Menutup Aib Rapat-rapat

1136 Words
"Tuan Gerald. Nona sudah pulang, Tuan." Perkataan yang disampaikan oleh pengurus rumah keluarga Livingston. Gerald nyaris tidak percaya dengan apa yang ia dengar, hanya dari sambungan telepon selulernya. Dan langsung pergi dari kantor, lalu pulang untuk melihat langsung kebenarannya. "Dimana dia?? Dimana adikku!??" Pertanyaan yang Gerald lontarkan ketika ia memasuki pintu depan. Seorang laki-laki paruh baya nampak membungkukkan tubuhnya disertai tangan kanan yang menyilang di d**a. "Nona sedang berada di kamarnya, Tuan," jawab lelaki tersebut yang tak lain adalah pengurus mansion keluarga Livingston, Ernest. Tak lagi banyak berkata-kata. Gerald bergerak cepat menaiki tangga dan pergi menuju kamar sang adik. Sebuah kamar dengan pintu coklat mengkilat. Dan langsung Gerald ketuk pintu tersebut, ketika sudah berada di depannya. "Griz?? Grizelle?? Kamu di dalam?" tanyanya disertai ketukan pintu. Tidak ada jawaban dari dalam sana. Meski Gerald berkali-kali memanggil dan juga mengetuk pintu. Hingga ia menyuruh pelayan untuk mengambilkan kunci cadangan, lalu masuk tanpa meminta persetujuan dari adiknya tersebut. Pintu dibuka lebar-lebar oleh pelayan. Gerald berhamburan masuk ke dalam dan duduk di tepi tempat tidur, di samping adiknya yang tengah membalut tubuhnya sendiri dengan selimut putih. Menyisakan setengah dari kepalanya saja. "Griz?" panggil Gerald. Kepada wanita yang tengah terpejam di atas ranjang besarnya. Grizelle bergeming dengan mata terpejam. Tidak tidur. Namun, tidak ingin diganggu dan tidak ingin bertemu dengan siapapun. Gerald mengulurkan tangannya. Berusaha untuk menyibakkan selimut tebal yang membalut tubuh Grizelle. Tapi terasa sulit, karena Grizelle mencengkram erat selimut tersebut, agar tidak turun. "Hei, Griz. Ini kakak," lirih Gerald. Grizelle menggerakkan tubuhnya, hanya untuk mengubah posisi menjadi membelakangi tubuh kakaknya itu. "Tolong keluar, kak. Aku mau sendirian," pinta Grizelle lirih. "Tapi kenapa? Ayo keluar. Kakak ingin melihat keadaan kamu," pinta Gerald yang dijawab dengan sebuah gelengan kepala. "Nggak, Kak. Griz capek. Mau istirahat. Tolong jangan diganggu dulu." Helaan napas Gerald lakukan. Mungkin, ia harus mengikuti keinginan adiknya ini. Tidak mengganggu dulu dan membiarkannya untuk berisitirahat sejenak. Toh ia sudah kembali ke rumah. "Ya sudah. Kakak tinggal ya? Kamu istirahat lah. Nanti baru kita bicara lagi," ucap Gerald. Sebelum ia bangkit dan pergi meninggalkan kamar sang adik. Sepeninggal Gerald. Grizelle mulai keluar dari dalam selimut. Lalu turun dari atas tempat tidur dan pergi ke balkon kamar. Ia berdiri di sana. Menikmati aroma kebebasan, yang tidak ia dapatkan beberapa hari ke belakang. Malam harinya. "Jadi benar dia yang melakukannya??" cecar Gerald. Saat Grizelle sudah bisa lebih tenang dan duduk sambil bersandar di tempat tidurnya. Grizelle menghela napas panjang dan memalingkan wajahnya. Tidak mengatakan iya ataupun tidak. Tapi, dari raut wajahnya sudah mengisyaratkan, bila semua dugaannya adalah benar. "Kak, kita nggak usah bahas hal ini lagi bisa kan??" pinta Grizelle tanpa menatap wajah Gerald di sampingnya. "Kenapa?? Dia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. Kakak akan menjebloskan dia ke dalam penjara!" cetus Gerald menggebu-gebu. Grizelle menyunggingkan bibirnya dan berkata, "Dan membiarkan semuanya terbongkar?? Apa yang terjadi kepada aku, semua orang akan tahu??" Grizelle memalingkan wajahnya dan menatap Gerald dengan lekat. " Itu yang kakak inginkan?? Ini akan jadi berita, Kak. Semua orang akan tahu, apa yang sudah terjadi kepada aku. Malu, Kak. Griz malu." Saliva ditelan dengan begitu sulit oleh Grizelle sambil memalingkan wajahnya kembali. Ia juga tidak ingin melihat lelaki b******k itu berkeliaran dengan bebas. Setelah apa yang telah diperbuat kepadanya. Tapi, ia tidak mungkin membongkar aibnya sendiri. Untuk saat ini, biarkan saja. Ya, biarkan saja b******n itu bebas. Namun, saat ada kesempatan dan peluang. Ia sendiri yang akan membalasnya dengan hal yang tidak kalah sakit. Gerald berangsur naik dan meluruskan kakinya, ikut menyandarkan tubuhnya di samping Grizelle. Ikut menyandarkan punggungnya pada sandaran tempat tidur dan menatap lurus ke depan. "Iya kamu benar. Kalau hal ini sampai ke media masa. Semuanya hancur sudah, reputasi keluarga kita. Kasihan Papa. Kalau sampai tahu tentang apa yang terjadi." Helaan napas Gerald ciptakan. Ia mengulurkan tangan kirinya. Meletakkannya di atas kepala Grizelle dan mengusapnya dengan lembut. "Kakak temani kamu malam ini ya?" Gelengan kepala yang begitu kuat Grizelle lakukan. "Nggak perlu, Kak. Aku cuma mau tidur sendirian. Aku nggak mau ada laki-laki di samping aku saat tidur." Cukup malam-malam kemarin ia tidur bersama dengan pria asing. Bahkan, bukan hanya sekedar tidur biasa. Meskipun, saat kecil ia terbiasa pergi ke kamar kakaknya untuk meminta ditemani saat bermimpi buruk. Tapi sekarang, semuanya sudah sangat berbeda. Yang jelas, Grizelle hanya ingin sendirian. Tidak ada siapapun di dalam kamar selain dirinya sendiri. Apalagi, bersama dengan lawan jenis. "Ya sudah. Kamu istirahat. Kakak akan keluar," ucap Gerald yang berangsur turun perlahan dari atas ranjang adiknya, lalu berjalan keluar sambil menutup pintunya kembali. Grizelle bergeming disertai helaan napas yang panjang. Ia mulai menyilangkan kedua tangannya di d**a dan mendekap tubuhnya sendiri. Masih terasa seperti mimpi. Tapi yang terpenting, ia sudah kembali. Ia sudah bebas sekarang. Satu bulan kemudian. Grizelle menyandarkan kedua tangannya pada pagar pembatas balkon. Menikmati udara pagi dari atas sana. Hingga sebuah suara membuatnya menoleh dan menatap orang yang sedang berdiri tepat di belakang tubuhnya. "Kamu sedang apa di sini?? Ayo kita pergi sarapan," ajak Gerald. Grizelle kembali memalingkan wajahnya dan menatap lurus ke depan. Sementara Gerald mengikuti dan melakukan hal yang dengan Grizelle, yaitu bersandar di pagar pembatas balkon. "Nanti aja, Kak. Belum lapar." "Nanti kamu sakit. Kakak bertugas menjaga kamu di sini. Jangan sampai terjadi apa-apa. Papa dan Mama pasti khawatir." Grizelle tak lagi menimpali dan hanya menyunggingkan senyumnya. "Apa kamu tidak bosan? Tidak ingin berjalan-jalan? Sudah satu bulan ini, kamu tidak pernah keluar dari rumah. Biasanya, kamu selalu ingin pergi hangout," ujar Gerald. "Di rumah lebih aman, Kak. Kalau Griz keluar. Entah apa yang akan terjadi nanti. Jadi lebih baik dan lebih aman di rumah kan? Daripada harus berkeliaran di luar??" Ada sedikit kelegaan di hati Gerald. Karena ia sudah tidak perlu lagi bersusah payah menjaga adiknya ini. Tapi, tetap saja ada hal yang mengganjal pikirannya. Apa adiknya ini mengalami traumatis yang cukup parah? Hingga tidak ingin menyentuh dunia luar dan hanya mengurung diri di dalam kamar. "Tapi sesekali kamu juga harus menghirup udara segar di luar sana. Kalau kamu ingin pergi berjalan-jalan. Katakan saja. Biar kakak yang menemani kamu," ujar Gerald yang mencoba untuk menciptakan sebuah lengkung senyuman, sambil menatap adiknya, yang kini nampak menundukkan kepalanya sambil membekap mulutnya sendiri. Sebuah senyuman kini berubah jadi kerutan yang begitu banyak di dahi Gerald. Ia menyentuh bahu Grizelle dan sedikit menundukkan kepalanya, untuk menatap wajah sang adik. "Griz? Kamu kenapa?" Grizelle menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Sebelum akhirnya berbalik dan berlari ke dalam kamar mandi. "Hoek hoek!!" Isi perutnya Grizelle muntah kan. Rasanya begitu mual dan juga tidak nyaman. Ia terus berusaha untuk menguras isi perutnya. Menghilangkan rasa mual yang cukup parah ia rasakan. Mulutnya ia basuh. Ketika sudah merasa cukup lega. Dan saat mendongak, lalu menoleh ke arah pintu kamar mandi. Gerald yang berdiri di ambang pintu. Menatap adiknya dengan raut wajah tidak percaya. Percaya atau tidak. Ada satu ketakutan yang kini tengah menyelimuti perasaan Gerald. Apa jangan-jangan adiknya itu...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD