Chapter 25

1217 Words
“Halo, ada apa?!” Pertanyaan sarkas itu keluar dari mulut seorang lelaki yang sedang menepi di pinggir jalan. “Lama sekali, And. Kau di mana ha? Jangan bilang kau tidak mau datang?” “Ck, Heh cecenguk aku sedang di jalan sekarang. Kau ini ribet sekali ya. Sudah hampir sampai sudahlah!” “And-And, tunggu dulu. Kebabnya jangan lupa!” Klik! Panggilan terputus. Alan yang mengakhiri lebih dulu. “Ck, k*****t Alaska! Masih sempat-sempatnya dia menanyakan kebab? Tidak tahu apa ya aku sedang berjuang melawan kemageran dan keinginan untuk membumihanguskannya.” Cerocos Andrew. Kulit wajahnya yang putih terlihat merah padam. Selain kesal, udara malam juga membuatnya agak merinding, dingin. Meski demikian Andrew tetap membelikan apa yang Alan pesan. Diliriknya kantung kresek putih yang menggantung di salah satu cantolan motornya. Ya, dua bungkus kebab seperti yang Alan pinta. “Kusuruh bayar tiga kali lipat saja nanti dia. Lalu, menraktirku selama seminggu di kampus. Enak saja memerintah sesuka hati, memang aku babunya?!” Dan sepanjang perjalanan menuju kost-an Alan, tak henti-hentinya Andrew menggerutu atau sesekali bergumam random. Dua sahabat yang sangat satu frekuensi. *** “Future, dayamu hampir habis!” Suara Alan memekik merdu. Di sebelahnya, robot wanita itu masih fokus dengan kegiatannya membaca signal demi menemukan server yang ia cari. Tidak menjawab, Future masih terlihat sangat fokus dengan kegiatannya. Sampai-sampai Alanlah yang merasa deg-degan. “Ck, ini kadal air satu kenapa belum datang juga sih,” gerutunya. “Kabel DFX-990, ini adalah kode nomor rakitan perusahaan di Belanda. Gaya rancanganya mirip dengan ...” “Dengan siapa Future?” sanggah Alan cepat. Oh astaga, jantung pemuda 22 tahun itu berdetak sangat cepat. Apakah setelah ini Future akan pergi dari rumahnya dan membiarkannya hidup seperti dulu lagi? Betapa indahnya hal tersebut. Karena jujur, meskipun Alan adalah pecinta pecinta astronomi dan benda-benda luar angkasa lainnya, tapi kali ini konteksnya sudah jauh sekali. Bukannya ia yang pergi ke luar angkasa bersama NASA, melayang-layang di udara dan menyaksikan langsung bagaimana suasana di sana. Melihat segala meteor-meteor yang berkemungkinan akan jatuh ke bumi. Lalu meneliti bagaimana cara mereka terjatuh dan bisa sampai ke bumi yang sangat jauh tersebut. Ya, Alan mengagumi struktur cerita yang seperti itu, seolah ia adalah peneliti. Pergi ke planet lain dengan para ilmuwan terkenal. Wow wow! Namun, impian hanyalah sebuah impian. Bisa menjadi khayalan jika tidak diusahakan dengan sungguh-sungguh. “Tidak tahu, aku rasa sebelumnya kode ini sangat familiar Alan. Tapi, aku lupa.” Alan menghempaskan napas kesal. Ia bertanya dengan emosi, “Kenapa bisa lupa? Kau ini kan robot! Bagaimana mungkin sebuah robot bisa lupa. Semua data kalian tersimpan di dalam memory internal dan chip, jadi sangat mustahil jika kau bisa lupa begitu saja.” Percaya atau tidak tapi, saat berkata demikian Alan suarakan vokalnya dengan keras. Sekuat mungkin ia kerahkan seluruh emosinya sembari berbicara. Ntahlah, tidak tahu pasti mengapa. Hanya saja pemuda itu merasa agak kecewa? “Sensorku memang bekerja untuk mengenali dan membaca semua data secara utuh. Kami diprogram untuk menjadi makhluk paling jenius karena di masa depan kami dipersiapkan untuk menghadapi manusia-manusia yang memiliki kecerdasan sempurna.” “Lalu, hanya dengan begini saja kau lupa? Bagaimana kalian bisa disebut sebagai makhluk jenius di masa mendatang!” Alan masih berucap tajam. Nadanya pun tetap meninggi. “Seseorang mereset keseluruhan dataku, Alan. Oleh karena itu aku hanya dapat berasumsi jika kode tersebut mungkin saja ada di bumi ini. Dan sepertinya memang betulan ada kemiripn dengan salah satu kode perusahaan di Belanda.” “Ck!” Alan meraup wajahnya secara kasar. “Apa robot sepertimu hanya bertugas menyampaikan opini? Sistem kerjamu tidak lebih dari sekedar berasumsi. Begitu?” “Bukankah pendapat juga salah satu pokok pembahasan penting dalam suatu masalah? Melakukan diskusi juga terlibat pendapat di dalamnya.” “Tapi kali ini kita mencari kebenaran dengan cara penelitian intel Future. The fact, bukan sekedar berasumsi belaka!” “Alan, apa kau tidak percaya padaku?” Future bertanya. Pemuda itu terperangah di posisinya, Alan bahkan sampai berdiri dari duduknya. “Oh astaga! Bagaimana mungkin aku bisa berekspetasi terlalu tinggi terhadapamu? Ya Tuhan, sepertinya kau memang bukan the future sungguhan. Kau ini robot buatan salah satu profesor jenius yang lain kan? Siapa? Katakan padaku siapa dia?” “Aku ini the future sungguhan Alan, aku datang dari masa depan. Aku adalah robot multifungsi yang bisa dan tahu segalanya, dan kami memang diciptakan oleh seorang manusia yang juga datang dari masa depan. Tapi, aku tidak tahu siapa orang itu,” sahut Future panjang. “Kalau masalah seperti ini saja kau tidak bisa menanganinya, bagaimana bisa kau menyebut dirimu adalah robot jenius yang tahu segalanya. Buktinya masalah seperti ini saja kau tidak tahu.” “Dataku telah direset seseorang Alan! Tidak ada yang bisa meresetku kecuali penciptaku sendirilah. Aku ini the future yang jenius!” Keduanya saling sahut-menyahut satu sama lain. Baik Future maupun Alan, mereka sama-sama mengeluarkan suara mereka dengan tinggi. Jika itu Alan, maka bisa dimaklumi. Alan adalah manusia sungguhan. Lalu Future? “Kau berteriak barusan?” tanya Alan sembari terperangah aneh. Kedua obsidiannya menatap Future dengan seksama, tak berkedip sedikitpun. Seolah jika ia mengerjap, Future akan hilang dari hadapannya. “Iya, aku berteriak. Aku adalah the future sungguhan Alan.” Masih dengan tatapan tajamnya, Alan menggeleng cepat. “Bukan-bukan, bukan itu. Terserah kau sajalah mau the future sungguhan atau bukan. Tapi, kau bilang apa tadi?” Future mengerjap beberapa sekon. Bunyi klik dua kali dengan pancaran merah yang melintas di matanya terlihat jelas di penglihatan Alan. “Banyak yang kubicarakan. Kau ingin mendengar yang mana?” tanya Future polos. “Ck, sudahlah.” Alan mendengkus sekali lagi. Ia meraup wajahnya yang lelah. “Kau ini memang-” Suara ketukan pintu terdengar. “ALAN SEMPRUL, BUKA PINTUNYA! AKU DI DEPAN!” Teriakan nyaring tersebut berasal dari depan pintu utama. Memangkas perkataan Alan yang belum sempat ia selesaikan. “Itu suara Andrew, Alan.” “Iya aku tahu,” sahut Alan lemah. Sarat akan letih dan lesu. Sebelas dua belas dengan pasrah dan kesal juga jengkel yang membuat emosinya menjadi tidak stabil. “Kau duduklah, dayamu bisa habis total jika kau melakukan banyak pekerjaan. Biar aku yang buka pintu,” ucap Alan sebelum melangkahkan kakinya menuju sumber suara ketukan di depan sana. “ALAN!!!” “Ck, dasar kadal mirip monyet! Tidak sabaran sekali,” hardik Alan. Brak! “Masuk monyet lampung, tutup mulutmu dan jangan teriak-teriak di depan rumah orang tengah malam begini!” cerocos Alan sinis ketika membuka pintu dan menampilkan Andrew di hadapannya. Andrew ikut-ikutan berdecak malas, “Memangnya siapa yang meneleponku untuk datang ke rumahnya sekarang juga? Malam-malam begini, minta dibelikan kebab lagi!” sarkas Andrew tak mau kalah. “Ya memang kau harus ke sini. Sudahlah jangan diperpanjang. Aku sedang lelah lahir dan batin, mana kebabku?” Burung elang nyangkut di duri Ini orang tidak tahu diri! Batin nyinyir Andrew heboh berpantun dengan maksud mengejek. “Kutil kerbo!” “Sudah cepat masuk, And. Atau kukunci kau di luar.” Sepertinya mood sahabatnya itu memang kurang baik. Dan Alan juga akan berubah menjadi seseorang yang menyebalkan kalau sedang badmood. Ya, walau biasanya pun sudah menyebalkan juga. Tapi, kadar menyebalkannya seorang Alan bisa bertambah-tambah beberapa kali lipat. Oleh sebab itu, Andrew mengambil amannya saja. Walau ingin sekali rasanya mencincang daging Alan hingga menjadi kornet. Uh ... “And!” “Ck, iya-iya sabar!” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD