Bagian 2

1543 Words
Braakk! Kututup pintu dengan kasar. Seolah ingin memberi tahu pada Adi tentang kemarahanku. Meski aku tahu, percuma. Aku tertidur hingga kudengar suara azan zuhur berkumandang setelah menahan kemarahanku pada Adi. Ah, mengingat laki-laki itu membuatku frustrasi. Haruskah aku mengatakan tentang semua ini pada Ayah dan Bunda? Aku menggelengkan kepala. Meyakinkan diri untuk tetap melanjutkan pernikahan yang menurut Adi adalah pernikahan bodoh. Biarlah aku merana, asal orang tuaku bahagia. Hidup bukan sekadar membahagiakan diri sendiri bukan? Aku beranjak melangkah menuju kamar mandi. Membasuh muka, berkumur, menatap pantulan wajahku di cermin sebentar, lalu mulai berwudu. Aku bukan wanita super religius tetapi aku tahu kewajibanku sebagai seorang muslimah. Salat membuatku merasa lebih tenang dan damai. Yang di akhir salam aku bisa mencurahkan segala bentuk masalah yang tengah kuhadapi pada Sang Pemilik Hidup-Allah. Selesai melipat mukena lalu meletakkannya kembali di atas nakas, aku keluar kamar bermaksud mengambil minum. Baru saja kakiku menginjak tangga nomor pertama, sebuah pemandangan yang tak mengenakkan menyapaku. Adi tengah tiduran di pangkuan Melati. Sedang Melati dengan lembut membelai rambut lelaki itu. Kuhembuskan napas berat, menyiapkan hati untuk melanjutkan langkah menuju dapur yang harus melewati dua sosok di ruang tengah ini. Melati melihat ke arahku begitu menyadari kehadiranku. Ia tersenyum. "Nye," sapanya. "Sudah pulang, Mel?" tanyaku basa basi. "Sudah, aku beli makanan untukmu. Makanlah." Aku yang masih berdiri di samping sofa melihat sekilas ke arah meja makan yang tak jauh dari tempatku sekarang berdiri. Ada bungkusan plastik terdampar di sana.  "Makasih." Tanpa menunggu jawaban dari Melati, kulangkahkan kaki menuju lemari pendingin. Mengambil sebotol air. Meraih gelas di rak lalu menuju meja makan. Sekilas kulihat Adi dan Melati yang saat ini sudah merubah posisi. Adi sekarang duduk bersandar di sofa. Dan baruku sadari, selang infus sudah tak terpasang lagi di tangannya. Mungkin sudah dilepas tadi sewaktu aku tertidur. Turut senang karena Adi ternyata telah sembuh. Itu artinya aku akan kembali mendengar suara khas Melati di malam hari. Suara yang membuat bulu kudukku merinding.  Kalian tahu maksudku kan? Kubuka bungkusan di hadapan. Ayam goreng kalasan, lengkap dengan lalapan dan sambal. Setelah minum, kumakan juga makanan yang dibelikan maduku ini. "Aku mau teh, Sayang." Kudengar Adi berbicara. "Sebentar ya." Itu suara Melati. Ia beranjak dari duduknya. Melangkah menuju dapur. Aku diam, pura-pura saja tak mendengar percakapan mereka. "Nye, kamu mau teh juga?" Melati menawariku. Kulihat tangannya tengah sibuk memotong lemon. Adi memang suka lemon tea. "Nggak, Mel. Makasih," tolakku. Hening.  Melati telah selesai membuatkan pesanan Adi. Aku sendiri telah selesai makan. Setelah membuang bungkus makanan, meletakkan kembali botol minum lalu mencuci tangan dan gelas. Aku kembali melewati dua orang yang sejak tadi kudengar tertawa dengan renyah. "Sini Nye!" Melati memintaku bergabung dengannya dan Adi.  Aku melirik Adi sekilas. Pria itu fokus menatap layar yang tengah memutar adegan romantis film Titanic. Film kesukaan Melati. Entah sudah berapa kali maduku itu menontonnya. "Aku mau pergi." "Mau ke mana?" "Menenangkan pikiran," jawabku jujur. Kutinggalkan dua orang itu, tanpa menunggu tanggapan mereka. Masih bisa kudengar Adi berbicara rencananya ingin memiliki anak. "Kita akan punya anak lima," ucap pria itu terdengar begitu penuh pengharapan. Tanpa bisa kucegah, ada yang berdenyut nyeri di dalam sana. . . "Besok jangan sampai telat, nanti kamu kena semprot si bos lagi." Marta mengingatkanku.  