BAB 3 | Bukan Bentuk Sebuah Perhatian

1610 Words
*** Memegang sisi atas kemeja yang dipakai, Axel menariknya dengan sekali hentak. Sehingga, kancing-kancing kemeja tersebut berserakan di lantai. Axel mana peduli dengan itu semua. Sebab, emosi telah memenuhi jiwanya saat ini. Melempar kemeja tersebut ke sembarang arah, dan membawa langkah menuju wastafel. Sedangkan di tubuhnya masih tersisa celana panjang yang belum di lepas. Berdiri tegak di sana, kemudian merendahkan tubuhnya dan bertumpu pada sisi wastafel dengan kedua telapak tangannya. Axel menatap pada cermin di depannya; melihat luka sobek di sisi pelipisnya dan juga sudut bibirnya yang berdarah. 'Sialan! Bisa-bisanya dia memperlakukanku seperti ini!' gumam Axel dalam hati. Menggeram bersamaan dengan kedua rahang tegasnya mengetat kuat. 'Sepertinya ada yang salah. Yeah, aku salah karena terlalu meremehkannya. Dia seorang Blaxton dan seharusnya aku lebih berhati-hati,” lanjutnya dalam hati. Kembali menegakkan tubuhnya. Axel mendesah kasar, lalu memutar tubuhnya dan membawa langkah menuju bilik shower. Setelah melepas celana dan boxernya, Axel berdiri di bawah shower. Menekan sebuah tombol di sana, sehingga air dingin itu langsung mengguyur tubuh atletisnya. Sesekali, Axel meringis oleh rasa perih akibat luka di pelipisnya. Luka tersebut yang disebabkan oleh vas bunga tadi cukup lebar. Oleh sebab itu Axel terus meringis karenanya. °°° Mansion Blaxton… Terlihat, masih ada beberapa keluarga yang terjaga, dan mereka berada di ruang keluarga. Mereka bercengkrama di sana, termasuk dengan Morgan bersama besannya Charles dan Janeeta. Sementara Celine, tadi wanita itu berpamitan sebenar kepada mereka menuju kamarnya. Katanya ia hendak mengambil sesuatu disana. Beberapa saat berlalu, Celine tak kunjung kembali bergabung bersama mereka. Sementara kehadirannya terus dinanti-nanti oleh Morgan. Membuat pria tersebut tak ayal mencemaskan istrinya. “Aku permisi sebentar, nanti aku kembali lagi.” Morgan berucap sembari menegakkan tubuh. Menyapu pandangan kepada mereka semua, kemudian berdiri dari duduknya. Mereka mengangguk pelan. Lekas, Morgan membawa langkah meninggalkan ruang keluarga menuju kamarnya. Terpaksa menyusul istrinya, sebab semakin lama ia semakin gelisah lantara wanita yang merupakan istrinya itu tak kunjung kembali. Kini, Morgan sampai di depan kamarnya dan Celine. Menggenggam tuas pintu dan langsung menekan pelan, lalu mendorongnya hingga daun pintu tersebut terbuka lebar. Memasuki kamarnya, Morgan lanjut membawa langkah setelah tadi menutup pintu. Kehadirannya rupanya tak juga disadari oleh Celine. Morgan melihat wanita tersebut berdiri didepan jendela sambil memeluk tubuhnya sendiri. “Kau melamun disini rupanya.” Morgan berdiri di belakang Celine dan melingkarkan kedua lengan di tubuh istrinya, kemudian mendekap erat. Celine terperanjat kaget. Kemudian, detik berikutnya ia memaksakan senyum tipis di bibirnya sembari menikmati kecupan hangat berulang kali dilabuhkan oleh Morgan di pucuk kepalanya. “Maaf, aku jadi lupa kembali bergabung dengan mereka,” kata Celine. Suaranya terdengar pelan, namun masih bisa didengar oleh Morgan. Menyudahi dekapan hangatnya di tubuh Celine, Morgan beralih memegang kedua bahu wanita itu dan memutar posisi tubuh Celine, hingga kini mereka berdiri saling berhadapan. Celine menengadahkan wajah; memandangi suaminya yang jauh lebih tinggi daripada dirinya. “Apa yang sedang mengusik pikiranmu?” tanya Morgan seraya membingkai wajah Celine menggunakan kedua tangan lebarnya. Padahal, tanpa Celine menjawab pun, ia pasti tahu jawabannya. Menggeleng pelan. “Tidak ada.” Celine tersenyum, “Aku tidak sedang memikirkan apapun, sayang,” lanjutnya. Hening … Morgan tidak langsung menjawab. Terus memandang lekat raut wajah cemas istrinya itu hingga beberapa saat. Kemudian, Morgan mendesah pelan. “Maafkan aku. Kali ini aku tidak bisa berbuat banyak. Aku gagal menghentikan keputusan putriku sendiri.” Morgan merasa bersalah, ia juga merasa tidak berguna sebagai seorang Ayah. “Jujur saja, Morgan … ingin rasanya aku menyalahkanmu atas semua yang terjadi saat ini. Mulai dari … Gabriel nekat membawa Caroline, hingga Clarissa juga nekat mengambil keputusan. Tapi … Aku sadar bahwa percuma saja. Semuanya sudah terjadi,” ungkap Celine sembari mengulas senyum getir di wajahnya yang masih terlihat cantik. “Apa kau membenciku?” Morgan memandang lekat wajah Celine sembari menunggu jawaban wanita tersebut. Menggeleng. “Tidak. Mana mungkin aku sanggup melakukannya,” jawab Celine, “Mungkin tepatnya aku hanya kecewa. Tapi … aku akan berusaha menerima semuanya,” imbuhnya. Morgan terdiam. Kali ini ia bungkam. Sebab, apa yang dirasakan oleh istrinya Kali ini, itu sangatlah wajar. Morgan akui bahwa dirinya lah yang egois. Andai ia tidak mengekang Gabriel dan berusaha menjauhkan lelaki itu dari putrinya dengan cara membuat perjodohan dengan keluarga Adisson, mungkin saat ini Clarissa masih bersama dengan mereka di Mansion ini. “Sekali lagi, aku minta maaf. Dan … aku berjanji akan berupaya semampuku agar aku bisa memastikan bahwa putri kita baik-baik saja selama bersama dengan Axel,” ucap Morgan. Mengangguk pelan. “Iya, aku berharap kamu tidak melewatkan suatu apapun tentang Clarissa, sayang. Sungguh, aku tidak bisa tenang. Pikiranku terus bersamanya. Aku memikirkan bagaimana putriku malam ini, dan … Apa yang terjadi padanya sekarang.” Celine membiarkan cairan bening yang berasal dari kedua netranya mengalir pelan di pipi. Mengangguk pelan, Morgan dengan segera membawa tangan dan menyeka lembut cairan bening tersebut di pipi Celine. Kemudian, Morgan membawa tubuh Celine ke dalam pelukannya. “Tenanglah, aku yakin dia baik-baik saja,” gumamnya pelan. °°°° Sementara di tempat lain. Tepatnya di sebuah kamar hotel yang posisinya tepat di samping kamar hotel yang ditempati oleh Axel dan Clarissa, seorang pria berusia 23 tahun duduk di atas sebuah sofa yang tersedia di dalam kamar tersebut. Sedangkan di tangan kanannya terdapat sebuah senjata api yang penuh dengan peluru. Lelaki tersebut terus mengusap punggung senjatanya berulang kali. Kedua rahang tegasnya terlihat mengetat kuat karena terus mendengar suara isak tangis seorang gadis lewat sebuah earphone yang menempel di telinga kanannya. Isak tangis yang awalnya pelan, bahkan nyaris tak terdengar, kini semakin lama semakin terdengar jelas di pendengarannya. Apalagi ketika gadis itu menyebut namanya dengan suara pilu; membuat hatinya seakan teriris. Tak tahan mendengar lebih lama, kemudian ia menonaktifkan earphone tersebut dan menjauhkan dari telinganya. Mendesah kasar. “Tidak ada satupun kehidupan yang berjalan mulus, Cla. Ini memang sudah menjadi Takdirmu. Tapi, kamu tenang saja, karena aku tidak akan pernah melepaskanmu begitu saja. Aku tidak akan membiarkan Axel menyentuhmu dan menyakitimu.” Lucas bergumam dan ditujukan kepada adik perempuannya yang baru saja melepas masa lajangnya. Ya, lelaki ini adalah Lucas. Sejak tadi Lucas mendengar Clarissa menangis. Bukan hanya itu saja, tetapi dia juga mendengar pertikaian yang terjadi antara adiknya dan Axel melalui earphone yang tadi menempel di telinganya. Tidak sulit bagi Lucas, sebab sebuah kalung pemberiannya kepada sang adik rupanya tetap dipakai oleh gadis itu. Sedangkan di dalam bandul kalung tersebut terdapat sebuah alat khusus yang memudahkan Lucas mengetahui apapun yang terjadi pada adiknya. Dan tujuan Lucas di dalam kamar hotel