CHAPTER 1

4191 Words
Suara ketukan pintu yang terus-menerus memaksaku untuk membuka kedua mata. Aku berkedip beberapa kali sambil menutup telingaku dengan telapak tangan rapat-rapat. “Siapa?” Tanyaku memekik. “It's me!” Suaranya yang sudah sangat kuhafal membuatku beranjak dari tempat tidur secepat mungkin. Pandanganku menatap sekitar kamar yang tampak kosong sesaat sebelum membukakan pintu. “Hai, Blake.” Aku menyapanya yang dibalas dengan kening berkerut dan senyum kecutnya. Ya, dia adalah Blake Pierce, pacarku. “Demi Tuhan, Molly apa kau lupa hari ini hari apa?” Aku memutar bola mataku malas. Hari ini adalah tanggal satu Juni. Awal liburan musim panas. “Aku sudah bilang padamu berkali-kali, aku tidak ingin pulang. Aku ingin di asrama saja.” “Dengan siapa? Teman sekamarmu sudah pulang, dan aku tidak mungkin tinggal di sini bersamamu.” Blake berdecak kesal dan memegang kedua bahuku. “Aku tidak memintamu tinggal di sini. Sungguh, Blake, aku tidak mau pulang. Aku lebih baik di sini sendirian daripada harus menderita lagi seperti dulu.” Pikiranku kembali memutar memori menyakitkan serta menyebalkan itu. Dimana kakakku selalu menindasku dengan caranya yang kejam. Dan ibuku yang tidak pernah mempermasalahkannya. “Itu sudah tiga tahun yang lalu, sayang. Apa yang harus kau takutkan? Kakakmu pasti sudah berubah.” “Bagaimana kalau tidak? Kau berani bertaruh apa?” Cecarku. “Ayolah, Molly, tidak mungkin selamanya orang menjadi jahat. Dulu kakakmu mungkin terlalu kekanakkan, tetapi tiga tahun pasti sudah membuatnya lebih dewasa sekarang. Jadi, kemungkinan dia akan menindasmu seperti dulu itu kecil sekali.” Si Blake ini benar-benar suka sekali memaksa orang. Meskipun kalau dipikir-pikir dia ada benarnya juga. Aku menghela napas panjang. “Tapi aku masih takut,” rengekku membuatnya tertawa. “Kau sudah besar, tapi bertingkah seperti bayi. Begini saja, bagaimana kalau aku yang mengantarmu pulang ke London?” Aku berpikir sejenak. Rasanya masih tidak ingin pulang. “Ditambah aku tinggal di sana selama tiga hari?” Dan aku mengangguk setuju. “Deal.” Setelah lulus SMP ibuku mengirimku ke sekolah asrama di Middlesbrough, dan sudah tiga tahun ini aku tinggal di asrama belum pernah kembali ke rumah sekalipun, aku sama sekali tidak merindukan tempatku dibesarkan itu. Yang ada hanya rasa takut bersarang di hatiku selama tiga tahun ini. Dan rasa takut itu menjelma menjadi kengerian ketika mobil Blake berhenti tepat di depan gerbang rumahku yang besar. Aku menelan ludah, memperhatikan perubahan warna pada catnya. Dulu sebelum aku meninggalkan rumah catnya berwarna merah muda dan putih, tetapi sekarang hanya ada warna putih. Bahkan sampai gerbangnya bercat putih. “Kurasa aku tidak salah alamat. Kenapa kau belum turun?” “Aku takut, Blake.” Rumah itu terlalu banyak menyimpan kenangan buruk. “Kalau kau terus merasa takut kapan kau akan berani? Lagipula kakakmu memang masih tinggal bersama ibumu?” Benar! Blake benar. Aku lupa kalau ibuku pernah memberitahuku dua tahun lalu, bahwa setelah aku pergi kakakku juga pergi dari rumah dan tinggal di apartemen miliknya sendiri. Ibu juga bilang dia hanya pulang ke rumah setiap dia libur bekerja. Dan setahuku hari ini bukan hari libur untuk pekerja kantoran. Senyumku mengembang sempurna. Aku pun keluar dari mobil dengan berani. “Mom, aku pulang!” Seruku sambil melambaikan tangan pada kamera pengawas. Lalu gerbangnya terbuka secara otomatis. Blake langsung memasukan mobilnya ke dalam dan memarkirkannya di sebelah mobil ... Bentley Mulsanne? Aku mendekati mobil itu saking penasarannya. Kenapa mobil semahal ini ada di sini?, batinku. Kulihat Blake yang baru keluar dari mobilnya juga terlihat penasaran sepertiku. “Wow ... ini mobil ibumu? Selera yang bagus.” Dia terkekeh pelan dengan kedua mata mengamati si Mulsanne. “Tidak. Ini bukan mobil ibuku. Tuh, lihat di sana, baru itu mobilnya.” Blake mengikuti telunjukku yang mengarah ke garasi dan melihat mobil Chevrolet