Kami tengah duduk berdua di kafe yang menyatu dengan gedung toko buku terbesar di kota ini. Tidak sengaja ketemu, aku sedang mencari novel yang menurutku menarik saat tiba-tiba seseorang menepuk bahuku pelan. Marta, gadis ayu dari Medan yang menjadi rekan kerja sekaligus sahabatku, tersenyum. Dan setelahnya kami duduk di sini sekarang. Tadinya aku berpikir akan duduk sendiri di kafe ini. Berteman novel. Dan hujan yang masih intens menyapa bumi. Tapi Tuhan mengirimku seseorang. Marta si gadis semampai dengan rahang dan suara keras. Darah bataknya mengalir sempurna di tubuhnya. "Iya tahu," jawabku sembari menyomot donat yang tersaji di meja. Lalu memasukkannya ke mulut. "Bang Simon melamar aku kemarin, Nye." Marta mengatakannya dengan wajah berbinar. Aku pun tak kalah senang mendengarnya. "Alhamdulillah!" responsku antusias. "Kelihatannya, dia orang yang bertanggung jawab." "Semoga." Aku menggenggam tangannya erat. Berusaha meyakinkan tentang pilihannya. Jika Simon memang benar-benar berbeda, dalam arti kata, lebih baik dari Adi. "Masih mau bertahan?" Marta tahu semuanya tentang pernikahanku. Aku selalu bercerita apa pun padanya. "Apa ada pilihan lain. Apa aku boleh egois, Ta?" Ada rasa keputusasaan di ucapanku. Marta mengembuskan napas pelan. "Terkadang memikirkan perasaan sendiri itu perlu, Nye. Kamu pun berhak bahagia." “Dengan mengorbankan perasaan orang tuaku?" Di kampungku perceraian adalah aib. Aku tentu tak ingin mengotori wajah orang tuaku. "Mereka pasti akan mengerti. Bicaralah dengan orang tuamu. Jangan pikul beban ini sendiri, Nye." Aku mengerti Marta menginginkanku bahagia. Sore itu aku pulang ke rumah dengan ucapan Marta yang masih terngiang-ngiang di kepala. Hingga malam saat mataku kupaksa terpejam. . . Hari-hari berikutnya masih sama. Aku sibuk bekerja dan Melati pun sama. Maduku itu bekerja di sebuah bank swasta. Sedangkan Adi, sudah dua hari ini, suami kami itu berada di Bandung. Mengawasi cabang baru kafenya. Kalau untuk itu, aku turut senang. Sejauh ini, Adi selalu memberiku nafkah lahir secara cukup. Itu salah satu alasan aku masih bertahan di sisinya. "Nanti sore Adi pulang," beritahu Melati. Kami sedang sarapan bersama. Pukul 6.30 pagi saat ini. Aku melihat Melati sekilas. Lalu kembali fokus pada nasi goreng di depanku. “Aku mungkin akan pulang malam." Aku memilih tak menanggapi ucapan Melati tentang kepulangan Adi.  Buatku itu bukan sesuatu yang perlu atensi berlebih, karena seperti yang sudah-sudah, Adi hanya akan membelikan buah tangan untuk Melati. “Mau ke mana?" Melati menatapku penasaran. "Ada perlu," jawabku singkat. "Hati-hati saja, kalau gitu." Aku melihatnya, berkata sembari tersenyum. Sejujurnya aku benci saat Melati memperlakukanku dengan baik seperti ini. Tidakkah ia ingin memiliki Adi seutuhnya dan menyingkirkanku? Wanita itu selalu bersikap baik. Meski aku secara sadar sering berkata dingin padanya. . . Aku memarkirkan motor di rumah Adi tepat saat jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Sepulang kerja aku menemani Marta berbelanja keperluan pernikahannya. Semua atas permintaan Simon. Dan aku dengan senang hati melakukannya, tentunya. Jadilah, hingga malam aku baru tiba di rumah. "Dari mana?" Suara berat itu menyapaku tepat saat aku akan memasuki pintu kamar. “Pergi dengan Marta. “Sampai malam begini?" Aku menatapnya heran. Kuyakin dahiku saat ini tengah berkerut indah. Tumben sekali Adi menanyaiku seperti ini. "Iya." Aku berbalik badan, bersiap masuk, saat detik berikutnya ucapan Adi menahan lajuku. "Aku belum selesai bicara."  Aku menoleh. Menatapnya dengan penuh tanda tanya. “Besok kita pulang ke Bandung. Ibu sakit." Ibu yang dimaksud adalah Ibu mertuaku. "Sakit apa?" “Darah tinggi Ibu kambuh." Adi menjawab dengan pelan. "Besok kita berangkat pagi. Jadi, siapkan barang-barangmu malam ini juga." “Melati juga ikut?" Meski ragu akhirnya kulontarkan juga pertanyaan ini. Adi menatapku tajam. "Apa perlu aku jawab?" "Aku hanya memastikan. Karena setahuku, istrimu itu dia. Aku di sini bukan siapa-siapa." Kuucapkan apa yang selama ini mengganjal di hati. Adi terdiam. Kami saling melempar tatapan tajam. "Aku akan pulang ke rumah orang tuaku. Sudah waktunya mereka tahu tentang semua ini." "Jangan bertingkah. Ibuku sedang sekarat, kamu ingin melihatnya meregang nyawa!" Kilat amarah tergambar jelas di wajah Adi. "Dan kamu ingin aku mati perlahan karena terus menerus tidak dianggap istri olehmu, begitu?" Adi terdiam. Perlahan tatapan tajamnya memudar. Meski masih sama dinginnya. "Kenapa diam?" “Kamu ingin aku anggap sebagai istri?" Kali ini Adi tersenyum menyeringai. Senyuman yang menurutku menyeramkan. “Apa maksudmu?" Adi mendorongku masuk ke kamar. Masih dengan seringainya ia memutar kunci perlahan. "Kamu yang memaksaku melakukan ini." Aku berdiri mematung tak jauh dari Adi. Hingga pria itu berjalan mendekat. Menarik tubuhku cepat menempel ke tubuhnya. Otakku mendadak buntu tanpa berusaha mencegah saat Adi kemudian menempelkan bibirnya di bibirku dengan kasar. Aku mengerjap beberapa kali. Tak percaya dengan apa yang Adi perbuat. Lalu, tangan Adi yang kini meraba dadaku membuatku tersadar akan apa yang terjadi. Mendadak aku merasa takut, Adi akan mengambil haknya secara paksa. Meski selama ini aku memimpikannya, tapi jelas saat ini aku tak rela, karena kutahu Adi sedang emosi. Aku ingin kami melakukannya atas dasar cinta. Lalu aku mendorongnya sekuat tenaga, meski hal itu tak membuatnya menjauh dariku. "Mmmmmppphhh ...." Aku ingin bicara di tengah ciuman kasar Adi. Tapi yang kudengar justru suaraku yang mirip dengan suara-suara Melati di malam hari. Kucoba menghalangi gerakan tangannya yang semakin bergerilya dengan liar. Kancing kemejaku bagian atas sudah terlepas. Kini tangannya benar-benar menyentuh tubuhku. Tubuhku merespons, ada perasaan menolak sekaligus menerima secara bersamaan. Adi mendorongku jatuh ke ranjang. Bibir kami masih bertautan. Kurasakan tangannya kini sudah sampai ke perut. Semakin ke bawah. Mencari kancing celana bahanku. Tanganku seketika mencoba menghentikannya. Namun gagal. Adi berhasil membuka dan menurunkan hingga sebatas paha. Kucoba menghentikan aksinya dengan menarik rambutnya keras. Berhasil. Adi melepaskan ciumannya. Kami saling menatap. Kulihat kilat gairah telah mengurung pria di atas tubuhku ini. Aku menggeleng pelan. Mataku telah basah, menahan air mata yang ingin melesak keluar. Sementara itu, Adi memejamkan mata. Lalu bangkit dari atas tubuhku dan duduk sejajar dengan kakiku. Seketika perasaan lega menghampiriku. Aku mengikutinya duduk. Meraih selimut untuk menutupi tubuhku yang terbuka karena ulahnya. "Aku tidak ingin kamu melakukannya karena emosi. Terlebih lagi tanpa cinta," kataku lirih. Adi menatapku sekilas lalu meremas rambutnya kasar. "Karena jika sampai aku mengandung anakmu dan ternyata kamu belum bisa mencintaiku, itu hanya akan membuatku semakin terluka." "Kamu mau aku bagaimana?" “Tanyakan itu ke hatimu. Seberapa penting aku di hidupmu." Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD