Harus (Banget) Aku?

1223 Words
Reklamasi Island, Number Thirty Nine, tahun dua ribu enam puluh tujuh. Die fish eye atau pemuda dengan mata yang tak ubahnya seekor ikan mati adalah julukan yang akrab banyak orang tujukan kepada anak remaja dengan penampilan serta raut wajah super suram itu. Dengan poni yang nyaris menutupi seluruh bagian salah satu matanya, matanya yang satu lagi benar-benar selalu terlihat seperti mata ikan busuk yang bukan hanya tak memantulkan cahaya, tapi juga tak punya harapan akan masa depan. Bahkan jika ia sungguhan seekor ikan pun, ia adalah seekor ikan yang tak bisa lagi bisa gunakan siripnya untuk berenang walau hanya mengikuti aliran air saja. Ia benar-benar sudah tak punya harapan apalagi tujuan untuk hidup. Namun, dari semua hal buruk yang telah aku ceritakan di atas, yang paling buruk malah bukan itu. Melainkan karena ini adalah tahun kedua aku jadi teman sekelasnya. Tak pernah satu kali pun aku lihat ia menebar senyuman pada hal apa pun apalagi sampai tertawa walau hanya sedikit saja. Dua kelopak matanya terlihat selalu menggantung dalam rasa bosan yang tampak tak miliki ujung. Tatapan mata itu seolah tengah berkata, tak ada apa pun atau sedikit pun hal yang menarik dari kalian semua. Atau bahkan seluruh dunia ini bisa jadi. Semua pasti ia pandang dengan sebelah mata. Tak ada gunanya. Tak memiliki arti. Tak ada hal di mana pun di seluruh alam semesta yang mampu menarik antusiasmenya. Lagipula memang orang seperti dia punya antusiasme pada sesuatu apa, ya? Kalau boleh jujur aku sama sekali tidak punya pikiran sampai sejauh itu, hahaha. Ah, bukan hanya itu saja. Masih ada hal aneh lain yang bisa kita bicarakan menyangkut anak itu. Anak itu sama sekali tidak pernah terlibat dalam percakapan mengenai apa pun dengan siapa pun. Atau paling tidak seperti itulah yang aku tau. Yang terlihat selama ini di depan kami semua anggota lingkup sosial tempat ia berada. Mulutnya seperti hanya terbuka untuk hal-hal yang diperlukan. Satu-satunya momen di mana kami para manusia normal ini pernah melihat ia berbicara seperti kebanyakan orang lain ya hanya seperti saat sedang menjawab pertanyaan dari guru. Atau orang lain yang ia rasa pertanyaannya penting untuk dijawab atau percakapan yang worth it untuk direspon. (Cih, sombong sekali dia memang). Di luar itu semua, mungkin orang akan mengira bahwa ia merupakan seorang tuna wicara alias bisu atau tak bisa berbicara. Habis mau ada gempa bumi atau gunung meletus juga pasti akan tetap mingkem itu mulut. Ya memang karena selama ini terlihatnya seperti itu, kok! Tak ada satu pun anak pernah mengetahui kehidupan pribadi anak itu. Tidak satu hal pun tentang dirinya. Saat para anak lain sibuk berbagi cerita soal beragam kejadian unik atau menarik yang terjadi dalam hidup mereka hingga dirasa perlu dibagi dengan orang lain agar rasakan kebahagiaan serupa, ia yang juga ikut mendengarnya akan tetap diam saja seolah tengah berada di ruang hampa yang tidak apa apa pun di dalamnya. Ia tak pernah satu kali pun ceritakan atau terlihat merasa perlu membagi apa pun pada orang lain. Bahkan kami teman sekelasnya sendiri yang rasanya telah muak melihat wajah suntuk itu nyaris dua tahun terakhir setiap hari. Seolah tak ada hal menarik dalam hidup singkat yang telah ia jalani. Entahlah, aku tidak tau, mungkin hidup yang telah ia lewati memang sama busuk saja dengan dua mat yang tak pernah punya gairah itu. Sebenarnya aku sama sekali tidak berpikir bahwa dia adalah orang yang jahat atau perlu diwspadai keberadaannya. Walau selalu terkesan acuh tak acuh pada semua orang. Ia juga tak pernah lakukan hal buruk pada siapa pun di sekitarnya. Bukan hanya itu, walau nyaris tak pernah mengatakan apa pun ia juga tak pernah keberatan untuk membantu yang lain jika dimintai tolong atau yang semacamnya secara sengaja dan tentu saja, verbal. Harus kami duluan yang bicara kalau mau berhubungan dengannya karena kata