Dulu, bisa dikatakan mereka akrab. Kamania dan Shaka sering bersama di waktu istrirahat atau pun jam kosong. Itu terjadi secara alami, setelah perkenalan yang dimulai oleh Shaka. Jika Kamania yang biasanya selalu sungkan dan malu pada orang baru, berbeda di depan Shaka, hal itu sama sekali tidak berlaku. Kamania menjadi gadis yang sering bercerita, bahkan bernyanyi di saat Shaka meminta atau pun ketika Kamania ingin.
Hingga kelulusan tiba, mereka berpisah karena Shaka melanjutkan studinya ke luar negeri. Kamania kira, hubungan pertemanan mereka akan berahir sampai di situ saja, karena kemungkinan bertemu kembali sangat kecil. Terlebih Kamania tahu kalau Shaka cucu dari salah satu pengusaha terkaya di negara mereka.
Namun, hari ini membuktikan kalau pemikiran Kamania beberapa tahun silam hanyalah omong kosong belaka. Shaka muncul, dengan senyum serupa, suara bahkan nada bicaranya hangat dan bersahabat seperti dulu. Penampilannya jelas berubah, jika dulu terlihat tengil namun masih rapi, sekarang tanda-tanda kedewasaan-lah yang mendominasi.
“Kama, aku sedikit kesulitan mencarimu. Butuh waktu seminggu, akhirnya kita bisa bertemu secara langsung.” Shaka terlihat lega saat menatap Kamania. Mereka sempat berpisah, tetapi jarak itu rupanya sama sekali tidak menimbulkan kecanggungan di mata Shaka. “Aku melanjutkan S2 di sini, kemungkinan kita bertemu akan semakin sering. Aku yang akan mendatangimu, Kama.”
Sontak Kamania mengibaskan kedua tangannya sembari menggeleng. Binar matanya memperingati Shaka untuk tidak melakukan itu. Pertemuan hari ini saja rasanya jantung Kamania tidak bisa tenang, takut ayah kembali tiba-tiba dan semuanya akan jadi masalah.
“Tahu tidak? Kadang aku memikirkanmu di sana. Sering juga aku mengumpati keputusanmu yang tidak ingin menerima ponsel pemberianku. Karena itu kita tidak bisa berkomunikasi. Sikapmu dulu lumayan menyebalkan, tetapi karena kita berteman, aku banyak memaklumi daripada tersinggung.”
Mata Kamania membola, lalu sesaat kemudian ia kembali menggeleng. Kamania tidak bisa teralihkan sedikit pun, kecemasan setiap detik menggerogotinya. Ini tidak benar, meski ayah jarang pulang siang, tetap saja rasanya tidak akan benar.
“Kenapa dari tadi kamu diam saja? Lalu, gelengan itu untuk apa?” Binar geli nampak di mata Shaka. “Jangan bilang, kamu malu denganku? Ya Tuhan, Kama, kita bukan hanya kenal satu atau dua hari saja.”
Kamania sesaat lupa, tentu saja Skaha tidak mengerti isyaratnya. Tatapan Kamania otomatis meneliti sekitar tempatnya duduk juga meja, untuk menemukan pulpen dan bukunya tadi lupa diletakkannya di mana.
“Ada apa? Kenapa kebingungan seperti itu?”
Diabaikan Kamania pertanyaan Shaka. Kini Kamania bahkan berjongkok untuk meleiti bawah meja, namun tidak juga melihatnya. Detik selanjutnya Kamania berdiri, dengan tatapan memindai sekitar dan berakhir pada meja kecil di paling sudut. Ternyata ... keduanya diletakkan di sana, tanpa Kamania sadari tadi.
Bergegas Kamania mengambil, kemudian kembali ke tempatnya sembari menulis beberapa kalimat di sana. Setelah selesai, Kamania langsung memperlihatkannya ke arah Shaka. “Selamat datang kembali, Shaka. Kama senang kamu pulang, bahkan sampai mengingat dan ingin menemui Kama. Tetapi, bisakah Shaka pulang sekarang? Kama meminta dengan lembut, tapi kalau Shaka mengartikannya sebagai usiran, tidak apa-apa.”
Kening Shaka langsung berkerut. “Kenapa?” Itulah yang keluar dari mulutnya. “Sebelum memasuki rumah ini, aku sudah mendapat info dari tetangga-tetanggamu. Tentang kamu yang dikurung oleh ayahmu dan tidak diperbolehkan keluar.”
Kembali lagi Kamania menuliskannya, dengan cepat sampai sama sekali tidak memperhatikan kerapian tulisannya sendiri. “Kalau Shaka tahu, seharusnya Shaka mengerti Kama. Sekali lagi Kama meminta, Shaka langsung pulang saja, ya?”
“Ada banyak yang belum kita bicarakan, Kama. Ada banyak juga yang belum kuketahui. Info yang kudapat masih sangat minim, itu sebabnya aku belum sepenuhnya mengerti kamu.”
“Apa pun yang ada di kepala Shaka, tolong sebaiknya disimpan. Kama tidak bisa memberitahu, setelah ini kita tidak akan bisa bertemu lagi. Shaka jaga diri baik-baik, ya. Kita tetap berteman. Mengetahui kita satu negara bahkan satu kota, Kama senang. Itu artinya jarak kita tidak begitu besar lagi.”
“Kenapa seolah-olah aku tidak bisa menemuimu lagi?” protes Shaka. “Kama, orang-orang bilang ayahmu selalu pulang larut malam. Menemuimu di siang hari berarti bukan masalah besar. Lagipula, apa-apaan ini? Kenapa dari tadi kamu selalu menulis tanpa mau berbicara denganku?”
“Tetap saja tidak bisa. Ayah tidak tertebak, Kama takut ini diketahui dan berakhir membuat ayah kecewa.”
“Astaga! Kamu lebih menyebalkan sekarang!” Shaka sedikit meremas rambutnya. “Kenapa tidak bicara? Menulis lebih melelahkan, bukan? Kamu selalu mempersulit dirimu sendiri!”
Embusan napas lelah berasal dari Kamania terdengar. Sikap keras kepala Shaka membuatnya kuwalahan. Tadinya Kamania tidak ingin mengungkit apa-apa, karena tidak mau Shaka ikut campur bahkan tahu kehidupan yang Kamania jalani. Tetapi laki-laki di depannya ini nekat, ia mencaritahu sendiri tanpa meminta izin terlebih dahulu.
Dengan penuh penekanan, Kamania menuliskan. Lalu untuk kesekian kalinya menyodorkan pada Shaka. “Di dalam hidup, kita selalu punya orang-orang tersayang. Shaka juga, begitu pun Kama. Dalam hal ini, Kama sangat menyayangi ayah. Sampai Kama rela melakukan apa saja untuk ayah. Termasuk, tidak pernah berbicara lagi meskipun Kama bisa. Tidak keluar rumah lagi, meskipun Kama sangat ingin.”
Shaka langsung tertegun setelah membaca, lalu tatapannya berpindah perlahan tepat pada mata Kamania. Seolah menyalami apa yang ada di sana, berusaha memahami, namun tetap saja yang ditemukan hanyalah pancaran penuh tekad. Terlihat tulus dan sama sekali terlihat tidak akan goyah.
“Apa dengan ini, kamu bahagia, Kama?”
Ada jeda beberapa saat, bukan hanya karena Kamania menulis melainkan ia sempat berpikir. Setelah merasa menemukan jawaban yang tepat menurutnya, Kamania langsung memberikannya pada Shaka. “Belum. Kama belum tahu, ... Shaka. Tapi, satu hal yang pasti, Kama senang bisa membuat ayah tidak cemas.”
Decakan keluar dari mulut Shaka. Itu karena ia tidak terima dengan jawaban Kamania. Namun, Shaka tidak bisa berbuat apa-apa. Lumayan lama mengenal membuat Shaka tahu, selain bicara Kamania yang selalu lembut dan sopan, Kamania juga terkenal penuh tekad dan sedikit keras kepala menyangkut keinginannya sendiri.
Shaka langsung bangkit, tatapannya sedari tadi tidak berpindah dari wajah Kamania. “Baiklah, aku akan pulang. Tetapi, aku tidak akan mau berjanji untuk tidak datang ke sini lagi. Karena sekarang, tugas rutinku mengunjungimu.”
“Shaka!” Spontan Kamania menegur dengan menggerakkan tangannya, juga dengan mata melebar. “Kama takut ayah tahu ...”
“Tidak akan. Aku berusaha datang di jam-jam aman.” Sudut bibir Shaka melengkung, kedua tangannya kini dimasukkan ke dalam saku. “Besok aku ke sini lagi, bahkan setiap hari. Jadi, kamu jangan kaget dan harus terbiasa. Sampai jumpa, Kama. Tidak perlu mengantar, aku bisa pulang sendiri.”
***
Lalu di keesokan hari, memang benar adanya apa yang Shaka ucapkan. Sekitar pukul sebelas siang, Shaka berdiri di depan pintu dengan kantong belanjaan di kedua tangannya. Kamania awalnya tidak ingin membuka, tetapi Shaka tidak akan kehabisan cara. Ia mengetuk pintu tanpa jeda, lalu saat tidak mendapat respon, Shaka memanggil-manggil nama Kamania dengan suara yang bisa dikatakan kencang.
Kamania yang panik langsung membuka kunci pintu, matanya langsung membola saat bersitatap dengan Shaka. Sedangkan yang ditatap tersenyum karena merasa menang. Dengan santainya Shaka menunjukkan kantong-kantong belanjaan itu di depan Kamania. “Aku membawakanmu makanan. Pasti lama sekali kamu tidak pernah merasakan makanan luar.”
Dengan tegas Kamania menggeleng. Matanya melotot memperingati, cenderung terlihat seperti seorang ibu yang menegur anaknya. Namun bukannya berhasil, Shaka yang ditegur malah terkekeh. “Jangan melucu, Kama. Wajahmu seperti anak kucing, mencoba berubah jadi anak anjing tentu tidak akan bisa.”
Kamania kesal. Dengan serampangan ia menggerakan tangan serta isyarat bibirnya yang terkesan cepat, berharap Shaka bisa mengerti. “Kama bilang jangan ke sini! Nanti ayah tahu. Shaka akan dipukul ayah.”
Raut Shaka berubah datar dalam hitungan detik. Ia mendekati Kama, tangannya terulur untuk menyentuh luka-luka yang membiru. “Apa ini yang selalu kamu dapat, Kama? Sudah berapa lama ini terjadi? Kenapa tidak mencoba kabur saja?”
Kamania menoleh ke samping agar sentuhan Shaka terlepas. Sesaat binar sendu menghinggapi wajahnya, namun ditepis Kamania sesegera mungkin. Ia menggeleng, kemudian mundur selangkah untuk menghindari kedekatan.
“Kalau kamu bersedia, aku akan membantumu kabur. Bahkan melindungi dari ayahmu, karena ini sudah tidak wajar lagi. Tidak ada seorang ayah yang terus-terusan memukul anaknya. Kemarin aku melihat beberapa luka, sekarang bertambah. Lama-kelamaan kamu bisa mati, Kama.”
Kata-kata Shaka membuat Kamania marah. Ia yang tahu ayah lebih dari apa pun, orang lain tidak berhak menuduh ayah seperti itu. Kamania bukan menganggap ayah baik, tetapi bukan juga menganggapnya buruk.
Kembali Kamania menggeleng dan mundur. Bibirnya membentuk garis lurus dengan menatap tepat di manik mata Shaka. Bibirnya bergerak dengan pelan, tanpa suara yang terdengar. “Shaka tidak tahu apa-apa ... jadi, jangan pernah berbicara seperti itu.”
Terlihat kalau Kamania tidak ingin menerima Shaka. Itu membuat Shaka tersadar kalau yang dibicarakannya sama sekali tidak tepat. Dalam hati, Shaka mengutuk dirinya sendiri karena gegabah seperti ini. Mereka baru bertemu, tetapi Shaka berlagak seakan sudah tahu semuanya.
“Maaf, Kama. Tadi aku berbicara tanpa pikir panjang, karena kupikir kamu tersiksa.”
“Pulang, Shaka ...”
“Tidak. Aku sudah berjanji dengan diriku sendiri, tiba di Indonesia aku harus menemuimu. Kita masih berteman, Kama. Dulu atau sekarang hubungan kita tidak akan semudah itu diakhiri.” Shaka bersungguh mengatakannya. Jika ada hal yang tidak bisa Shaka lupakan di dunia, maka Kamania termasuk di dalamnya. Tuhan, bahkan diri Shaka sendiri lebih dari tahu seperti apa perasaannya pada Kamania. “Jadi, biarkan aku satu-satunya yang menghiburmu, menemanimu. Kalau ingin tahu seperti apa kondisi luar, aku tidak keberatan bercerita. Aku akan membawakan semua barang yang kamu inginkan, bahkan termasuk belajar berbahasa isyarat asal bisa berkomunikasi denganmu.”
Jujur saja, Kamania tidak ada apa-apanya dibanding orang-orang yang ada di sekitar Shaka. Makanya ia tertegun sekaligus tersentuh. Kamania pikir apa ia berhak mendapat hal seistimewa ini dari Shaka? Sementara mereka hanya berteman saja.
“Kama, aku akan memastikan kedatanganku tidak akan diketahui ayahmu. Percayalah.”
Kekeh menolak bukan berarti Kamania benar-benar tidak ingin, ia hanya takut. Bukankah hal ini sama seperti membohongi ayah?
“Kamania ... aku tahu kamu suka sekali menyanyi. Kamu mau mendengar lagu-lagu dari penyanyi kesukaanmu lagi? Aku akan membawakannya setiap hari untukmu.”
Ada rasa bahagia yang membuncah, sampai-sampai Kamania berkaca. Tetapi ... ia masih berperang dengan hati dan pikirannya.
“Tidak apa-apa tidak berbicara, asal biarkan kita bertemu seperti ini, Kama ...”
Mata Kamania memejam. Semua yang Shaka katakan seolah terngiang-ngiang di kepala, membuat Kamania tidak tenang. Hingga ia menarik napas berat lalu perlahan mengembuskan, itu dilakukannya berulang-ulang.
Kamania memutuskan untuk sedikit egois demi kebahagiaannya sendiri. Ia gerakkan tangannya dengan pelan, begitu juga bibirnya. Hingga tercipta tiga kata, yang singkat namun berhasil membuatnya menangis bahagia. “Shaka, Kama ... mau.”
***