Captiva milik ibuku. “Sepertinya ada yang tidak beres. Jangan-jangan ...” Pikiranku menebak itu mobil milik, “Kekasih baru ibuku?” Entah aku berjalan secepat apa sehingga tiba-tiba aku sudah sampai di ruang tengah rumahku, mendahului Blake yang tadinya berjalan di sampingku. “MOM!” Panggilku tak sabaran. Langkahku pun melambat, lalu terhenti setelah melihat sosok yang paling kutakuti. Sial, ternyata mobil itu miliknya. Tapi, mengapa dia ada di rumah? Aku mengira dia tidak menyadari kedatanganku karena terlihat sedang asyik menonton TV sehingga aku mundur selangkah demi selangkah. Namun dengan mengejutkan dia menolehkan kepalanya ke arahku. Tubuhku pun gemetar tak karuan. “Oh Molly!” Serunya. Kemudian bangkit dari duduknya. Senyum seringaiannya begitu sama seperti terakhir kali aku melihatnya. Begitu menakutkan. “K ... Karlssen.” Keterbataanku menyebut namanya membuat seringaian di bibirnya semakin lebar. Dan itu bukanlah pertanda baik. Oh Tuhan, kumohon jangan lagi! Ditengah-tengah suasana mencekam, Blake dan ibuku datang secara bersamaan. Blake seketika terlihat menegang kala melihat kakakku. “Akhirnya kau pulang, Moll. Kemarilah, sayang!” Ibu langsung memelukku erat sambil mengguncang-guncang tubuhku. “Aku sangat merindukkanmu.” “Kau siapa?” Pertanyaan Karlssen membuat ibuku menguraikan pelukannya dan menatap Blake. “He's my boyfriend, Blake.” Meluncur begitu saja dari mulutku dengan angkuh. Entahlah, kupikir dengan begitu Karlssen tidak akan berani menindasku lagi. Seringaian Karlssen menghilang; ekspresinya tidak berubah sedikitpun. Selalu datar. Dia memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya, dan berbalik pergi ke kamarnya. Dalam hati aku hanya bisa bersyukur. Sepertinya dia tidak berani menindasku lagi mendengar Blake adalah pacarku. Yah, secara Blake itu terlihat cukup kuat dengan tubuhnya yang sama besar seperti kakakku. Barangkali Karlssen takut kalah berduel dengan pacarku. “Jadi, kau pacar putriku. Apa kau yang mengantar Molly ke sini?” Aku tidak tahu kenapa ekspresi di wajah ibu terlihat tidak suka. “Yes, Mrs. Greene.” Untungnya Blake terlalu bodoh membaca ekspresi orang. Dia terlihat baik-baik saja; malah cengengesan. “Baiklah, ini sudah hampir malam, kalian ikut aku. Kita makan malam bersama.” Aku dan Blake mengekor di belakang ibu. Sesekali mataku memperhatikan perubahan benda-benda disetiap ruang yang kulewati. Tidak terlalu ada banyak perubahan. Apalagi dengan suasananya. Sama sekali tidak berbeda seperti tiga tahun lalu. Tidak menyenangkan. Di meja makan panjang, segala macam hidangan tersedia. Cukup mengherankan bagiku, seperti ibuku tahu aku akan pulang hari ini. Padahal aku tidak memberitahunya akan pulang. Entahlah, kepulanganku ini sungguhan mendadak. “Silahkan duduk,” ucap ibuku. Perutku terlalu lapar untuk berpikir lagi, jadi aku segera duduk dan membalikkan piringku, mengisinya dengan sepotong daging ayam kalkun panggang. Sedangkan Blake hanya duduk dan diam setelahnya. “Molly, apa kau lupa?” Tanya ibuku, mengingatkanku akan Karlssen yang belum menempati kursi makannya. “Tidak apa, Mom. Aku sudah di sini.” Aku terdiam merasakan bulu kudukku meremang. Karlssen terduduk tepat di seberangku. Dia lalu melemparkan senyum andalannya yang mampu membuatku bergidik takut. Rasa laparku hilang seketika. “Blake, silahkan dimakan. Jangan malu-malu.” Setelah itu ibuku sibuk menikmati makanannya, yang lalu diikuti oleh Blake. Bola mata dengan lensa sebiru air laut milik Karlssen belum berhenti menatapku. Akibatnya, aku hanya menundukkan kepalaku dan diam saja tanpa berniat menyentuh makanan di piringku sedikitpun. Demi Tuhan, aku takut padanya. Bukan hanya takut, tetapi trauma berat. Sejak kecil aku selalu diperlakukan buruk olehnya. Karlssen adalah orang yang tidak punya hati. Entah mengapa dia sangat membenciku sampai-sampai merusak masa kecilku dengan sikap kejamnya yang sungguh keterlaluan. Aku masih ingat betul dia pernah hampir