ini bukan untuk bermalam. Tetapi, ia sengaja dan bahkan dia sudah siap dengan senjata api yang saat ini masih dalam genggamannya. Lucas menunggu sejak tadi. Ia pikir, Axel akan menyiksa fisik adiknya. Lucas bersumpah, andai saja Axel sampai berani melakukan hal tersebut terhadap adiknya, maka dia tidak akan ragu untuk menerobos masuk ke dalam kamar hotel mereka, dan akan menembak mati pria yang merupakan adik iparnya itu. Namun, setelah Lucas mendengar perlawanan adiknya barusan, ia pun mengurungkan niat dan memilih untuk membiarkan. Lucas tidak ingin gegabah dalam mengambil keputusan, karena dia pikir yang terjadi saat ini masih bisa diterima oleh akal sehatnya. °°°°°° Mendengar suara pintu toilet yang dibuka, tak membuat Clarissa menoleh sedikitpun. Perempuan tersebut tetap duduk di posisinya bersama dengan sebuah kotak obat di sampingnya di atas ranjang. Dan setelah beberapa menit berlalu, Clarissa mendengar suara derap langkah kaki menuju ke arahnya. Namun, Clarissa tetap tidak ingin menoleh. Axel dengan penampilan bertelanjang dadaa dan hanya memakai celana tidur panjang; melihat ke arah Clarissa di atas ranjang. Mendekat hendak meraih satu buah bantal, namun tiba-tiba gerakannya terhenti. “Kemarilah, biar aku obati lukamu.” Clarissa berucap tanpa melihat ke arah Axel. Axel mengernyitkan dahi sembari menegakkan tubuh dan berkacak pinggang di sana. Ia terus menatap ke arah Clarissa, membuat perempuan itu seketika menoleh ke arahnya. “Setidaknya besok saat kita pulang, lukamu sudah sedikit membaik. Dan apa yang aku tawarkan ini bukanlah bentuk sebuah perhatian, tetapi aku hanya berupaya menghindari pertanyaan-pertanyaan dari keluargaku,” ujar Clarissa menjelaskan. Clarissa tidak ingin Axel salah mengertikan tawaran bantuannya barusan. Ucapan Clarissa barusan seketika membuat Axel mengeraskan rahang. Kalimat yang dilontarkan Clarissa tadi seolah-olah sangat merendahkan harga dirinya. Padahal, seharusnya dia yang membuat Clarissa merasakan seperti apa yang ia rasakan saat ini, bukan malah sebaliknya. “Kemarilah.” Clarissa menepuk kasur di sampingnya. “Atau, kalau kamu bisa melakukannya sendiri, maka itu jauh lebih baik supaya aku tidak perlu repot-repot,” imbuhnya. “Kau terlalu berisik!” desis Axel sembari mendekat ke arah ranjang, lalu naik dan mengambil posisi di samping Clarissa. “Berbaringlah, jangan duduk,” perintah Clarissa dengan suara dingin. “Aku harus berbaring di mana?!” tanya Axel juga dengan suara tak kalah dingin dari istrinya. “Terserah kau,” jawab Clarissa. Detik berikutnya dia tersentak kaget karena tidak menyangka Axel akan merebahkan kepala di atas pahanya. Tidak ingin protes, pun Clarissa meraih kotak di sebelahnya dan mengambil beberapa obat dan peralatan lainnya yang dia butuhkan. Clarissa mengobati luka di pelipis Axel dengan hati-hati. Seperti apa yang tadi Clarissa katakan, Dia hanya tidak ingin mendapatkan pertanyaan aneh-aneh dari keluarganya besok ketika dia dan Axel kembali ke Mansion. Sementara Axel berbaring dengan posisi terlentang dan wajahnya menengadahkan di atas. Posisinya itu terlihat sangat dekat dengan gerak Clarissa. Sehingga, membuat Axel bebas memandangi wajah cantik Clarissa. Bukan Clarissa tidak menyadari tatapan lekat Axel. Hanya saja ia tidak ingin menanggapi ataupun sekedar menegur pria tersebut. Terserah Axel mau melakukan apa, Clarissa tak peduli. ‘Percuma cantik, jika tingkahnya saja macam ibliss!’ Monolog Axel sembari memberengut dalam hati. Axel meringis saat merasakan Clarissa menekan lukanya di pelipisnya. Ia menegur perempuan itu dan meminta agar pelan-pelan, namun Clarissa hanya diam saja, sehingga tak ayal membuatnya semakin geram. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD