, lalu berdiri dari duduknya.
Membawa langkah menuju nakas. Clarissa meraih ponselnya disana dan mencabut charger-nya. Hendak memainkan benda pipih tersebut, namun tiba-tiba pintu kamar dibuka lebar dan kasar oleh Axel disana. Membuat Clarissa langsung menoleh padanya.
Tetap berdiri di tempatnya, Clarissa menyimpan kembali ponselnya ke tempat semula.
Sementara Axel membawa langkah lebar menuju Clarissa setelah tadi ia menutup pintu dan menguncinya.
“Jadi seperti ini kelakuan salah satu keturunan seorang Blaxton?! Rendah dan murahan!” desis Axel di depan wajah Clarissa.
Clarissa terdiam, membalas tatapan dingin Axel dengan ekspresi biasa saja.
“Apa kau tidak malu berduaan dengan pria lain di depan umur seperti tadi, huh?! JAWAB!” bentak Axel dengan suara tinggi.
“Mengapa aku harus malu?” Clarissa bertanya dengan santai. Membuat rahang tegas Axel semakin mengeras sempurna.
“Aku hanya menikmati sarapan bersama seorang pria. Dan lagi pula pria tersebut adalah bagian dari Adisson. Tentu saja orang-orang akan menganggap kebersamaan kami adalah hal yang biasa saja.” Clarissa menarik pandangan dari Axel, kemudian melihat ke sembarang arah sembari membuang nafas kasar. Detik berikutnya, ia beralih pada Axel. “Semua orang tahu alasannya mengapa kita bisa menjadi pasangan suami istri, Axel. Jadi, ketika mereka melihat salah satu diantara kita bersama dengan orang lain, aku pikir mereka akan memahaminya,” imbuh Clarissa.
“Apa itu artinya kau menyukai Mario, huh?!” Suara Axel terdengar sinis saat mempertanyakan hal tersebut kepada Clarissa.
“Bagaimana kalau aku menyukaimu saja? Suamiku sendiri,” jawab Clarissa.
Deg!
Axel terdiam.
Detik berikutnya, Clarissa berdecak pelan. “Sayangnya, kamu tidak layak di sukai, apalagi di cintai. Mulutmu seperti sampah. Betapa malunya aku karena memiliki seorang suami seperti dirimu!” hina Clarissa.
“Kau tidak akan malu, justru kau akan bangga telah menjadi istriku, Clarissa,” ujar Axel membalas.
“Apa yang bisa aku banggakan dari pria kurang ajar seperti dirimu? Pecundang!” desis Clarissa.
“Kau bilang aku apa? Coba ulangi sekali lagi,” pinta Axel sembari menatap tajam pada Clarissa.
“Pecunn— hhmmmpptt…”
Clarissa tak dapat melanjutkan kalimatnya lantara Axel langsung membungkam mulutnya.
Pria tersebut melumat bibir Clarissa tanpa ampun. Dan kali ini Clarissa tidak bisa melawan lantara Axel menekan kedua pipinya sangat kuat; membuat Clarissa sulit menggigit bibir pria tersebut.
Hingga Clarissa pun mengalah dan membiarkan Axel melumat bibirnya.
Semakin lama, lumatan Axel terasa semakin kasar. Membuat Clarissa meringis. Ditambah lagi, Axel mendorong tubuh Clarissa ke atas ranjang.
Membiarkan perempuan tersebut jatuh terlentang disana. Axel langsung mengungkung, sedangkan bibirnya masih dengan kegiatannya; melumat bibir ranum Clarissa.
Merasakan sebelah tangan Axel mulai menggerayangi lekuk-lekuk tubuhnya, Clarissa pun berusaha membuat perlawanan. Posisinya sedikit sulit, sebab kedua tangannya ditahan oleh Axel di atas kepala.
Namun, Clarissa tak habis akal. Tanpa rasa ragu dan berpikir panjang, Clarissa menargetkan keperkasaan Axel yang saat ini tengah ereksi.
Bug!
Menghantam bagian tersebut menggunakan lututnya yang ditekuk. Clarissa merasa puas ketika Axel menghentikan lumatan di bibirnya dan pria itu mengerang kesakitan.
"Oug fuckkk!" maki Axel seraya menarik tubuhnya dari atas tubuh Clarissa.
Bangkit dari pembaringan, Clarissa membuka laci nakas di samping ranjang. Meraih sebuah senjata api di dalam sana, dan dengan secepat kilat, ia menarik pelatuk dan mengacungkan moncong senjata tersebut ke arah Axel.
Dooorrr!
Suara tembakan seketika menggema memenuhi kamar tersebut. Clarissa menargetkan lengan kiri Axel, namun tembakannya meleset lantaran pria itu berhasil menghindar.
Dooorrrrr!
Tembakan kedua kembali dilayangkan oleh Clarissa dan lagi-lagi Axel selamat dari maut. Axel berhasil menghindar untuk yang kedua kalinya.
Tanpa menghiraukan rasa ngilu pada keperkasaannya, Axel membawa langkah lebar dan merebut senjata tersebut dari tangan Clarissa.
Senjata api itu pun jatuh ke lantai. Clarissa berusaha mengambil, namun ia kalah cepat karena Axel lebih dulu menendang menggunakan kaki kanannya.
“Dasar keparatt! Kau berniat membunuhku sialan! Kau benar-benar wanita sialan, Clarissa!” geram Axel sembari mencekal tangan kiri Clarissa.
“Aku sudah pernah memperingatimu, jangan sekali-kali membawa nama keluarga ku, atau Aku tidak akan segan-segan menghilangkan nyawamu, Axel!"
Bug!
Bersamaan dengan itu, Clarissa memanfaatkan sebelah tangannya yang terbebas dan meninju kuat rahang Axel. Sialnya pria tersebut terlambat menghindar, sehingga membuat tubuhnya terhuyung.
Nakas di samping ranjang dengan ukuran sedang, Clarissa dengan segera menyambarnya, lalu mengangkat tinggi, dan menghantam tubuh Axel. Lagi-lagi Axel gagal menghindar.
Brugh!
"Aarghhh!"
Mengerang kesakitan, Axel memegang punggungnya. Sungguh, rasanya benar-benar sakit. Bayangkan saja sebuah meja kecil mendarat di atas punggungnya.
“Coba ulangi sekali lagi kau membawa nama keluargaku, dan lihatlah bagaimana aku akan menembak mulutmu!” desis Clarissa sambil menunjuk wajah Axel.
“Kau benar-benar gila! Dasar perempuan sakit jiwa!” geram Axel.
Posisi Axel sulit. Ia tidak dapat membalas perlakuan Clarissa tadi, sebab perempuan tersebut adalah istrinya.
“Setidaknya aku jauh lebih baik daripada kamu! Bisamu hanya menyakiti perasaan wanita saja! Dasar tidak tahu malu!" desis Clarissa membalas. Menatap muak kepada pria yang merupakan suaminya itu.
***