membunuhku sewaktu umurku masih sembilan tahun. Menceburkanku ke dalam danau yang dalamnya melebihi tinggi tubuhku yang hanya satu meter lebih. Satu lagi, dia bahkan pernah mengasingkanku ke suatu tempat. Kalau saja ibu tidak mencariku, mungkin aku tidak akan berada di meja makan ini sekarang atau bertemu dengan Blake Pierce. “Molly, kau tidak mau makan?” tanya Karlssen datar. Hal itu mengundang perhatian ibuku dan Blake yang kini menatapku sambil mengunyah makanan di mulut mereka. “Kau sakit? Wajahmu pucat sekali, Molly.” Blake yang duduk di sampingku melayangkan tangannya menyentuh dahi dan pipiku bergantian. “Tidak. Aku tidak apa-apa,” jawabku sambil menyingkirkan tangan Blake dari wajahku. Meski takut aku memberanikan diri mengangkat kepalaku untuk menatap si ‘menyebalkan’ Karlssen. Aku tahu dia pasti ingin membuatku semakin merasa takut. Aku tidak sudi menjawab pertanyaannya, lebih memilih makan pada akhirnya. “Nah, begitu.” Karlssen terkekeh pelan, melipat kedua tangannya di atas meja. “Jadi, bagaimana rasa masakanku?” Sukses membuatku tersedak sampai terbatuk-batuk. Gosh ... “Molly kau kenapa? Ini minumlah.” Blake menyodorkan segelas air padaku, wajahnya tampak khawatir. “Uhuk ... tak apa, Blake. Aku ke toilet dulu.” Secepat mungkin aku beranjak dari meja makan menuju ke dapur, lalu ke halaman belakang rumah dan menghirup udara segar. Sialan sekali si Karlssen. Dia benar-benar belum berubah. “Kenapa dia begitu senang mempermainkanku?” Aku menghela napas panjang dan terduduk di tepian kolam ikan. Entah berapa lama, yang pasti aku tidak ingin kembali ke meja makan dan makan makanan masakannya. Tidak mau. Karena mungkin saja dia menaruh racun di makanan itu. Tunggu dulu, sekarang aku tahu. Ibuku tidak tahu aku akan pulang hari ini, melainkan ... Karlssen? “Inikah balasan atas sambutanku?” Aku terdiam. Sial, benar-benar sial. “Kau memang adik yang tidak tahu diri.” Sekujur tubuhku mendadak menggigil. Aku tidak bisa berbalik badan untuk menghadapinya, terlalu takut. Jantungku saja rasanya sudah hampir meledak. Dan aku nyaris pingsan saat dia terduduk tepat di sampingku. “Kau tahu berapa lama waktu yang kuhabiskan untuk memasak?” tanyanya berbisik di telingaku. Mataku memejam, merasakan rasa takut menguasaiku. Aku hanya bisa meremas kuat-kuat rok berbahan jins selutut yang kupakai. Sampai kudengar Karlssen tertawa cukup keras. “Tidak perlu takut, Molly. Aku tidak sungguhan marah.” Aku pun membuka kedua mataku, memberanikan diri menoleh ke samping dan menatapnya. Sangat menyebalkan. Biarpun dia tertawa, tetap saja dia mengerikan. Aku tidak tahu mengapa Tuhan memberikannya tampang yang rupawan, namun sikapnya sungguh buruk. Tidak, aku tidak sedang memujinya. Aku bicara tentang fakta. Karlssen menatapku seusai tertawa. Dia menyeringai kecil sebelum berdiri. “Kembalilah ke meja makan. Atau aku akan menendang b****g pacarmu agar keluar dari rumah ini.” Lalu dia pun pergi meninggalkanku. Aku bersumpah, aku benci diriku yang pengecut ini. Setelah makan malam selesai, aku bersama Blake mengambil koperku yang masih di dalam bagasi mobilnya. “Blake, menginap saja di sini. Temani aku,” kataku membujuknya. Aku tidak bisa tinggal di rumah jika ada Karlssen. “Tidak bisa, Molly. Aku merasa tidak enak dengan ibumu.” “Tapi kau lihat sendiri. Ada kakakku di sini. Bagaimana kalau dia menggangguku?” Pacarku ini malah menertawaiku. Lantas dia bilang, “Karlssen sudah terlalu dewasa untuk mengganggu adiknya yang masih bersekolah.” “You just don’t know him, Blake. Begini saja, aku ikut denganmu bagaimana?” “Jangan. Molly, kalau kau ikut denganku, ibumu akan marah padaku. Bukankah kita sudah sepakat? Aku akan tinggal di London sampai tiga hari ke depan. Aku akan ada untukmu 24 jam selama itu. Kau bisa menghubungiku kalau kakakmu macam-macam, aku akan segera datang.” “Promise?” “I promise, my love.” Kedua tangan Blake menangkup wajahku, lalu mengecup bibirku selama beberapa detik. Menghadirkan sedikit ketenangan di hatiku. “Baiklah, kalau begitu aku pergi,” katanya. Rasanya tidak rela membiarkan Blake pergi, aku memeluknya erat-erat. “Blake, jangan pergi.” “Ayolah, Molly ... besok pagi aku ke sini lagi.” “Benarkah?” “Ya. Kita keliling kota ini. Kau pernah berjanji padaku ‘kan akan mengajakku berkeliling kota London?” Aku hanya mengangguk antusias; Blake tersenyum lebar mencubit pipiku. “Kau menggemaskan sekali.” “Ya, aku tahu.” Lalu kami berdua tertawa. “I love you, Molly Greene.” Ucapannya begitu membius, membuatku rela berjinjit untuk menciumnya. Yah, Blake ini sungguh tinggi, padahal usianya hanya berbeda setahun dariku. “I love you too, Black Pierce.” Kemudian dia masuk ke dalam mobilnya sambil cengengesan. “Sampai jumpa besok, Molly.” Dan lalu mengendarai mobilnya keluar dari gerbang rumahku. Ketenangan di hatiku menghilang bersamaan dengan mobil Blake yang kian menjauh. Aku menghela napas panjang sebelum menyeret koperku masuk ke dalam rumah. Sekarang perasaanku sungguh tidak enak. “‘I love you, Molly Greene’ yang benar saja?” Suara bariton Karlssen yang mengalun sarkastis mengagetkanku. Aku menelan ludah, berhenti melangkah. Saat aku menengok ke samping, kudapati Karlssen yang sedang berdiri di depan jendela tersenyum padaku. Aku rasa dia habis menguping pembicaraanku dengan Blake. “Sejak kapan kau disitu?” tanyaku ragu. Senyum di bibirnya menghilang, berganti dengan tawa renyah. “Molly, sebaiknya kau jangan terlalu percaya pada si Pierce itu. Aku meragukan dia orang baik.” Sambil berjalan mendekat ke arahku. Dalam hati aku teramat kesal, sekarang apakah dia sedang memprovokasiku dengan berkata begitu? “Kurasa itu bukan urusanmu, Karl.” Entah bagaimana aku bisa mengatakan itu. “Oh jelas itu urusanku, Moll. Kau adikku, ‘kan? Aku peduli padamu.” Dia semakin dekat; aku mundur selangkah demi selangkah. “Jadi, urusanmu adalah urusanku.” Aku kehabisan ruang di belakangku, tubuhku sudah menabrak dinding. “Blake itu orang baik. Aku ... percaya padanya.” Karlssen memotong jarak di antara kami, hanya menyisakan beberapa senti. Kedua tangannya yang kekar bertopang pada dinding, mengurungku hingga tidak dapat bergerak. Lalu dia terkekeh-kekeh. “Really? Sudah berapa lama kau mengenalnya, eh?” Jantungku ingin copot dibuatnya. Aku bersumpah tengah ketakutan setengah mati saat ini. “Kami sudah dua tahun berpacaran; aku sangat mengenalnya. Kau tak perlu risau.” Karlssen terdiam, kedua matanya mengamati wajahku dengan ekspresi yang sulit k****a. Tubuhku berkeringat dingin dan kesulitan bernapas membayangkan Karlssen mungkin sedang mengatur siasat untuk menyakitiku. “Keras kepala sekali,” dengusnya. Menimbulkan hawa panas di sekitar wajahku. “Molly ...” Wajahnya mendekat sampai ujung hidung mancungnya yang ramping menyentuh ujung hidungku. “Apa kau lupa caranya bernapas?” tanyanya berbisik. Tidak bisa kutahan lagi, kakiku lemas sekali rasanya. Aku tidak mampu berdiri lebih lama, jadi kubiarkan tubuhku meluruh ke lantai. Karlssen agaknya terkejut, dia mundur selangkah dan berjongkok. “Karl, aku mohon berhentilah menggangguku. Jangan sakiti aku.” Airmataku mulai berjatuhan. Aku tidak sanggup lagi untuk tidak menangis. Katakanlah aku lemah. Aku tidak peduli. “Begitu buruknya aku dimatamu? Aku tidak akan menyakitimu, Molly.” Dia mengangkat daguku agar menatapnya. “Aku tidak akan melakukannya lagi,” lanjutnya. “S-sungguh?” Rasanya aku tidak percaya. Dengan mengejutkan Karlssen mencium keningku sekilas, yang lalu tersenyum menyeringai. “Yes, Molly. I could be a better person for you.” Kemudian dia berdiri, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Menyeringai sekali lagi sebelum berbalik meninggalkanku ke kamarnya. “Oh Tuhan ...” Aku menghapus air mataku kasar sebelum menguatkan diri untuk berdiri. “Aku harus pergi dari sini besok,” racauku pelan. Mataku terasa lelah memaksakan diri untuk tetap terjaga. Aku ingin tidur, tapi tidak bisa dengan kegundahan yang mengisi hatiku. Padahal ponselku menunjukkan sudah jam tiga subuh. Sungguh, rasanya tidak tenang berada di rumah. Apalagi kalau mengingat-ingat memori tentang masa kecilku yang tidak menyenangkan karena Karlssen. Intinya aku hanya ingin cepat-cepat pergi dari sini. Aku terbengong sesaat menatapi langit-langit kamar tak b*******h. Demi Tuhan, aku sangat mengantuk. Sampai tak sadar perlahan kedua mataku mulai menutup, dan nyaris terpejam kalau saja telingaku tidak mendengar suara derit pintu kamarku. “Molly ...” Jantungku berpacu cepat seketika. Aku meneguk ludah dengan kedua mata terbuka lebar, memberanikan diri menoleh ke arah suara. Karlssen. Lekas aku mendudukkan diri, menatap sosoknya yang mendekatiku lekat-lekat. “Karl, bagaimana kau bisa masuk?” tanyaku bingung. Padahal setahuku aku sudah mengunci pintu kamarku. Namun pertanyaanku tidak digubris olehnya. Dia malah menarik tanganku setibanya di hadapanku. “Ikut aku,” perintahnya. Begonya aku hanya menurut saat dia menarikku keluar kamar. Ralat, aku hanya takut membantahnya melihat ekspresi datar di wajah dinginnya. Dia menakutkan sekali. Merasa begitu lelah, aku menghentikan langkah kakiku sebelum menginjak teras di luar rumah. “Kau mau membawaku ke mana?” tanyaku waswas. “Aku ingin mengajakmu liburan, Molly.” Lalu, dia kembali menarikku untuk melangkah. “Tidak. Karlssen, aku tidak mau!” Karlssen menghentikan langkahnya, menatapku dengan sebelah alis terangkat. “Tidak mau ... ?” Betapa sangat terkejutnya aku saat dia menggendongku ala pengantin. Kemudian, berjalan menuju Mulsanne yang terparkir di pelataran rumah. “Tidak! Turunkan aku... ibu tolong!” pekikku kencang. Harap-harap ibu terbangun mendengar teriakanku. Aku tidak peduli pada rasa takutku, aku mulai memberontak tidak ingin membiarkan Karlssen membawaku ke manapun, karena aku yakin dia pasti berniat melakukan hal buruk padaku. Tapi tentu saja aku kalah tenaga. Pada akhirnya dia berhasil melemparku masuk ke kursi belakang mobilnya. Setelah Karlssen mengisi kursi pengemudi, dia mengunci pintunya agar aku tidak bisa keluar dari mobil. Lalu, dia menyalakan mesin dan menjalankannya. “Apa-apaan sih? Karlssen, kita mau ke mana? Kau tidak sedang membuangku lagi, ‘kan?” Rentetan pertanyaan pun kulontarkan padanya ketika mobil keluar dari gerbang dan melaju cepat di jalanan yang kosong. Panik, gelisah, dan takut bercampur aduk di dalam benakku. Membuatku ingin menangis. “Kumohon, Karlssen, jangan sakiti aku ...” “Diamlah, Molly. Sudah kubilang aku ingin mengajakmu liburan; aku tidak akan menyakitimu,” katanya datar. “A-aku tidak percaya padamu.” Suaraku terdengar melemah. “Aku tidak memintamu untuk percaya padaku,” katanya sambil menengok ke arahku selama beberapa detik. Liburan? Omong kosong macam apa ini? Karlssen bukanlah tipikal orang yang suka berlibur. Terlebih hari ini bukanlah akhir pekan. Jadi, dia pasti membohongiku. Aku sangat takut, tapi meminta pertolongan pun pada siapa? Ponselku tertinggal di kamar. Puluhan menit berlalu. Sejauh ini, yang kutahu aku masih berada di London, tentunya. Tapi tidak tahu ke mana tujuan kakakku. Dia sama sekali tidak memberitahuku hendak ke mana. Semua perasaan takut di d**a ini membuatku lelah. Aku bernapas lega saat merasakan laju mobil melambat, dan sesaat kemudian berhenti bergerak. Ketika aku melihat keluar kaca mobil, tanah lapang yang hijau menyambut mataku. Kalau aku tidak salah ... “Apa ini Royal Wimbledon? Kenapa kau membawaku kesini?” tanyaku pada Karlssen yang sedang melepas sabuk pengamannya. “Ya. Jangan banyak bertanya. Cepat turun!” Ragu-ragu aku membuka pintu mobilnya dan keluar. Langit masih gelap. Juga udaranya dingin, menyengat kulitku yang hanya memakai kaus putih oblong dan hot pants. “Kau ingin membuangku di sini, huh?” tanyaku mulai menggigil. Karlssen sudah berdiri di sampingku, dia lalu menghela napas berat. Tangannya pun menyodorkan sebuah jaket kulit padaku. “Pakai ini.” Aku menatapnya ragu, lalu menerimanya dan memakainya dalam diam. Setelah itu dia menarik tanganku menuju suatu tempat dimana ada beberapa orang pria berjas dan seorang wanita pemandu golf yang cantik. “Master, sudah kami siapkan semuanya.” Salah satu pria berjas berkata. Haha... Master?, aku tertawa dalam hati. Aku cukup bingung, aku tidak tahu jam berapa sekarang, tapi kurasa terlalu pagi untuk bermain golf. “Bagus,” ucap Karlssen. “Ayo, Molly!” Dia meraih tanganku dan menarikku lagi. Berjalan menuju mobil golf berwarna putih yang berada di sebelah wanita pemandu. “Tuan,” sapa wanita itu hangat dengan menundukkan sedikit kepalanya. Namun Karlssen berlalu begitu saja dengan angkuhnya, menaiki kursi mobil golf dan memegang kemudinya. “Naiklah, Molly,” serunya. Begitu aku hendak naik ke belakang mobil golf, dia menghentikanku. “Molly, kau pikir aku apa? Kemari, duduk di sampingku!” Aku menarik napas panjang sambil mendudukkan diri di samping Karlssen. Dalam hati geram melihat tingkahnya yang arogan. Dia pikir dia siapa selalu memerintahku? Kalau saja aku memiliki keberanian menghadapinya. Mobil sepanjang 6 kaki dengan berat lebih dari 900 pounds itu bergerak lambat di jalurnya. Aku hanya terdiam bersandar pada punggung kursi penumpang, berusaha mengerti situasi walau sulit berpikir karena kantuk yang menerpa. Beberapa menit berlalu, mobil golf masih terus bergerak. Entah hendak ke mana, ini sudah lumayan jauh dari tempat tadi. Yang bisa kulakukan hanya memandangi bukit-bukit kecil di tengah lapangan golf serta pepohonan yang berjejer di tepiannya dengan lesu. Lama-kelamaan langit yang gelap pun tanpa terasa sudah mulai terang. Ketika aku menatap langit di depanku, tampak sang mentari muncul dari persembunyiannya, dan membagikan cahayanya yang terang pada dunia. Aku tertegun. “Wow ... indah sekali.” Aku berdecak kagum dibuatnya. “Haha, benar. Indah sekali.” Suara Karlssen terdengar lembut, menarik kepalaku untuk menengok ke samping, dan ternyata dia tengah menatapku aneh dengan senyuman hangat di bibirnya. Ya, Karlssen ... tersenyum hangat padaku? Sungguh? Sungguh mencengangkan. Tetapi entah kenapa aku senang melihat senyumnya sehingga tanpa sadar bibirku malah ikut tersenyum. Yang mana hal itu membuatnya menghentikan laju kendaraan. “Kenapa berhenti di sini?” tanyaku hati-hati. Karlssen berdehem pelan, berhenti menatapku..“Molly, aku mau bertanya padamu. Bolehkah?” “Bertanya apa?” Dia malah terdiam. Tatapan matanya terasa kosong. Lalu, setelah beberapa saat akhirnya dia melontarkan pertanyaannya. “Apa kau sungguhan menyukai si Pierce?” Pertanyaannya seperti menginterogasiku. “Ya. Tentu, dia pacarku.” Jawabanku terdengar ketus di telingaku. Karlssen mengangguk dan kembali melajukan mobil golf-nya. “Dimana kau mengenalnya?” tanyanya lagi. “Um, di sekolahku. Dia kakak kelasku,” jawabku pelan. Karlssen menganggukkan kepalanya lagi. “Oh, begitu. Kau bilang sudah dua tahun berpacaran, jadi dia ini orangnya bagaimana?” Kali ini Karlssen bertanya sambil menatapku. Wajahnya terlihat serius. “Blake sangat baik. Dan sangat perhatian. Dia juga orang yang penyayang.” Aku berkata jujur. Blake adalah orang yang paling baik yang pernah kutemui selain ibuku. Bukan seperti Karlssen yang bertemperamental buruk. Aku bahkan berani bersumpah, satu-satunya orang yang pernah menyakitiku adalah dia seorang. “Benarkah? Aku terkesima mendengarnya,” katanya terkekeh-kekeh. Seakan tidak mempercayai apa yang kukatakan. “Jadi, apa saja yang sudah dia berikan padamu sampai kau begitu menjunjungnya, eh?” Aku mendengus pelan. Sudah kuduga dia pasti tidak percaya. Masa bodoh. “Cinta.” “Hanya cinta? Hah ... lagipula memangnya kau tahu apa tentang cinta? Kau kan masih bocah.” Dia mencibirku. Tidak ingin tinggal diam, aku menatapnya dengan kedua mata menyipit. Rada jengkel melihat wajahnya yang sedingin es, juga rambut coklat keemasannya yang selalu tertata rapi bak seorang anggota kerajaan yang angkuh. Biarpun umurku berbeda jauh di bawahnya, aku merasa aku cukup mengenal cinta ketimbang dirinya. Jadi, sepatutnya akulah yang mencibirnya, 'memangnya kau tahu apa tentang cinta? Kau kan tidak punya hati' “Aku memang masih bocah, tapi aku lumayan paham soal cinta.” Tanpa peduli dia akan marah, aku menekankan setiap kata-kataku. Blake pernah bilang padaku, kalau aku tidak berani maka aku tidak akan pernah berani. Aku telah memutuskan menjadi berani. Dan aku, Molly Greene, tidak akan terima jika ditindas lagi oleh kakakku. “Paham? Kurasa tidak. Aku berani bertaruh, kau bahkan tidak tahu caranya bercinta.” Lalu dia tertawa kencang. Aku diam sesaat. Bergidik ngeri mendengar tawanya. “Aku tahu kok,” cecarku menghentikan tawanya. Dan berhasil, dia berhenti tertawa. Tapi sekarang yang mengerikan bukan tawanya melainkan raut wajahnya yang keras seperti marmer. Juga rahangnya yang mengatup rapat; tangannya memegang erat kemudi. “Apa? Kau ... apa kau dan si Pierce pernah melakukannya?” tanyanya. Suaranya berat dan mengalun datar. Cepat-cepat aku memalingkan pandanganku darinya. Topik pembicaraan macam apa ini? “Itu sama sekali bukan urusanmu!" Ucapku. “Sialan! Kalau begitu kau harus turun,” katanya menggeram. Sontak membuatku terkejut. Apa-apaan sih? “Kubilang turun, Molly!” Sekali lagi dia menggeram. Baiklah. Aku menarik kembali kata-kataku untuk menjadi berani. Dia terlalu menyeramkan kalau sedang marah meski aku tidak tahu alasan kemarahannya.. Tidak ada alasan bagiku untuk tidak merasa takut. Dengan terpaksa aku turun. Pikiran tentang Karlssen yang sudah berubah terhempas begitu saja setelah mobil golf yang dikendarainya melaju meninggalkanku di tengah hijaunya hamparan lapangan golf yang seperti tak berujung. Sekali jahat tetaplah jahat. “Dasar b******k!” umpatku sambil menghentakkan kaki dengan penuh kekesalan. Keringat menetes deras di pelipisku. Cuacanya memang tidak panas hari ini, tapi berjalan jauh membuatku harus kehilangan separuh cairan tubuhku. Mungkin sudah lebih dari setengah jam aku berjalan kaki dari tempat dimana Karlssen meninggalkanku. Wajar jika aku sekarang merasa lelah. Belum tidur seharian, belum makan, belum minum ... aku bersumpah mungkin akan pingsan sebentar lagi. Aku memutuskan berhenti berjalan. Menarik napas dalam-dalam dan membuangnya, aku membaringkan tubuhku di atas rumput lapangan golf yang tertutup bayangan pohon-pohon besar yang rindang. Rasanya nyaman sekali, begitu empuk meski terasa basah akibat embun. Sejenak aku memandangi langit yang cerah berawan dengan pikiran kosong, lalu memejamkan mataku yang lelah untuk mencari kedamaian. Suara burung-burung, deru angin, dan daun-daun di atas pohon yang saling bergesekan membuatku rileks. “Molly ...” Namun lagi-lagi suara bariton itu mengganggu ketenanganku. Seandainya aku punya nyali yang cukup untuk memukulnya. “Molly!” “Apa?” Aku membuka mataku dan terduduk, menatap Karlssen di dalam mobil golf. “Naik.” Seperti biasa, dia selalu memerintah. Dengan malas aku bangkit, melangkah menuju mobil golf tak bersemangat. Dalam hati sungguh jengkel padanya, tadi menyuruhku turun dan sekarang menyuruhku naik lagi. Apa maunya? Aku tidak peduli reaksi Karlssen yang aneh saat aku naik ke mobil. Terlalu enggan memikirkan apapun saat ini, aku hanya ingin beristirahat. Jadi, aku memutuskan untuk tidur selama mobil golf ini bergerak. Rasanya baru sebentar, aku terbangun ketika merasakan terangnya cahaya matahari di wajahku yang masuk dari jendela yang terbuka. Keterkejutan pun melanda saat aku mendapati diriku berada di atas tempat tidur sebuah kamar dan bukannya mobil golf. Segera aku beringsut turun dari tempat tidur, dalam kebingungan. Di mana ini?, batinku. “Kau sudah bangun?” Kemunculan Karlssen di ambang pintu kamar mandi seakan menjawab pertanyaan di benakku. Aku sedikit lega melihatnya. Kupikir dia meninggalkanku. “Ini ada dimana?” tanyaku. “Di penginapan Royal Wimbledon. Tadi kau tidur pulas sekali, aku tidak tega membiarkanmu tidur di mobil golf yang panas itu. Jadi, aku membawamu ke sini.” Jawaban Karlssen sukses membuatku terheran-heran. Tidak tega? Kenapa dia peduli? Aku terpekur sejenak, menatap jam dinding persegi berwarna emas. Aku tidak tahu berapa lama aku tidur, yang pasti sekarang sudah jam empat sore. Dan ... Blake! Astaga, aku lupa hari ini seharusnya aku keliling kota bersama Blake. “Karl, bisakah kita pulang?” Blake pasti datang ke rumah dan mungkin sedang menungguku. “Tidak.” “Kenapa tidak? Aku ingin pulang, Karl. Aku ada janji dengan Blake. “Karena aku mau mengajakmu ke suatu tempat. Masa bodoh dengan pacarmu itu.” Karlssen mendengus. Dia berjalan menuju meja rias, mengambil paper bag hitam yang ada di atasnya, dan lalu menyerahkannya padaku. “Ganti bajumu. Setelah itu kita pergi. Cepat,” katanya. Yang benar saja? Demi Tuhan, dia sangat menyebalkan. Tapi aku tidak punya pilihan selain menurutinya. Daripada melihat dia marah yang mana sangat menakutkan. Jadi, cepat-cepat aku pergi ke kamar mandi. “Mengapa dia harus ada di dunia ini?” gerutuku sambil membuka paper bag. Isinya ternyata sebuah dress hitam selutut tanpa lengan. Dress yang cantik. Tunggu, kenapa harus dress? Aku tidak biasa memakai dress. Ah, tapi kalau aku tidak memakainya Karlssen bisa marah. Tak ingin membuang waktu, aku mulai melepaskan seluruh pakaianku dan mandi di bawah guyuran shower. Walaupun Karlssen hanya menyuruhku mengganti baju, badanku ini terlalu gerah untuk tidak mandi. Selesai mandi barulah aku memakai dressnya. Mengabaikan rasa tidak nyaman begitu dressnya melekat di tubuhku. Setelah itu mencepol asal rambutku yang masih basah, dan lalu keluar dari kamar mandi dengan enggan. Sedikit gelisah saat kulihat Karlssen sudah tidak ada di kamar. Langsung saja kulangkahkan kakiku keluar dari penginapan. Pikiranku menerka-nerka dia telah meninggalkanku. Tapi hal itu langsung kutepis begitu melihat mobilnya ada di parkiran. Aku menarik napas dalam dan mengeluarkannya perlahan. Kemudian melangkah menuju mobilnya. Kulihat Karlssen sudah ada di balik kemudinya. Napasku sedikit tercekat begitu aku membuka pintunya dan terduduk di kursi penumpang. “Lama sekali.” Dia menggumam. “Kita mau kemana?” tanyaku penasaran. “Makan. Kau lapar, bukan?” jawabnya datar. Aku hanya mengangguk. Mobil Karlssen pun bergerak keluar dari parkiran, meninggalkan kawasan Royal Wimbledon. Dan dengan kecepatan penuh melaju menuju pusat kota London. Entah berapa lama perjalanan, akhirnya mobil berhenti di sebuah restoran dekat sungai Thames. “Makan di sini?” Aku buka suara. Restoran ini tempat aku ... diasingkan dulu oleh Karlssen. “Ya.” Karlssen mematikan mesin mobilnya setelah parkir. “Tempat aku mengasingkanmu dulu,” katanya sebelum keluar dari mobil. Aku tertegun. Kenapa dia mengingatkanku akan hal itu? “Ayo, keluarlah!” Aku segera tersadar. Karlssen sudah membukakan pintu untukku. Dalam diam aku turun dari mobil sambil menatapi Karlssen dengan perasaan takut. Sebenarnya apa maksud semua sikapnya ini?, batinku. “Jangan khawatir. Aku hanya mau mengajakmu makan di sini, karena makanan di sini sungguh enak.” Dia tertawa kecil, menggenggam tanganku, dan menuntunku berjalan ke dalam restoran. “Kau tahu, Karl? Kau selalu membuatku takut,” kataku pelan yang belum berhenti menatapnya sambil berjalan. Kudengar Karlssen mendengus. Dia berhenti melangkah; berbalik menatapku dengan tatapan matanya yang menusuk. Membuat langkahku ikut terhenti. “Jangan takut padaku, Molly.” Katanya, “aku bilang aku takkan menyakitimu lagi. Aku bersungguh-sungguh dengan ucapanku itu, Molly.” Bulu kudukku meremang tiba-tiba. Kerongkonganku juga serasa kering dan sulit menelan. “You can keep my words.” Dia memegang kedua bahuku dan tersenyum penuh arti. Yang bisa kulakukan hanya tersenyum kecut, berusaha mengenyahkan efek listrik statis yang disebabkan oleh telapak tangan Karlssen yang hangat di bahu telanjangku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD