Waktu itu Rajata berusia 15 tahun, di mana kecelakaan merenggut nyawa kedua orang tuanya. Di saat prosesi pemakaman dilangsungkan, Rajata sama sekali tidak menangis. Berbagai tatapan kasihan diberikan pada Rajata, namun sama sekali tidak berhasil membuat Rajata meneteskan air mata.
Tapi setelah semuanya sudah berlalu, saat itulah mimpi buruk dimulai. Rajata mengurung diri di kamar kedua orang tuanya, dengan tatapan kosong dan bibir pucat pasi. Perlahan cairan bening itu keluar, setetes demi setetes sampai akhirnya merebak deras. Rajata menangis dengan keras, melampiaskan rasa sakit dan rasa kehilangannya. Bibir Rajata terus menggumamkan kalau semua yang terjadi barusan hanyalah mimpi semata. Semuanya tidak benar.
Sampai opa dan omanya yang berdiri di depan pintu kamar merasa sangat cemas, namun tidak ada satu pun dari mereka yang masuk. Karena mereka ingin memberikan waktu pada Rajata untuk menenangkan dirinya sendiri.
Ardian Adyatama sudah menyadari kalau ada yang aneh dengan cucunya tapi Ardian tidak memiliki waktu untuk bertanya, sebab para relasi bisnis terus berdatangan menyampaikan belasungkawa atas meninggalnya CEO Adyatama Group, anak pertama Adrian yaitu Pramudiaji Adyatama.
Kecelakaan itu menewaskan anak dan menantunya sekaligus. Saat itu Pram dan Bela–mama Rajata–menitipkan Rajata pada mereka, karena mereka akan pergi ke Bandung untuk menziarahi makam orang tua Bela. Namun malang tidak bisa dihindari, mobil yang dikemudikan Pram sendiri terlibat kecelakaan beruntun di jalan tol.
Dari informasi yang didapat, sebuah truk dengan kecepatan tinggi hampir menghantam truk lain dari arah berlawanan. Truk tersebut berusaha menghindar namun malah menghantam bagian depan Toyota Camry yang dikendarai Pram.
Air bagi sebenarnya bisa menyelamatkan mereka, jika saja tidak ada sebuah tronton yang kembali menghantam bagian kiri mobil. Menyebabkan mobil terbalik beberapa kali, sampai ringsek. Menurut tim penyelamat yang berhasil mengevakuasi korban, Pram ditemukan dalam posisi melindungi istrinya. Berusaha menyelamatkan belahan jiwanya meskipun mereka sama-sama tidak selamat.
Jelas itu pukulan hebat untuk keluarga Adyatama, terlebih untuk Rajata yang merupakan anak satu-satunya dari Pram dan Bela. Sama sekali tidak terbayangkan posisi Rajata yang harus kehilangan orang tua di usia yang semuda itu.
Fatmawati Adyatama sudah menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca, sementara tangannya meremas tangan sang suami. “Aku tidak tega mendengar Raja seperti itu, Mas.”
“Tenangkan dirimu, Fatma. Raja anak yang kuat, jauh lebih kuat dari yang orang-orang lihat. Aku yakin dia bisa melewatinya.” Ardian menatap teduh kemudian balas menggenggam tangan Fatmawati. “Dia Raja, cucu kebanggaan kita.”
Sementara itu Rajata berkubang dalam tangisan. Suaranya nyaris hilang akibat isakkan yang begitu menyakitkan. Rajata sampai menunduk dengan kedua tangan bertumpu di lantai untuk menopang tubuhnya. Hingga tiba-tiba terdengar bunyi pintu di dobrak dengan keras dan tidak lama seorang anak kecil bertanya dengan polosnya, “Abang kenapa?”
Pertanyaan itu sukses membuat Rajata berhenti menangis. Rajata bahkan mendongak memandangi anak kecil tersebut. Dia adalah Wishaka Nandana Adyatama, anak dari paman Rajata yang tak lain adalah sepupu Rajata sendiri. Rajata memandangi Shaka sambil sesegukkan, seolah bertanya-tanya akan atensi kehadiran Shaka di kamar orang tuanya.
“Kenapa Abang menangis? Jangan menangis!” Nada bicara Shaka berubah, kemudian tidak lama Shaka terduduk dengan kaki menendang-nendang, selanjutnya Shaka-lah yang menangis dengan keras. “Abang jangan menangis!”
Tindakan Shaka berhasil. Rajata bahkan terdiam dengan tatapa fokus pada Shaka. Sementara itu, Ardian dan Fatmawati yang berdiri di depan pintu, saling berhadapan lalu menatap kedua cucunya bergantian. Setidaknya untuk sementara, Rajata teralihkan dari kesedihannya.
***
Setelah hari terkelam itu, semuanya berubah drastis. Rajata yang tadinya dekat dengan siapa saja, kini berubah jadi penyendiri dan irit berbicara. Bahkan pada Shaka yang notabenenya sepupu Rajata sendiri. Terlebih saat opa dan omanya meminta Rajata untuk tinggal bersama mereka, Rajata dengan keras menolak. Padahal sebelumnya, Rajata selalu menuruti permintaan opa dan omanya.
Rajata tetap menempati rumah kedua orang tuanya, bersama dengan tiga pelayan dan satu tukang kebun yang merangkap sebagai sopir yang sudah ada semenjak Rajata belum lahir. Jika biasanya mereka digaji oleh orang tua Rajata, maka sekarang berbeda. Mereka dibayar langsung oleh opa Rajata dan memiliki tugas khusus untuk melayani serta menyiapkan semua kebutuhan Rajata. Kakek Rajata memantau keadaan Rajata lewat mereka.
Semua itu terlihat baik-baik saja dan berjalan sebagaimana mestinya. Namun, semua orang tidak mengetahui kalau sebenarnya Rajata mengalami kesulitan tidur. Dalam satu hari satu malam, Rajata hanya bisa terlelap paling lama tiga jam. Itu bermula setelah kematian orang tuanya.
Rahasia itu tersimpan rapat dalam jangka waktu yang lama. Sampai Rajata menamatkan SMA, bahkan kuliah pun gangguan tidur menjadi satu-satunya kelemahan Rajata. Hingga suatu ketika, saat di mana Rajata pertama kali menyiksa dirinya dengan olah raga yang berlebihan.
Rajata menemukan sebuah fakta, yaitu Rajata bisa tertidur sampai lima jam lamanya. Saat itulah Rajata tahu, kalau tubuhnya dibuat terlalu lelah maka jam tidurnya sudah dipastikan akan bertambah satu sampai dua jam.
Maka Rajata putuskan untuk melakukan olah raga yang berlebihan. Selanjutnya, setiap malam Rajata selalu mengurung diri di ruang gym atau bahkan bermain skuas sampai tubuhnya benar-benar mandi keringat.
Kemudian setelah Rajata menamatkan S1 Manajemen, opa Rajata sendiri yang memasukkan Rajata di perusahaan dan menempati sebagai staf HRD. Di sisi lain, Rajata juga melanjutkan magisternya di kota yang sama, sebab Rajata sama sekali tidak punya keinginan untuk meninggalkan rumah kedua orang tuanya.
Di samping sisi dingin dan tak tersentuh Rajata, Rajata mempunyai kepintaran di atas rata-rata. Di mana hal itu membuat sang opa bangga. Tapi jelas dengan sisi kelemahannya yang tidak diketahui orang-orang.
Tepat di usia 30 tahun, Rajata dipilih sebagai baru CEO Adyatama Group, mendepak posisi pamannya yang belasan tahun hanya menjabat sebagai CEO pengganti sementara. Hal itu atas dasar keinginan opa Rajata, karena oopa Rajata memiliki saham paling besar yang disatukan dengan saham almarhum papa Rajata.
Jelas saja keputusan itu mengundang rasa tidak terima dari berbagai pihak, terutama dari pamannya sendiri. Alih-alih merasa terbebani dengan tanggung jawab barunya, Rajata justru menikmati itu. Karena dengan jabatan ini, Rajata bisa menggenggam semuanya. Rajata bisa mengontrol apa saja sesuai keingiannya dan membuang orang-orang tidak berguna.
Rajata tahu pamannya tidak menyukai Rajata, terlebih pada cara kepemimpinan Rajata yang selalu mendepak orang-orang pamannya. Rasa tidak suka itu bahkan ada semenjak almarhum papanya masih hidup. Paman Rajata iri dengan mereka dan selalu ingin serakah, tidak puas dengan apa yang dimilikinya. Maka dari itu Rajata ingin membut pamannya tidak tenang, dengan menumbuhkan rasa iri itu semakin membesar dan semakin membesar setiap harinya.
***