pengertian, empati, atau belas kasih barangkali tak ada dalam kamus hidupnya. Malah tidak berlebihan jika aku boleh bilang bahwa sebenarnya mungkin dia itu orang yang cukup baik. Namun, tak dipungkiri juga jika di saat yang sama ia merupakan sosok individu yang sama sekali tidak menyenangkan dan tidak cocok diajak beramah tamah atau lakukan hal menyenangkan. Singkat kata, atau gampangnya, dia adalah orang yang sangat membosankan. Terlalu membosankan sampai rasanya ingin aku tusuk-tusuk pakai duri landak agar meletus saja dan hilang sekalian dia dari muka bumi ini agar tidak mengotori pemandangan kami yang hanya ingin menikmati hidup. Bwahahaha! Eh, jahat sekali pikiranku, bercanda, ding. Selama satu tahun pertama kami benar-benar menjalani hidup yang biasa. Ia tak pernah mengganggu kami. Maka kami pun tak pernah dan tak merasa perlu untuk mengganggunya juga. Jika memang kesendirian dan kesepian (dalam pandangan kami) itu nyaman dan bisa dinikmati untuknya, ya sudah. Kami akan tetap bersama koloni dengan pemikiran sama kami. Dan dia tetap bersama koloninya yang seorang diri. Singkat cerita antara kami dan dia memang hidup di tempat yang sama hanya saja berada di latar dunia dan pemahaman yang benar-benar tidak sama. Jadi, lupakan saja apa yang kalian anggap sebagai gambaran ideal hidup yang normal. Para anak di kelas kami tidak memilikinya. Tidak berharap akan memilikinya. Dan sama sekali tak punya ekspektasi untuk hal yang jauh lebih baik dari itu semua. Sekali lagi, jadi, ya biarkan saja lah hidup ini mau mengarah ke mana di masa depan nanti. Tak ada yang pernah mengetahui cara berhubungan dengan orang itu tanpa perlu menimbulkan rasa grogi dan merinding di belakang leher. Kalau tidak sangat terpaksa, lebih baik anggap dia tak ada saja, deh. Pemuda dengan mata ikan mati itu sudah seperti hantu yang banyak orang percaya bahwa mereka ada, tapi sebenarnya tiada atau keberadaannya tak bisa dibuktikan dengan akal sehat. Namun, untuk sejauh ini kami, khususnya aku sebagai ketua kelas yang bertugas di kelas mana anak itu berada, tetap berusaha bersikap apa adanya padanya. Tidak berlebihan. Dan tidak ada tendensi untuk menyakiti juga selama ia tidak melakukan apa pun yang bisa menyakiti atau mengusik kami. Mungkin kami memang teman sekelas. Tapi, di saat yang sama kami juga bukan teman. Antara koloni manusia normalku dengan dirinya hanya perlu lewati seluruh fase yang memang harus dilewati sebagai pelajar SMA biasa. Tidak ada yang bisa lebih baik atau bijaksana untuk dilakukan dari itu. *** Aku sendiri bukannya senang bersosialisasi. Aku hanya mengikuti arus dan menganggap sosialisasi sebagai kebutuhan hidup yang tidak mutlak dibutuhkan. Aku akan berjalan ke mana kehidupan sosial yang aku ikuti ini membawaku. Aku akan bicara apa yang orang lain katakan. Aku akan melakukan apa pun yang orang lain inginkan. Dan begitulah aku mendapatkan kehidupan normal yang semu lagi menjemukkan. Aku menjadi anak biasa dengan berteman dengan anak-anak biasa. Menjalani kehidupan biasa. Menyukai dan membenci hal-hal yang biasa. Pokoknya semua hal yang akan buat aku jadi manusia normal yang diterima dalam lingkup kehidupan sosial. Hanya itu. Aku tak mau menjadi orang seperti dirinya yang terlalu memaksa untuk ciptakan dunia seperti yang ia inginkan sendiri. Aku bahkan tak keberatan untuk jadi sedikit menderita demi terlihat normal dan sama dengan manusia lain yang ada di sekitarku. Aku tak sama dengan dia. Aku tak bersedia berada dekat dengannya. Karena itu semua tidak akan jadi hal yang normal. Namun, bagaimana jika semua yang aku usahakan berakhir? Bagaimana jika semua kenormalan yang selalu aku agungkan dan puja ini menemui titik k*****s? Dan apakah akan berhubungan dengan dia? Aku tidak tau, aku hanya tidak mau tau. Aku harap dunia akan selesai sampai di sini. Tidak bersisa lagi. Entah apa yang akan terjadi nanti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD