Pukul Sembilan tiga puluh menit, pesawat landing. Wajah Tania semringah melihat hamparan hijau yang terbentang luas. Ini kali pertama ia menginjakkan kaki di tanah Deli. Sesaat kemudian para penumpang mulai bersiap turun. Tania menurunkan tas ranselnya dari kabin lalu ikut dalam antrian ke luar dari pesawat. Tania berjalan beriringan dengan Tanty mengikuti arus para penumpang lainnya menuju tempat pengambilan barang bagasi.
Wanita bertubuh langsing itu, berdiri dipinggir pengambilan barang, ia berdiri memasukkan tangannya ke saku celana. Ia ditugaskan ayah mengambil barang bagasi sebagai hukuman atas kelakuannya hari ini.
Tak sengaja, matanya melihat ke depan. Ah, dia lagi! Cowok ganteng misterius itu tepat berada di depannya. Tania merapikan jilbabnya, sekadar menghilangkan rasa grogi yang tiba-tiba menyelinap di hatinya. Sekuat apapun dia mencoba menundukkan pandangan, tetap saja, ia tidak kuasa untuk tidak curi pandang pada cowok di depannya. Lelaki itu terlalu tanpan untuk diacuhkan.
Melihat koper miliknya datang, Tania segera meraihnya. Lalu berjalan mendekati ayah. Ayahnya melirik, seolah tahu keinginan putrinya itu, Tania cengir kuda mengetahu ayah tahu isi kepalanya. Ayah meraih koper itu lalu menariknya. Tania berjalan di samping ayah sembari bergandengan
Sebuah bus pariwisata sudah menunggu mereka di parkiran. Satu persatu rombongan naik. Setelah kondektur memastikan tidak ada rombongan yang tertinggal. Bus segera bergerak menuju Danau toba. Terlihat rombongan sangat menikmati perjalanan. Bahkan mereka sengaja membawa teropong dilehernya.
Sesampainya di hotel legendaris di Danau Toba yang sudah mereka pesan, matahari mulai condong ke Barat. Panitia penyelenggara meminta rombongan untuk menyimpan barang masing masing ke kamar. Setelah itu, kembali berkumpul di aula utama untuk makan siang.
Suasana di hotel itu terlihat akrab. family gathering ini memang setahun sekali diadakan. Tapi baru tahun ini Tania ikut. Biasanya ia lebih memilih bermain bersama teman temannya.
Tania duduk di meja paling pojok bersama bundanya setelah mengambil makanan. Alunan musik yang romantis, membuat ia terbawa dalam suasana.
"Ini Tania?" tanya tante Citra, istri Om Farid.
"Iya, Tan." Tania mengulurkan tangan lalu mencium punggung tangan Tante Citra.
"Wah, sudah gadis, ya. Mau nggak sama Dimas, anak Tante, ganteng loh."
Tania cengir, kemudian melanjutkan makannya.
"Eh, Tante serius, loh. Dia juga ikut ke sini." Tante Citra menoleh ke kanan dan kiri, sepertinya ia mencari seseorang, "Nah, itu orangnya." ujarnya sembari menunjuk lelaki berbaju merah yang sedang makan.
Tania menoleh mengikuti arah telunjuk tante Citra.
"Gimana? Gantengkan?"
Lagi lagi, Tania hanya tersenyum simpul. "Tania mau kuliah dulu tante. Belum mikirin cowok."
"Nggak apa apa, berteman dulu, siapa tahu nanti kalain cocok."
"Iya, Tan." ujar Tania malu-malu.
Usai makan, rombongan dibawa panitia menuju danau. Para pelancong berdecak kagum melihat keindahan danau yang dikelilingi perbukitan. Air berwarna biru terbentang luas diapit gunung kecil. Sebuah kapal pesiar yang terbuat dari kayu dengan ornamen khas batak, telah menunggu mereka. Satu persatu pelancong naik ke atas. Tania melirik sosok yang membuatnya sangat penasaran itu, saat naik ke kapal.
Tania mendekati bundanya. "Bun, cowok baju biru itu siapa, sih?" tanyanya berbisik.
"Sssttt, itu Mas Bima, anak owner perusahaan tempat ayah bekerja." jawab bunda sembari mengernyitkan dahinya seolah memberi kode pada Tania agar berhenti bertanya tentang lelaki itu.
Tania menelan ludah. Tiba-tiba nyalinya ciut. Berarti wanita yang bersamanya itu Mbak Saras. Calon istrinya? Tanyanya dalam hati.
Tania menghela napas dalam, hilang sudah harapannya bisa dekat dengan cowok ganteng itu. Dia tahu, bulan depan keduanya akan menikah. Dia sudah melihat undangannya di rumah.
Tania berjalan kepinggir kapal berpegangan pada besi pengaman. Matanya liar meniknati alam luas. Air terlihat begitu tenang. Tania memejamkan mata sembari menarik napas dalam. Saat membuka mata, Bima tepat berada satu meter di sampingnya. Belum puas matanya memandang cowok ganteng itu, Tania terpaksa menunduk karena melihat Saras datang mendekat.
Seuntai senyum kecut terlontar di bibirnya. Saras memandangnya sinis, rasa kesal saat kejadian di bandara Cengkareng tadi, belum hilang dalam ingatannya.
Tania memilih pergi menjauh ke sisi kapal lain, ia malas cari gara-gara lagi dengan calon istri pemilik perusahaan itu. Tania menikmati pemandangan indah yang disajikan tanah batak itu. Dari kejauhan, ia melihat sebuah air terjun yang tinggi. Angin sepoi sepoi membelai lembut wajahnya.
Setelah puas berkeliling dan mengabadikan perjalanan dalam kamera masing-masing, kapal membawa mereka kembali. Hari mulai gelap, rombongan kembali ke hotel. Hotel ini berbentuk semacam bungalow yang ditata mirip kota di negri Belanda.
Saat malam tiba, Tania dan Tanty berjalan jalan keluar. Keduanya ingin menikmati alam bebas di malam hari. Saat melintas di salah satu rumah, keduanya berhenti.
"Kalian mau kemana?" tanya Tanty mendekat.
"Mau ke atas bukit, bakar jagung." jawab Dimas
"Ikut, donk."
"Ayo." jawab Dimas, bersemangat.
Tania melirik Bima yang berdiri tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia berharap lelaki itu juga ikut ke atas bukit.
"Tania, bilang pada ayah, kalau kita ikut bakar jangung ke atas bukit."
"Baiklah, tunggu sebentar." Tania setengah berlari ke rumah tempat mereka menginap. Sesaat kemudian ia kembali lagi.
Rombongan mulai bergerak melintasi jalan setapak. Napas Tania kejar kejaran karena berjalan tergesa gesa. Sesaat matanya mencari sosok Saras, wanita galak itu tidak terlihat dalam rombongan.
"Buruan jalannya, nanti kamu diculik sendirian di belakang." ujar Bima yang sengaja memperlambat langkahnya menunggu Tania.
Tania tersenyum simpul sembari sedikit membungkuk. Cahaya bulan menutupi pipinya yang merona. Keduanya berjalan cepat beriringan bergabung bersama rombongan. Rombongan hanya berjumlah sepuluh orang. Sisa rombongan yang lainnya memilih tidur di kasur empuk di kamar masing-masing.
Tanty dan Tiara-anak Om Anwar, melirik kebelakang memperhatikan gerak gerik Tania dan Bima. Sejak kapan mereka dekat? Bukankah Tania baru kali ini ikut di acara kantor? Keduanya sengaja memperlambat jalannya, agar bisa sejajar dengan Bima.
"Mbak Saras nggak ikut, Mas?" tanya Tiara setelah berjalan sejajar.
"Tidak, katanya mau istirahat. Kamu masih segar, belum lelah?"
"Belum donk. Jarang jarang bisa ke alam terbuka seperti ini. Makanya aku tidak mau melewatkan setiap acaranya."
Bima hanya tersenyum mendengar jawaban Tiara. Lelaki itu berjalan diapit tiga bidadari cantik. Tania lebih memilih diam, tidak terlibat dalam percakapan ketiga orang di depannya. Tanty dan Tiara telah mengambil posisinya di samping Bima.
Tania berjalan sambil menikmati alam bebas. Matanya syahdu menikmati bintang dan bulan sabit di langit. Sesekali matanya beralih kesekeliling, bulu kudumya meremang melihat suasana alam yang gelap. Sesekali Bima menolehnya ke belakang, saat yang bersamaan, Tanty dan Tiara ikut menoleh Tania. Entah sengaja atau tidak, keduanya selalu menoleh pada Tania jika Bima menoleh.
Tiga puluh menit berjalan akhirnya mereka tiba di puncak bukit. Para lelaki memasang dua buah tenda sedangkan yang wanita menyiapkan perapian.
Tania cukup terampil membuat perapian. Ia sudah pernah ikut kemping dan mendaki gunung bersama teman temannya, sehingga tahu cara membuat perapian.
Tanty dan Tiara lebih banyak duduk manis, memperhatikan yang lainnya bekerja. Tidak ada yang menduga jika besok pagi akan terjadi sesuatu yang mengerikan.