Ray semakin hari semakin bersemangat mendekati Anita--selalu ada di sekitar Anita tanpa perempuan itu menyadari alasan sebenarnya lelaki itu dekat dengannya. Mereka berkuliah di kampus dan jurusan yang sama di mana hanya Ray lah yang Anita kenal, jadi Ray memanfaatkan keadaan itu di samping Ervan yang berpesan menjaga Anita untuknya. Padahal sebelumnya, walau Anita telah berpacaran dengan Ervan sejak SMA, Ray tidak begitu dekat dengan perempuan yang berparas ayu serta memiliki sifat yang lemah lembut serta ramah itu.
Tanpa Anita, Ervan ataupun Livya ketahui jika Ray sengaja mengikuti Anita untuk melanjutkan pendidikan di tempat yang sama. Lelaki itu yang diam-diam menyukai Anita sejak SMA. Namun, langkahnya didahului oleh Ervan yang sejak kenal Anita, menunjukkan dengan jelas ketertarikannya perempuan itu. Ervan juga didukung oleh Livya yang menjadi teman baik Anita pada awal masa SMA dulu. Dari awal melihat Anita, Ray juga sudah menyukai perempuan itu. Tapi, Anita tidak sedikit pun meliriknya karena Ervan. Dan Ray benci akan hal itu. Lagi-lagi sejak SMP, Ervan selalu saja mendapatkan apa yang Ray inginkan juga.
“Ngelamunin apa, Ray?”
Ray tersentak akan lamunannya begitu mendengar suara seorang perempuan di dekatnya. Ray tersenyum melihat perempuan itu yang baru saja duduk di kursi di depannya. Perempuan yang tak lain adalah Anita—perempuan yang disukai Ray dari dulu. Ray menunggu Anita di cafe dekat kampus karena tadi perempuan itu mengerjakan tugas dengan teman-temannya di perpustakaan. Anita tadi sudah meminta Ray untuk pulang lebih dulu, namun Ray berkata akan tetap menunggu perempuan itu.
“Nggak ngelamunin apa-apa. Lagi mikirin tugas, tapi kelompok gue enggak kayak elo, An. Pada susah-susah banget mau kumpul ngerjain bareng, mau enaknya doang.”
Anita tertawa kecil. “Sabar. Kalau lo aja yang ngerjain, nanti gue bantuin gimana? Kebetulan tugas kelompok gue tinggal bikin kesimpulannya aja.” Anita ini memang baik sekali, sudah dari dulu seperti itu.
“Ah, entar ngerepotin elo. Lagi juga, keenakan mereka pada dong kalau gue doang yang ngerjain.”
“Emang enggak ada satu pun yang mau?”
“Ada, si Vika,” jawab Ray malas. “Lo tahu sendiri gimana cewek itu ke gue? Malesin banget kalau berdua doang. Yang ada bukan ngerjain tugas, tapi dia sibuk lihatin gue.”
Anita kembali tertawa.
“Fans berat lo itu. Eh, tapi, kalau dilihat-lihat, dia oke juga loh!”
Ray mendengkus. “Bukan tipe gue banget, An!”
“Terus tipe lo yang kayak gimana? Gue heran, banyak cewek yang suka sama lo, tapi enggak ada satu pun yang elo tanggepin.”
“Yang kayak elo, ada nggak?”
“Hah?”
“Maksud gue, pengennya itu yang sifat dan sikapnya sama kayak elo, An. Ada nggak?”
Anita manggut-manggut. “Ya banyak lah, Ray. Lo belum nemu aja.”
“An, lo sibuk nggak hari ini?” tanya Ray mengalihkan.
“Enggak, sih. Ini pengen langsung pulang. Kenapa?”
“Nonton yuk! Gue lagi bete banget soalnya.”
Anita berpikir sejenak, kemudian mengangguk ketika mengingat sesuatu. “Boleh deh, Ray. Tapi habis itu temenin gue ke travel fair, ya?”
“Lo mau ke mana emangnya? Nyari tiket ke mana? Mau liburan?”
“Pengen liat-liat aja, siapa tahu ada promo tiket pesawat atau paket wisata ke… Amerika.” Raut wajah Anita berubah sendu. “Gue kangen banget sama dia, Ray. Kangen banget.”
Kedua tangan Ray di sisi tubuhnya terkepal tanpa diketahui oleh Anita. Dua bulan lebih berlalu setelah putus komunikasi dengan Ervan, Anita hampir setiap harinya masih saja membicarakan lelaki itu.
Ray akan mencari cara agar Anita tidak menyusul Ervan ke luar negeri. Apa pun akan Ray lakukan. Sebuah pikiran licik terlintas di benak Ray. Orang yang bisa melarang Anita, yakni orang tua perempuan itu. Ray yang sekarang telah dekat dengan mamanya Anita karena sering mengantar jemput perempuan itu ke rumah, sepertinya akan memanfaatkan mama yang telah melahirkan gadis berwajah mungil tersebut.
***
Dua bulan pasca kejadian yang menimpanya, Livya mulai bisa menerima dirinya sendiri. Walau rasa sakit itu membekas, Livya terus berkonsultasi dengan psikiater ditemani oleh Ervan. Sampai saat ini, orang tua Livya tidak tahu karena perempuan itu melarang Ervan untuk bercerita.
Namun, sejak kemarin, Livya merasa ada yang tidak beres dengan perutnya. Dia sering merasa mual, apalagi di saat pagi hari. Pada siang hingga malam pun, ketika baru makan sedikit saja, dia sudah kembali ke kamar mandi dan memuntahkan apa yang dimakannya. Livya sungguh lemas.
Livya menatap pantulan wajahnya di cermin kamar mandi. Dirinya tampak pucat di sana. Livya menggelengkan kepala. “Enggak… gue cuma masuk angin biasa. Ya, gue cuma masuk angin.” Livya bermonolog—berusaha meyakinkan dirinya sendiri yang tampak jelas keraguan di sana.
Dengan tangan gemetaran, Livya meraih test pack dari samping wastafel kamar mandi. Kemarin dia diam-diam ke apotik membeli benda tersebut tanpa sepengetahuan Ervan. Setelah membaca petunjuk pemakaian, Livya mencoba memakai benda itu.
Livya memejamkan matanya beberapa saat, lalu membukanya perlahan. Matanya mengarah kepada benda di tangan kirinya itu. Livya membekap mulutnya—menahan tangis karena melihat dua garis merah yang tertera di sana. Dirinya hamil akibat apa yang dilakukan Frans kepadanya kala itu. Lelaki keturunan campuran Indonesia dan Amerika yang tidak diketahui di mana posisinya saat ini, padahal Ervan sudah mencari ke mana-mana. Ervan yang ingin menghajar lelaki yang sudah merenggut kehormatan sahabatnya.
“Gue harus gimana sekarang?” cicit Livya terisak. Livya tidak bisa menerima kenyataan bahwa dirinya hamil. Sedangkan, masa depannya masih begitu panjang. Livya juga mempunyai banyak impian. Bagaimana jika kedua orang tuanya tahu? Mereka pasti akan kecewa mendapati anak tunggal mereka yang hamil di luar nikah.
Tak bisa mengontrol diri, Livya kembali mengamuk begitu keluar dari kamar mandi. Apa pun dilempar olehnya. Livya menjambak rambutnya sendiri frustasi.
“Lo emang harusnya mati waktu itu, Vy! Apa gunanya lo hidup kalau cuma bikin malu orang tua lo!”
Dan lagi, Ervan datang memasuki apartemen Livya karena dia memegang kunci unit perempuan karena kartu akses milik Livya sudah berada pada perempuan itu setelah dia kembali ke unitnya. Sebagai ganti, Ervan meminta kunci, khawatir jika terjadi sesuatu dengan Livya.
Awalnya, Ervan tidak langsung masuk. Dia mengetuk pintu terlebih dahulu. Tidak kunjung mendapatkan jawaban dan perasaannya juga mendadak tidak enak, Ervan akhirnya memutuskan untuk membuka pintu unit tersebut. Alangkah terkejutnya Ervan mendengar raungan tangis dari arah kamar Livya. Ervan bergegas menuju sumber suara. Tiba di sana, dirinya mendapati Livya yang terduduk di lantai dekat ranjang dengan penampilan berantakan sambil memukul-mukul bagian perutnya. Rambutnya yang sudah acak-acakan, lalu kamar perempuan itu yang seperti kapal pecah.
“Vy… “ Ervan sudah berada di dekat Livya setelah melewati pecahan keramik dan lainnya yang sudah berserakan di mana-mana.
Livya menghentikan pergerakan tangannya. Dia mendongak dengan muka sembab—kacau sekali membuat hati Ervan berdenyut perih melihatnya.
“Kenapa lagi, Vy?” tanya Ervan pelan sembari mengusap rambut perempuan itu—merapihkannya.
“Ada anak cowok b******k itu di dalam sini, Van. Gue nggak mau dia tumbuh di perut gue!” Livya kembali hendak memukul bagian perutnya, namun Ervan menahannya.
“Jangan kayak gini, Vy. Gue mohon… “ pinta Ervan berusaha membujuk Livya. Mata Ervan beralih ke arah perut sahabatnya itu. “Dia sama sekali nggak berdosa. Janin itu nggak tahu apa-apa. Dia enggak berhak menanggung kesalahan ayahnya.”
“Gue nggak mau, Van! Gue enggak mau!”
Semisal Frans dapat ditemukan pun, Livya tidak akan sudi jika lelaki itu ingin bertanggung jawab. Livya korban perkosaan. Dia hanya ingin lelaki yang memperkosanya mendapatkan hukuman atau balasan yang setimpal, bukan dengan bertanggung jawab atas anaknya.
“Mari kita bicarin baik-baik. Kita cari solusinya bersama.”
“Nggak, Van… “ cicit Livya melemah. “Gue tetap nggak mau dia ada di sini. Dia harus gue lenyapin!”
Livya kembali mengamuk—meronta dari pegangan Ervan pada tangannya.
Dengan cepat, Ervan meraih perempuan itu ke dalam dekapnnya. “Ada gue, Vy! Lo bisa ngandelin gue.”
Livya menggelengkan kepala. Dia menangis terisak dalam dekapan Ervan.
“Gue udah terlalu banyak nyusahin elo, Van. Kali ini biarin gue dengan cara gue sendiri nyelesaiinnya.”
“Nggak! Gue enggak akan biarin lo ambil jalan yang salah. Itu enggak benar, Livya.”
Sungguh hati Ervan sakit melihat keadaan Livya sekarang.
“Terus gue harus gimana? Gue tetap nggak mau anak ini… “ lirih Livya.
“Lo inget apa yang pernah gue bilang waktu itu?” Ervan mengusap-usap rambut Livya dengan lembut. Layaknya rasa sayang seorang kakak terhadap adiknya. “Gue mau bertanggung jawab. Nikah sama gue.”
Livya melepaskan diri dari dekapan Ervan. Perempuan itu tertawa di sela tangisnya, kemudian menatap Ervan dengan sinis.
“Lo mau nikahin gue karena kasihan?” Livya meradang. “Gue udah bilang kalau… “ Ucapan Livya terhenti karena tiba-tiba perempuan itu pingsan. Mungkin karena kelelahan dari tadi mengamuk, ditambah kondisinya saat ini sedang hamil muda.