bc

Sampai Akhir

book_age18+
1.0K
FOLLOW
4.1K
READ
love-triangle
brave
confident
drama
twisted
sweet
affair
wife
husband
like
intro-logo
Blurb

Ivi dan Ibam adalah pasangan yang bahagia. Keduanya merasa semuanya sempurna hingga suatu ketika, Ivi dikatakan memiliki kelainan hormon yang membuatnya sulit hamil. Vonis dokter mulai membebaninya, terlebih ia dan Ibam sama- sama terlahir sebagai anak tunggal.

Ivi yang cantik, pintar dan sukses dikarir mulai gelisah mendengar omongan orang karena tak juga hamil di pernikahannya yang sudah menginjak lima tahun lebih. Dan setelah mengikuti program hamil, keduanya tak kunjung berhasil.

Ibam tak pernah membebani Ivi masalah anak yang belum juga hadir di antara keduanya. Pria itu bahkan berkali- kali bilang padanya bahwa Ivi tetap wanita sempurna meski sampai tua tak bisa memberinya keturunan. Pria itu selalu bilang bahwa menghabiskan masa tua hanya berdua bukan sesuatu yang menakutkan

Ivi selalu percaya pada suaminya. Namun kepercayaannya perlahan runtuh saat ia mulai mencurigai suaminya berselingkuh dengan wanita lain.

chap-preview
Free preview
CHAPTER SATU
            Matahari masuk ke sela- sela tirai kamar itu. Dua orang yang berpelukan di atas ranjang tampak tak terganggu. Keduanya masih bergelut dengan mimpi masing- masing hingga akhirnya suara alamar dari salah satu ponsel yang ada di atas nakas berdering.             “Berapa kali sih aku bilang, kalau weekend nggak usah pasang alarm.” si pria mengeluh sambil mengambil salah satu benda pipih di dekatnya dan mematikan alarm. Si pria kembali melanjutkan tidurnya sementara si wanita mulai membuka matanya perlahan. Wanita itu mencoba melepaskan pelukan pria di sebelahnya yang semakin mengerat.             “Diem, ih.” bisik pria itu tepat di telingan si wanita. “masih jam enam juga.” kata si pria.             “Lepasin, Bam. Aku mau jogging.” kata Ivi, tangannya mencoba melepaskan pelukan Ibam yang tak mau kalah.             “Joggingnya nanti sore saja.” kata Ibam, masih dengan mata terpejam.             “Ish.” Ivi mendesis lalu mencubit pinggang Ibam. Pria itu mengaduh lalu melepas pelukannya.             Ivi bangun dari tidurnya dan pergi menuju kamar mandi. Setelah selesai mencuci muka dan sikat gigi, wanita itu keluar lalu mengganti gaun tidur tipisnya dengan kaos dan celana training, ia juga membawa handuk kecil yang ia sampirkan di lehernya.             Sebelum keluar dari kamar, ia menatap suaminya yang menggeletak di kasur.             “Bam, aku jogging dulu, ya.” kata Ivi.             “Hhhmm...” hanya kata itu yang keluar dari mulut Ibam. Matanya sama sekali tidak terbuka. Ivi mendekati jendela dan membuka tirainya lebar- lebar.             Wanita itu keluar dari kamar dan pergi menuju dapur. Ia mengambil air dari kran dispenser lalu meneguknya pelan, setelahnya ia membuatkan kopi untuk Ibam, suaminya.             Setelah memakai sepatu olahraganya, ia menyumpal kedua lubang telinganya dengan earphone bluetooth tipe neck yang talinnya melingkari lehernya. Setelah mengutak- atiknya ponselnya dan sebuah lagu terdengar di telinganya. Ia keluar rumah dan mulai mengitari komplek pruamhannya.             Lagu- lagu Tulus dari album monocrome menemaninya selama perjalanan. Tak hanya ia yang lari pagi saat itu, tapi ada beberapa anak remaja, anak muda bahkan orang tua yang juga melakukan hal yang sama dengannya. Ia tersenyum ramah ada ornag- orang yang di kenalnya.              Ia mengusap peluhnya dengan handuk saat sampai di taman komplek perumahannya. Taman itu lebih ramai lagi. Ia melihat anak- anak kecil berlarian, juga para remaja yang tengah bermain badminton.             Ivi mengatur napasnya yang masih terengah- engah lalu duduk di sebuah bangku bercat merah di taman itu. Ia menaikkan kedua kakinya ke atas bangku dan menyelonjorkannya.             “Aaawww.” teriak wanita itu saat merasakan sesuatu yang dingin menyentuh pipinya. Ia menoleh dan melihat seringai suaminya.             “Ngapain kamu di sini?” tanya Ivi. Pria itu duduk di sebelahnya dengan dua buah botol air mineral di tangannya.             “Harusnya aku yang tanya kamu, lagi apa kamu di sini? Ngelihatin remaja- remaja itu, ya?” tanyanya sambil  memberikan sebotol air mineral yang tidak dingin pada istrinya.             “Apaan sih? Udah cukup aku punya suami yang keliahatan dewasa tapi kelakuan masih kayak remaja. Ngapain lagi aku ngelihatin mereka.” katanya lalu menempelkan mulut botol pada bibirnya dan menyesap isinya pelan, membiarkan air mengaliri tenggorokannya yang kering.             Ibam terkekeh di sebelahnya lalu menatap lapangan di tengah taman yang cukup ramain.             “Kamu ngikutin aku dari tadi?” tanya Ivi.             “Iya. Aku dari tadi lari di belakang kamu.” jawab Ibam.             Ivi berdecak, “Udah kayak stalker saja.”             “Nggak apa- apa lah, stalkerin istri sendiri.” jawab Ibam sambil mengerlingkan matanya genit. Keduanya menatap hiruk pikuk di hadapannya. Bapak yang mendorong stroller bersisi bayi, anak- anak balita yang tengah belajar berjalan, juga ibu- ibu yang tengah menyuapi anaknya.             Ivi menelan ludah, begitu menginginkan berada di posisi itu. Menjadi seorang ibu dari seorang bayi yang cantik ataupun tampan. Ibam menoleh dan melihat Ivi tengah terfokus pada seorang anak balita yang tengah belajar berjalan.             “Vi...” panggil Ibam dengan nada pelan. Wanita itu terlalu fokus dengan apa yang ia lihat hingga tak mendengar penggilan suaminya.             “Vi...” Ibam menyentuh pudak wanita itu yang langsung tersadar dan menoleh ke arahnya.             “Ya...” kata wanita itu.             “Cari sarapan, yuk. Aku lapar.” kata Ibam, mencoba mengalihkan Ivi dari anak- anak itu. Ivi belum sempat menjawab saat tangan Ibam sudah mengandeng tangannya keluar dari taman untuk mencari sarapan. Mereka berdua menghampiri penjual bubur tak jauh dari taman dan memesan dua porsi.             “Bam...” Ivi menatap Ibam yang duduk tepat di depannya, dipisahkan dengan meja kotak kayu. Ivi menatap suaminya lekat- lekat dan siap mengatakan sesuatu saat pria di depannya yang langusng melengkungkan senyum.             “Aku lagi lapar, ya. Kamu nggak suah ngajak ngomong yang berat- berat. Hal- hal kayak gitu nggak harus kita omongin di saat- saat seperti ini.”             Ibam tahu topik apa yang akan Ivi buka hanya dengan melihat raut wajah wanita itu. Ivi menatap wajah suaminya yang melengkungkan senyum. Pria itu selalu terlihat baik- baik saja. Ivi tak pernah benar- benar tahu bagaimana perasaan pria itu. Pria hanya selalu memastikn bahwa apaun yang terjadi, Ibam tidak akan pernah meninggalkannya. Bahwa apapun yang terjadi, pria itu akan terus menggenggam tangannya. Tapi nyatanya, ketakutan itu tak pernah hilang dari hati Ivi. Bagaiamanpun pria itu mencoba menennagkannya, Ivi takut bahwa suatu saat pria itu akan meninggalkannya demi wanita lain yang bisa memberinya anak.   ***             Satu tahun setelah mereka menikah, Ivi di vonis mengalami gangguan hormonal yang membuat wanita sulit hamil. Butuh waktu lebih dari seminggu untuk Ibam menenangkan hati istrinya. Meyakinkan wanita itu bahwa semua akan baik-baik saja. Toh, Ibam tidak akan pernah meninggalkan Ivi meski wanita itu tidak bisa hamil sekalipun, bukankah ia sudah berjanji untuk tetap berada di samping wanita itu dalam keadaan terpuruk sekalipun.             Delapan bulan lamanya mereka mengikuti program hamil. Berharap bisa mendengar tangis bayi di rumah itu. Tapi nyatanya, program hamil itu tak hanya menguras keuangan mereka, tapi juga membuat emosi keduanya kerap meledak tak terkendali.             Ada saat-saat emosi Ivi benar-benar meroket hanya karena masalah sepele. Seperti malam itu.             "Minum obatnya." Ibam mengeluarkan butir obat dan segelas air untuk istrinya.             "Nanti aja." wanita itu berkata sambil berjalan ke bak cuci piring untuk mencuci piring bekas makan.             "Sekarang, Vi. Nanti kamu kelupaan." kata Ibam lagi. Diluar dugaan, reaksi Ivi begitu mengejutkan. Gadis itu melempar piring yang sedang di pegangnya ke lantai. Menimbulkan bunyi nyaring saat benda itu menyentuh lantai marmer rumah mereka.             "Kamu ngerti entar nggak sih, Bam?" teriak Ivi tanpa membalik badan. Membuat Ibam tercengang.             "Kamu kenapa?" tanyanya pelan. Wanita itu berbalik lalu tubuhnya merosot ke lantai. Isakan pelan terdengar. Ia memeluk lututnya sendiri.             "Aku capek, Bam. Aku muak sama obat-obat itu. Aku benci sama diri aku sendiri." katanya di sela-sela isakannya. Ibam duduk di depannya lalu merengkuh tubuh istrinya.             Ibam tahu apa yang di rasakan istrinya. Bekerja setiap hari, konsultasi selepas kerja, beban pikiran jelas menguras emosi istrinya. Ibam tahu, Ivi hanya melepaskan apa yang ia rasakan. Istrinya lelah berpura-pura tegar. Istrinya lelah terus tersenyum setiap kali usaha mereka tidak berhasil dan bilang bahwa dirinya baik-baik saja. Istrinya lelah memikul beban moril itu sendirian. Istrinya lelah ikut berbahagia untuk teman-temannya yang sudah hamil padahal dirinya iri setengah mati. Ibam mengerti kalau memang istrinya berada diakhir kesabarannya.             "Yaudah, kamu nggak perlu minum obat itu lagi." pria itu mengelus punggung istrinya dan mengecup pucuk kepalanya pelan. Perlahan, wanita itu mendongak.             "Aku mau hamil, Bam. Aku mau kasih kamu anak. Kamu mau punya anak banyak kan. Aku mau mewujudkan keinginan kamu, Bam." katanya diselingi air mata yang tak juga ingin berhenti.             "Iya, sayang. Aku tahu. Tuhan mungkin belum percayain anak untuk kita. Kita banyakin ikhtiar ya. Kita istirahat aja dari program itu dulu." Ibam mencoba tersenyum tulus.             "Bam, maafin aku." lirihnya.             Semalaman, Ibam tidak melepas pelukannya pada wanita itu. Memastikan istrinya bergelung nyaman dalam pelukannya, memastikan mata itu tertutup dan nafas wanita itu teratur sepanjang malam, memastikan istrinya mendapatkan kualitas tidur yang baik malam itu.   ***               Dua mangkok berisi bubur di sajikan di depan keduanya. Ibam mengambil sambal dan menaruhnya di atas buburnya. Wanita di depannya berdecak melihat Ibam mengaduk- aduk buburnya hingga semua komponen tercampur rata, berbeda dengannya yang memakan bubur itu tanpa menagduknya.             “Sampai kapan sih, Bam, kamu mau makan bubur diaduk- aduk sampai nggak keliahatan bentuknya begitu?” tanya Ivi sambil menyuapkan sendok ke mulutnya.             “Ya sampai kiamat, lah.” jawab Pria itu. “lagian mana enak sih, makan bubur nggak diaduk?” Ibam melihat mangkok Ivi yang masih tertara rapi tiap komponennya.             “Makanya dari dulu aku bilang, cobain makannya jangan diaduk.” ujar Ivi yang langsung mendapat gelengan keras.             “Kamu yang harus cobain makan bubur diaduk.” jawab Ibam sambil memasukkan sendok yang sudah terisi penuh dengan bubur ke mulutnya dan mengunyahnya dengan nikmat             Ivi berdidik ngeri melihat rupa bubur di mangkok Ibam sudah tak keruan. Ia tidak bisa membayangkan jika rupa bubur itu harus masuk ke dalam mulutnya.             Sejak memutuskan untuk menikah lima tahun yang lalu, Ibam memang tak lantas menjadi sepaham dengan Ivi. Keduanya masih begitu bertolak belakang dan tak ada yang rela mengalah. Keduanya terlalu keras, namun begitu saling mencintai. Keduanya kerap meributkan hal- hal kecil namun kembali mesra tak lama kemudian. Seberapa keraspun mereka bertengkar, akan ada salah satu pihak yang membuka kedua tangannya untuk memeluk dan meminta maaf.             Sejak memutuskan menikah, Ivi sudah berjanji untuk mencintai Ibam apa adanya. Menerima semua sifat Ibam yang menjengkelkan dan juga sebaliknya. Ibam sudah berjanji dalam hati bahwa apapun yang terjadi pada istrinya, ia akan selalu bersama wanita itu.   TBC LalunaKia

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
98.4K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.0K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.4K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.5K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook