Keduanya mulai lelah berjalan menyusuru hutan belantara yang tak berhujung. Dahaga dan lapar memperparah kondisi fisik mereka. Bima dan Tania berjalan dengan langkah terseok seraya mencari genangan air untuk diminum. Akantapi, tidak ada setetes air pun yang mereka dapatkan.
Bima terkesiap melihat akar pohon yang menjuntai. Dia yakin, di dalam akar itu menyimpan air. Walau bukan petualang, akantapi ia cukup paham jenis akar pohon yang menyimpan air. Hanya saja yang menjadi kendala adalah, ia tidak memiliki alat untuk memotong akar itu. Ditatapnya akar itu lekat, berharap menemukan cara mengeluarkan air dari dalam.
Tania berjongkok di samping Bima, kakinya sudah sangat berat untuk melangkah, bahkan hanya sekadar berdiri menopang tubuh. Tonggorokannya kering. Sedangkan peluh terus membanjiri tubuhnya.
"Tania, kamu baik-baik saja?" tanya Bima ikut berjongkok.
Tania mengangguk, mata itu mulai sayu menatap Bima.
Bibirnya mengering, wajahnya terlihat pucat.
"Maafkan aku Kak Bima, sudah memberi masalah ini. Andai saja aku mendengarkanmu sejak awal, kita tidak perlu mengalami ini."
"Tinia, semua sudah terjadi. Tidak ada yang perlu disesali. Jika kita ditakdirkan selamat, percayalah, kita pasti selamat. Yang harus kita lakukan saat ini hanyalah berdoa dan bertahan hidup. Hasilnya, biarkan takdir yang menentukan."
"Masih adakah harapan kita ke luar dengan selamat dari hutan ini?"
"Harapan itu selalu ada selagi kita mau berusaha."
Bima mengusap kepala Tania, memberinya keyakinan sebuah harapan.
"Lihat akar pohon itu, di dalamnya terdapat air, hanya saja kita tidak punya apapun untuk mengeluarkan air itu."
Tania melihat ke akar pohon yang ditunjuk oleh Bima. Sesaat dia berpikir. "Pake batu?" tanyanya tak yakin. Rasa lelah yang teramat sangat, membuatnya tidak percaya diri.
"Pakai batu? Yes, kamu memang jenius Tania, ayo kita cari batu yang runcing."
Keduanya kembali bersemangat untuk berjuang bertahan hidup. Setelah menemukan lempengan batu, Bima mencoba memotong akar itu. Tidak mudah melakukannya, bajunya basah oleh keringat. Perjuangan yang sangat melelahkan itupun membuahkan hasil. Bima dan Tania bergantian meminum air langsung dari akar pohon yang menetes cukup deras. Setelah merasa cukup. Keduanya beristirahat sejenak.
"Ah, iya. Kenapa kita tidak membuat asap yang mengepul? Mungkin saat ini mereka juga kesulitan menemukan kita. Ayo kita buat asap mengirim sinyal pada mereka." ujar Bima bersemangat.
Wajah Tania semringah, melihat Bima bersemangat. Bergegas, dengan sisa tenaga, ia membantu Bima mengumpulkan ranting dan daun kering. Kemudian mereka mencari tempat yang agak lapang. Setelah mememukannya, Bima menyalakan api dan membuat asap putih yang tebal. Mereka melakukannya dengan sungguh-sungguh. Sebab keduanya sudah sangat ingin pulang.
Asap tebal itu membumbung tinggi ke langit. Tania berharap asap itu mampu menarik perhatian tim pencarian. Keduanya duduk berhadapan, menanti hasil dari usaha yang mereka lakukan. Pakaian mereka lusuh dan kumal. Bau keringat yang kering di badan, tak lagi mereka hiraukan. Keduanya terus membuat asap, berharap akan datang keajaiban.
Bima terkesiap, sayup-sayup seperti mendengar sesuatu. Ia mempertajam pendengarannya. Matanya lekat memandang Tania.
"Tania, apa kamu mendengar sesuatu?"
"Iya, seperti suara seseorang berteriak."
Sesaat keduanya saling pandang, mempertajam kembali pendengaran. Suara itu kembali terdengar menggema memecah kesunyian hutan.
Sontak, keduanya berdiri lalu melompat kegirangan. Mereka pun menyahut teriakan itu. Suara mereka menggema, menyebar di alam terbuka. Teriakan mereka mendapat sahutan. Semakin lama suara itu semakin jelas, hingga akhirnya terlihat sosok dari kejauhan. Empat lelaki berbaju orange, dengan peralatan lengkap.
"Alhamdulillah, Kak Bima, kita selamat."
Tania dan Bima melompat kegirangan bagai anak kecil yang mendapat kejutan istimewa.
****
Setelah berjalan beberapa jam, akhirnya Tania, Bima dan tim pencarian tiba di hotel tempat mereka menginap. Tania langsung berlari memeluk ayah dan bundanya. Ada rasa yang membuncah di d**a saat kembali dalam dekapan keduanya. Kini, dia tidak perlu merasa takut akan gelap dan sunyinya hutan. Ia tidak lagi khawatir kelaparan di samping ayah bundanya.
Malam ini, rembulan bersinar terang. Rombongan tour berkumpul di aula utama. Besok pagi mereka akan kembali ke Jakarta setelah berlibur tiga hari di Danau Toba. Tania duduk mematung ditengah meriahnya acara penutupan. Ia masih belum percaya dengan apa yang dialaminya. Baru beberapa jam lalu ia putus asa terjebak di dalam hutan belantara, tapi sekarang, ia sudah kembali di tengah meriahnya acara. Sebuah pengalaman hidup yang sangat berharga baru saja dilewatinya.
"Hai, melamun?"
Tania terkesiap mendengar suara yang mengejutkannya. Ditolehnya ke asal suara bariton itu. Bima tersenyum lalu duduk di sampingnya.
"Hai, Kak Bima! Nggak ikut nyumbang lagu?" Tania merapikan duduknya.
"Mau, sih, asalkan bareng kamu!'
"Hem?" mata Tania membulat menoleh pada Bima. Rasanya tak percaya dengan apa yang barusan didengar. "Duet?"
Bima mengangkat alisnya, melemper senyum manis di selengkung bibirnya.
"Siapa takut? Ayo!"
Bima tertawa tipis melihat antusias Tania. Keduanya berjalan menuju pangung.
Semua mata tertuju pada mereka, pada dua insan yang baru saja terkurung berdua di hutan belantara. Banyak yang penasaran dengan kisah mereka. Sedekat apa hubungan keduanya setelah kejadian tak terduga itu.
Saat musik mulai dimainkan memgiringi lantunan syair yang dinyanyikan merdu, sepasang mata menatap keduanya penuh selidik. Saras duduk bersedekap tangan, menyaksikan calon suaminya berduet dengan gadis yang paling membuatnya jengkel saat ini. Matanya tajam menatap Bima dan Tania bergantian, rahangnya mengeras menampakkan kekesalan di hatinya.
Usai menyumbangkan satu lagu, Tania dan Bima meninggalkan panggung. Tepuk tangan meriah mengiringi langkah keduanya. Lagu yang berjudul Aku dan Dirimu, mereka nyanyika dengan penuh penghayatan.
Bima dan Tania kembali duduk bersebelahan. Keduanya tidak ambil pusing dengan suara sumbang yang terdengar sayup sayup. Mereka hanya ingin berbagi cerita, berbagi rasa bahagia karena berhasil selamat dan keluar dari hutan mengerikan itu.
"Bima, aku ingin bicara sebentar, boleh?" Saras mendekati keduanya.
Bima menoleh dan menatapnya lekat. Sedangkan Tania, menunduk. Ada rasa tidak enak di hatinya. Sebab, sekembalinya dari hutan itu, Bima memberinya perhatian khusus. Sebagai wanita, Tania mengerti perasaan Saras. Tapi dia juga tidak kuasa menjauh dari Bima, ada rasa nyaman saat berada dekat dengan lelaki itu.
"Tania, sebentar, ya. Kamu jangan kemana-mana. Nanti aku kembali!" pesan Bima sebelum beranjak dari kursinya.
Tania hanya tersenyum melepas langkah Bima. Bukan ia tidak mau menunggu, tapi, Ia tahu, selain Saras, masih ada sepasang mata yang menatapnya sinis, ia risih. Tiara, pemilik mata itu, menuduhnya sengaja membawa Bima tersesat di hutan. Konyol bukan? Walau kesal, Tania tidak bisa berbuat banyak. Percuma membantah, gadis itu tidak akan mau mengerti.
Tania melirik bunda, seolah minta izin untuk kembali ke kamarnya. Ia ingin istirahat melepas penat. Lagi pula, matanya mulai mengantuk. Melihat bunda mengangguk, Tania beranjak dari duduk dan berjalan ke kamarnya. Ia memilih menghindari masalah, ia tidak ingin merusak hubungan Bima dan Saras yang sedang dalam proses persiapan pernikahan.