Aris pov
Aku melangkahkan kaki ke Dept bedah syaraf. Ada beberapa ruangan praktek di dalamnya, salah satunya ruanganku. Suster Nani sudah senyum - senyum saja melihat kedatanganku. Suster senior yang berusia sekitar empat puluh tahunan yang sudah menemaniku praktek tiga Tahun terakhir ini.
"Pagi dok, tumben pagi banget datangnya hari ini. Udah sarapan dok? " tanyanya.
"Belum Sus, lagi enak hati aja saya datang lebih pagi hari ini, siapa tau ketemu apa yang saya cari selama ini " ucapku santai
"Cari apa sih maksudnya dok, jodoh? Kalo cari jodoh harus sarapan dok, biar kuat menghadapi yang datang. Kalo jodohnya yang datang cantik kayak bidadari, jadi dokter nggak pingsan " jawab Suster Nani sambil tertawa.
Kami memang sesantai itu di luar jam kerja. Suster Nani ini seperti kakakku sendiri. Tempat ku bertukar pendapat, terkadang teman bercanda receh menghilangkan setres.
"Berapa pasien kita hari ini Sus ?" tanyaku sambil mengambil teh di meja dalam ruangan ku.
"Standard maksimal sesuai permintaan Dokter Aris, dua puluh orang dok. O ya, saya banyak di komplain pasien dok, mereka merasa terlalu lama menunggu untuk dapat jadwal dokter, nggak mau menambah jumlah pasien harian dok? Lumayan mengurangi antrian" ucap Suster Nani
"Saya maunya maksimal setiap menghadapi pasien Sus, kalau terlalu banyak pasien, nanti saya di buru-buru waktu, hasil diagnosa nggak maksimal. Lagi pula saya kan manusia yang punya rasa lelah juga. Apalagi nggak punya orang yang bisa menghilangkan rasa lelah saya ... hehe " ucapku sambil curcol.
"Duh dok .. makanya jangan banyak milih. Wajah tampan, hidup mapan, tinggal nyari satu wanita aja buat istri harusnya gampang banget. Tinggal pilih, mau cantik banget, mau manis banget yang bisa bikin diabetes atau mau yang kinyis-kinyis, muda belia, atau setengah mateng juga bisa. Lagian dokter udah enam tahun menduda, betah amat sih," kata suster Nani.
Aku tertawa kecil menanggapinya "Ngomong sih gampang sus, tapi hati kan gak bisa diatur buat suka sesuatu, dia akan menentukan sendiri "
"Dr, Nadia kemarin udah pas kayaknya dok, cantik, muda, pinter.. Aah, Istri idaman lah, kenapa sekarang cuma tinggal sejarah? " tanya suster Nani.
"Siapa yang bilang tinggal sejarah? Bahkan ceritanya belum sempat dimulai. Saya nggak tertarik buat melanjutkan dan menjadikan sebuah cerita kok."
"Hadeeeuh ... bingung saya tuh dok"
"Jangan dipikirin, berat ... suster nggak akan kuat, biar saya aja."
"Bisa aja dokter Aris. "
Aku tertawa. Suka sekali bercanda dengan suster Nani. Serius tapi santai.
"Masih ada tiga puluh menit sebelum pasien pertama Dok, makan kuenya dulu dari pada lapar nanti," ucap suster Nani mengingatkanku.
"Ya, saya baru berasa lapar nih," jawabku sambil mencomot satu kue di atas piring saji.
flash back
Setelah sholat subuh, aku melakukan treadmill selama 1 jam, dan sedikit gerakan ringan. Ini lah aktivitasku setiap hari sebelum sarapan dan berangkat ke rumah sakit. Saat ini aku tinggal sendiri di rumahku yang masih satu lingkungan dengan orangtuaku di area Kebayoran Baru. Aku tinggal bersama dua orang pembantu , supir dan satpam yang sudah ikut dengan ku delapan tahun terakhir.
Setiap pagi bapak dan ibuku menyempatkan mampir ke rumah ku sekedar sarapan sambil mereka jalan pagi. Persis seperti hari ini.
"Ris sini sarapan. Tadi ibu buatkan kamu omelette dan Roti bakar," ajak ibuku setelah melihat aku sudah rapi akan pergi ke Rumah sakit.
"Ya bu," jawabku sambil mengambil tempat duduk di depan ibu dan bapak.
"Bapak ke rumah sakit jam berapa, bukannya ada pasirn gawat katanya?" tanyaku membuka pembicaraan
"Nggak jadi, Pasien nya kemarin sore meninggal, jadi bapak datang jam 8 ke rumah sakit," jawab bapak.
O ya, bapakku adalah dr Rahardjo SpPD, beliau dokter senior. Tapi beda rumah sakit denganku. Beliau praktek di Rumah sakit milik Bapak sendiri. Aku tidak praktek di sana karena aku mau memiliki pengalaman lebih luas. Karena ujung-ujungnya nanti aku juga yang pegang rumah sakit itu. Bapak mengizinkan aku tidak bekerja disana sekarang, setelah aku berjanji bahwa aku akan mengurus rumah sakit itu kalau aku sudah banyak pengalaman di tempat lain.
Aku adalah anak tertua dari dua bersaudara. Adikku Karina seorang desainer yang cukup terkenal. Kesibukannya pun luar biasa. Karina sudah menikah dan memiliki seorang anak, Andin namanya. Suaminya seorang pengusaha muda, teman SMA nya dulu. Kalau aku kini berusia tiga puluh dua tahun, karina lima tahun lebih muda dari ku. Dia sama sekali berbeda jalur denganku dan Bapak. Jadi harapan bapak untuk melanjutkan Rumah sakit hanya padaku.
"Ris, Sabtu besok Ibu mau ke pesta pernikahan Bayu anak tante Laras di Hotel Rose, temenin Ibu ya, Bapak ada janji memancing sama teman-teman kuliah Bapak," ucap ibuku.
"Sabtu kan Aris praktek sampai jam empat sore bu" jawabku
"Acaranya malam kok Ris. "
"Hm ... nggak ada drama ngenal-ngenalin ya bu. Aris males kalo gitu," ujarku lebih dulu sebelum rencana ibu berkembang kemana - mana.
"Ya kan kita nggak tau nanti disana ternyata temen Ibu bawa anak perempuannya, masa nggak dikenalin. Kan cuma kenalan aja. Kalo merasa tertarik ya silahkan lanjut.. Kalo nggak tertarik ya udah. Kan Ibu nggak pernah maksa Ris."
Ini bukan pertama kali, makanya aku hafal kalau ada ajakan ibu seperti ini. Padahal selama ini tidak pernah berjalan, tapi herannya Ibu tidak pernah kapok.
"Nah itulah yang bikin Aris malas ke Pesta-pesta apapun, ada aja drama kenal-kenalan. Aris risih bu, harus senyum-senyum, harus ramah tamah padahal nggak minat. Ibu minta temenin Bu lek Harti aja, atau sama Hesti atau Hani " ucapku sambil menyebutkan nama bu lek dan sepupu-sepupuku yang sering menemani ibu berkegiatan, ntah shopping atau arisan ibu-ibu bersanggul dengan tentengan tas bermerk itu.
"Emoh, Ibu mau sama kamu aja. Lagian kenapa kayak anti sosial gitu deh kamu kalo diundang acara sama teman nggak pernah mau datang. Sakit hati sama Mona jangan ke bawa sampai sekarang dong Ris. Kamu berhak mendapatkan pengganti yang baru. Nggak usah pikirin lagi Si Mona itu. Itu sudah masa lalu. Cukup sekali kamu salah memilih istri, kali ini harus lebih baik lagi," ucap ibuku dengan nada sedikit tinggi dari tadi.
Aku kesal sebenarnya. Siapa juga yang masih mengingat Mona mantan istriku yang tega mengkhianatiku dengan berselingkuh dengan teman kakaknya. Masalah sebenarnya adalah aku belum menemukan wanita yang benar-benar membuatku jatuh cinta, hanya se-simple itu, tapi nggak ada yang paham selain Bapak.
"Kamu temenin ibu Ris, pasang aja wajah terjelekmu kalo ibu mulai ngenal-ngenalin kamu sama anak-anak temannya," bapak berusaha menengahi aku dan Ibu.
Aku berdiri dan bersiap pergi tanpa menyentuh sarapan ku.
"Aris baru ingat, harus berangkat pagi hari ini. Ada janji sama Panji. Mau diskusi pekerjaan." ucapku menyebutkan nama Panji sepupu ku. Kami akan bertemu siang ini sebenarnya, mau membahas pembangunan Cafe yang akan dikelola Panji dengan modal dariku. Tapi aku menjadikan alasan untuk segera meninggalkan ruang makan ini. Maaf ya nji, aku pinjem nama kamu untuk menyelamatkan diri.
"Sabtu habis maghrib kamu jemput ibu Ris," ujar ibuku yang tetap memaksaku.
Aku menghampiri ibu dan mencium pipinya. "Nggih ndorooo," jawabku lalu segera menyalami bapak dan pergi meninggalkan ruang makan.
"Aris jalan, Assalamualaikum."
Flasback off