Bagian 4

1648 Words
Seminggu sejak kejadian penamparan itu, hubunganku dengan Adi kian menjauh. Mungkin aku memang bersalah karena telah lancang menamparnya, hanya karena Adi ingin melepas mukena yang sedang kukenakan. Tapi rasanya aku enggan untuk meminta maaf terlebih dulu. Biarlah ia dengan sikap dinginnya dan aku dengan sikap keras kepalaku. Biarkan seperti ini saja. Toh sebelum kejadian itu, sikap Adi padaku sudah tak bersahabat. Aku masih bertahan di rumah Adi. Niatku untuk pergi dari sini belum terkabul karena sampai detik ini aku belum bisa menemukan kosan yang nyaman dan dekat dengan tempat kerjaku. Pagi ini seperti biasa kami bertiga sarapan bersama. Dan kembali aku harus menahan sesak di dalam sana melihat adegan di depanku. Melati nampak biasa melayani Adi, mengambilkan nasi dan lauk. Memang seperti itu setiap hari. Namun berbeda dengan Adi, yang menurutku pagi ini sangat berlebihan. Kupikir ia sengaja memanas-manasiku. Pria itu dengan sok mesra menyuapi Melati. Aku benar-benar muak melihatnya. Jika bukan karena aku menghargai masakan Melati, sudah sejak tadi aku meninggalkan meja ini. Melati sendiri nampak kurang nyaman dengan perlakuan Adi. Beberapa kali ia tersenyum canggung padaku. Dan mencoba menyudahi sikap sok mesra Adi. "Aku makan sendiri saja, Di," pinta Melati. "Aku ingin menyuapimu, Sayang." Adi kembali mengarahkan sendok pada mulut Melati. Ia melirikku, sudut bibirnya terangkat sedikit. Sungguh aku merasa benar-benar muak melihatnya. Untunglah makanan di piringku telah habis. Aku segera minum dan bersiap pergi. "Mel, aku berangkat dulu. Terima kasih untuk sarapan lezatnya." Aku segera berdiri meninggalkan pemandangan di meja tadi yang membuatku dadaku nyeri.  **** "Ta, pulang kerja temani aku ya." pintaku pada Marta. Kami sedang makan siang bersama di kantin pabrik. Marta menghentikan kunyahannya, menatapku penasaran. "Ke mana?" "Pasti lupa deh. Cari kosan, Ta." "Ah iya, aku lupa," Marta menepuk kening pelan. "Serius kamu mau kos sendiri?" tanyanya penuh khawatir. Gadis bermata sipit itu tahu jika aku adalah gadis penakut. "Iya, Ta. Aku nggak kuat kalau harus terus-terusan di sana. Aku juga sedang berpikir untuk mengakhiri ini, Ta. Sakit, Ta ... diabaikan terus." Aku merasa mataku memanas. Ada genangan yang siap meluncur dari mataku. Marta menggenggam erat sebelah kanan tanganku. Untuk memberiku dukungan. "Pikirkan baik-baik dulu, Nye. Jangan gegabah. Aku tau, aku paham yang kamu rasakan. Tapi sekali lagi pikirkan baik-baik." Aku tersenyum mendengarnya. Bersyukur memiliki sahabat se-care Marta. Perbedaan keyakinan tidak membuat kami merasa berbeda. Kami saling mendukung satu sama lain. Membantu sebisanya jika salah satu di antara kami tengah mengalami kesulitan. "Makasih, Ta." "Hai Anye, Marta." Kami menoleh pada sumber suara. Lelaki dengan lesung pipit di wajahnya tersenyum pada kami. "Ferdi! Kamu kapan datang?" Marta nampak terkejut dengan kedatangan laki-laki yang kini telah duduk di sampingku. "Semalam," jawabnya tersenyum lebar. Laki-laki itu lalu menatapku, tatapan yang tak bisa kuartikan. "Nye, apa kabar?" tanyanya dengan suara melembut. Dan itu sukses membuat Marta berdeham sambil menahan tawanya. Aku sendiri merasa tak nyaman. Aku mencoba mengatur irama jantung yang entah mengapa berdetak lebih kencang. Ferdi, lelaki dari tanah minang merupakan rekan kerja kami. Hanya saja kami berbeda divisi. Aku dan Marta ditempatkan di bagian staf gudang. Mengawasi masuk dan keluarnya barang. Sedangkan Ferdi bisa dibilang orang penting di tempat kami bekerja. Laki-laki berkulit sawo matang itu merupakan staf design. Ia yang men-desain logo untuk kemudian di bordir pada lembaran kain dari klien kami. "Alhamdulillah aku baik. Kamu bagaimana?" "Aku baik. Hanya kangen ...." "Kangen siapa nih?" Marta dengan menahan senyumnya memotong kalimat Ferdi. Ferdi mengusap tengkuk, ia tersenyum canggung. "Kangen pabrik ini lah." Ya, Ferdi sempat dimutasi ke cabang pabrik ini di daerah Subang selama satu tahun. Dan menurut kabar yang kudengar, mulai hari ini Ferdi kembali bekerja di tempat kami. "Yakin nih? Bukan karena kangen seseorang kan?" Marta semakin gencar menggoda Ferdi yang kini salah tingkah. "Tapi sayang sekali, wanita idamanmu itu sudah menjadi milik orang lain. Kamu telat. Kelamaan mikir sih." Senyum malu-malu yang tadi ditampilkan Ferdi menyurut begitu mendengar ucapan Marta. Aku sendiri merasa tak enak pada Ferdi, karena perempuan yang dimaksud Marta adalah aku. Ya ... aku. Beberapa bulan yang lalu sebelum pernikahanku dan Adi terjadi, di sore hari yang cerah Ferdi menemuiku di kosan. Laki-laki bertinggi 175 cm itu dengan malu-malu mengungkapkan niatnya untuk menjalin hubungan serius denganku. Saat itu aku tak memberi kepastian. Yang kukatakan padanya kala itu hanya tak akan menjalin hubungan apa pun dengan seorang pria, sebelum pria itu melamarku. Bukan aku sok suci, aku hanya menjaga diri. Hidup di perantauan membuatku belajar banyak. Banyak di antara teman-temanku yang memanfaatkan kesempatan berjauhan dari orang tua untuk berhubungan dengan lawan jenis sesukanya. Sering kumendengar banyaknya janin tumbuh di rahim mereka, sebelum pernikahan terjadi. Aku hanya menjaga diri sekaligus menjaga hati. Menjaga hati agar tak mencintai lelaki yang belum tentu menjadi suamiku. Ferdi memaklumi, ia berjanji setelah uang ditabungannya terkumpul ia akan segera meminangku. Namun, takdir berkehendak lain. Sebelum niat itu terwujud, Tuhan lebih dulu mengirimkan Adi untuk menjadi suamiku melalui proses perjodohan. Ferdi menoleh padaku, menatapku lekat menuntut penjelasan. Aku melihatnya, ada luka di sepasang mata hitam pekatnya. "Nye, sorry." Marta menyadari perubahan sikap Ferdi. Ia tampak menyesal dengan kelancangan mulutnya. "Nye, apa maksud Marta?" Lirih, lirih sekali Ferdi bertanya. Dan itu membuat batinku tercubit. Aku merasakannya. Luka yang menderanya. Karena nyatanya aku tengah merasakan apa yang Ferdi rasa. Ditolak dan diabaikan. Waktu belum mengizinkan Ferdi untuk mengetahui kenyataan sebenarnya. Bel tanda istirahat berakhir berdengung di seluruh penjuru gedung yang akhinrya menjeda perbincangan kami. **** Aku menunggu Marta yang sedang ke toilet di parkiran. Duduk di atas motor, sambil memainkan ponsel. Tak ingin menunda waktu lagi, sore ini juga aku akan mencari kosan di sekitar pabrik dengan ditemani Marta. Hingga sebuah suara membuat jantungku kembali berpacu tak terkendali. "Nye." Tubuh Ferdi menjulang tinggi di depanku. Masih bisa kulihat sorot kekecewaan di matanya. "Ya." "Jadi ... benar kamu sudah menikah?" Akhirnya pertanyaan itu meluncur dari bibirnya. Aku tak sanggup menatap lelaki di depanku. Dengan wajah menunduk aku menjawab pelan. "Iya, aku sudah menikah." "Kenapa? Aku minta kamu untuk menunggu. Kenapa kamu tega!" Suaranya bergetar. Ah, sakit sekali aku mendengarnya. Aku menatapnya, laki-laki yang terbiasa tersenyum ramah, kini nampak rapuh. Membuatku semakin diselimuti rasa bersalah. "Kami dijodohkan." Ferdi mengepalkan kedua tangannya, mungkin mencoba meredakan gejolak kekecewaan di hatinya. "Mengapa sesakit ini, Nye? Mengapa sesakit ini mencintai seseorang." "Maaf, Fer. Maaf." Ferdi meremas rambutnya. Matanya mulai berkabut. Aku benar-benar merasa semakin bersalah padanya. Tanpa kata, Ferdi akhirnya meninggalkanku. Mengapa harus seperti ini? Mengapa Tuhan justru menjodohkanku dengan pria yang bahkan tak menganggap kehadiranku. Mengapa bukan Ferdi saja yang Tuhan jodohkan denganku? Melihat dari matanya, aku sedikit tersentuh dengan kesungguhannya. Harapan tinggal harapan karena jodoh sudah menemukan jalannya sendiri. "Nye." Marta menepuk bahuku pelan. Seperti biasa sambil tersenyum dan menampakkan gigi gingsulnya. "Eh, udah?" Aku tersadar dari lamunan. Tersenyum kecil padanya. Marta mengangguk. "Jadi gak cari kosan? Keburu sore nih." "Jadi, Ayo."  **** Selepas maghrib akhirnya aku sampai di rumah, setelah mengantar Marta ke kosannya dan menumpang salat di sana. Aku telah mendapatkan indekos yang aku inginkan. Berjarak sekitar dua kilo dari tempatku bekerja dan satu kilo dari tempat tinggal Marta. Rencananya besok sore aku akan pindah ke sana. Tak peduli Adi dan Melati melarangku. Tekadku sudah bulat. Mobil Adi dan motor Melati terlihat sudah terparkir cantik di halaman rumah. Aku berjalan santai memasuki rumah karena memang aku membawa kunci sendiri. Rumah terlihat sepi. Melewati ruang tamu kemudian ruang makan, tak terlihat dua sosok yang juga menghuni rumah ini. Aku masuk ke kamar, ingin segera mandi lalu beristirahat, setelah seharian beraktivitas membuat nyeri di sekujur badan. Selesai mandi, aku turun ke ruang makan, bermaksud untuk mengisi perut yang sudah keroncongan. "Dari mana saja kamu jam segini baru pulang?" Aku menoleh ke sumber suara. Tak jauh dari tempatku, Adi berdiri dengan tangan bersedekap, menatapku tak suka. "Kerja." Aku kembali menuangkan mi rebus ke dalam mangkok karena memang sudah matang. "Aku melihatmu tadi berkeliaran di jalanan," Jadi tadi Adi melihatku? "Jangan mentang-mentang ada Melati yang mengurus rumah, kamu bisa seenaknya pulang malam. Tolong tahu diri sedikit jadi orang!" Kupejamkan mata, mencoba menetralisir hawa panas yang menyelusup di d**a. Marah? Tentu saja, suamiku sendiri yang mengatakan jika aku manusia yang tak tahu diri. Memang benar selama ini Melati yang lebih banyak mengurus rumah. Mencuci pakaian, menyapu, mengepel, memasak dan menyetrika. Tapi tentu saja pakaianku, kucuci dan kusetrika sendiri. Aku memutar badan. Menatap jengkel pada pria yang tengah menatapku tajam. Auranya memancarkan kemarahan. Tapi sama sekali tak membuatku takut. Dan sekuat tenaga aku menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata. Kata-kata Adi kembali menggoreskan luka yang memang masih menganga. "Iya aku memang tak tahu diri." Aku menyadari suaraku bergetar. "Tapi satu hal yang perlu kamu ingat, Adi. Kamu tidak pernah menghargai usahaku saat aku mencoba membereskan rumah. Semua yang kulakukan di matamu selama ini salah. Kamu ...." Aku tak meneruskan kalimatku. Buliran bening yang sejak tadi kutahan akhirnya jatuh juga. Adi terdiam. Mematung dengan wajah yang tak bisa k****a. Kuseka kasar air mataku. Berjalan tergesa memasuki kamar. Aku menangis. Ini terlalu sakit. Sakit sekali. Rasa lapar yang tadi menghampiri sudah lenyap, terganti dengan pedih yang menyayat hati. Dengan tergesa dan diiringi tangis, aku memasukkan barang-barangku ke dalam koper. Tak perlu menunggu besok aku pindah, malam ini juga aku akan keluar dari rumah terkutuk ini. Sudah cukup rasanya Adi menginjak-injak harga diriku. Satu koper besar dan satu tas berukuran sedang, kubawa bergantian menuju teras rumah. Adi dan Melati tak terlihat, mungkin keduanya telah beranjak tidur. Aku tak peduli. Justru membuatku tenang karena tak perlu menjawab pertanyaan Melati jika ia muncul. Kupesan mobil melalui aplikasi untuk membawakan barang bawaanku. Aku sendiri akan mengendarai motor. Setelah meletakkan koper dan tas di luar gerbang lalu mengeluarkan motorku, kukunci gerbang setinggi dua meter di depanku ini. Tak lama mobil pesananku datang. Dan membawaku meninggalkan rumah yang beberapa bulan ini menjadi saksi ketidakadilan Adi sebagai suami. Aku pergi Mengikis harap Menghapus rasa Biar rasa ini cukup aku yang rasa Selamanya, memang hanya dia yang 'kan kau puja Aku pergi Dengan hati yang telah kau sakiti berkali-kali    Bersambung.            
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD