" Hei! Kemari!!" Teriak salah seorang panitia acara mendaki, memanggil seorang pemuda bertubuh tinggi tegap dengan rambut coklat terang, senada dengan iris matanya untuk mendekat.
" Ya, kak?" Pemuda itu menundukkan kepalanya hormat. Ia adalah anak baru yang kebetulan terpilih untuk ikut mendaki ke pegunungan Alphen membantu organisasi sekolahnya.
" Siapa namamu tadi?" Tanya panitia itu khas dengan nada congkaknya
" Arken Smith kak." Jawabnya
" Arken tolong bawa semua peralatan ini jangan sampai ada yang tertinggal. Apa kau mengerti?" Perintah panitia itu lagi menunjuk pada peralatan yang tampak begitu banyak berserakan di tanah
" Saya kak? Sendirian?" Tanya pemuda bernama Arken itu seakan tak mampu.
" Ya, kenapa? Ada masalah?"
" Ti, tidak kak. Baik... Akan saya bereskan." Arken kemudian memilih semua peralatan itu dan menyusunnya satu persatu. Menjadi bahan lelucon dan tertawaan para panitia yang ada di sana.
" Kleo kau keterlaluan." Senyum seorang gadis, salah satu senior menyambut kedatangan panitia congkak tadi yang ternyata bernama Kleo Argantara. Salah seorang pendaki populer di sekolah mereka dan kakak kelas yang banyak disenangi orang karena prestasinya.
" Kenapa? Kau mau menolongnya, Gina?" Tanyanya mengulas senyum
" Oh, tentu!" Gadis bernama lengkap Regina itu kemudian melangkah santai mendekati Arken yang tampak sibuk.
" Apa kau haus anak baru?" Tanyanya menyodorkan segelas air dingin. Tentu saja, udara sangat terik siang itu dan Arken pasti sangat kehausan. Ia langsung mengangguk senang, sebelum...
Plash
Gelas itu jatuh ke tanah
" Ups, tumpah. Jangan lupa dibersihkan ya.. dilarang membuang sampah sembarangan." Gina memainkan matanya menghina lalu hendak beranjak
Sebelum....
Langkahnya terhenti saat seseorang menghadang. Seseorang yang ternyata Nobel Rafandra. Siswa baru yang cukup populer karena fisiknya yang lumayan menawan dan tinggi yang sempurna di usia yang masih muda. Ia juga masuk sekolah itu karena prestasinya dalam olimpiade fisika dan matematika yang beberapa waktu lalu sempat menjadi perbincangan hangat di seluruh kota. Ya, Nobel berbeda dengan kakeknya yang dulu sangat pasif bahkan menjadi korban bullying.
" Maaf, yang menjatuhkan gelas tadi kau kan? Sebaiknya kau bersihkan sendiri. Senior harus mengajari adik adiknya mandiri bukan?" Ujarnya menatap Regina dingin. Sedingin embun di musim salju
" Apa? Aku tidak salah dengar? Kau memintaku membersihkan ini?" Tanyanya seakan tak percaya bahwa siswa baru ini berani memerintah Seniornya. Nobel mengulas senyum, menatap gadis itu dari ujung kaki sampai ujung rambut.
" Ya, memangnya kenapa? Kau yang menumpahkannya bukan?" Ujarnya dengan suara s*****l setengah berbisik. Membuat jantung Regina berdegup kencang apalagi saat Nobel berada begitu dekat dengannya, gurat merah tercetak jelas di pipinya. Melihat hal itu, Kleo berlari ke sana.
" Heh anak baru! Lo berani sama panitia hah?" Tekannya mendorong pundak Nobel menjauh. Tapi...
" Kleo apa apaan sih, dia cuma menasehati. Lagian yang dia katakan bener, aku yang numpahin jadi aku yang harus beresin semuanya." Ujar Regina melerai. Gadis itu bahkan jongkok dan membereskan gelas yang tadi sengaja ia tumpahkan
" Cuma beresin ini kok sampai jadi perkara besar." Ucapnya
Nobel mengulas senyum penuh kemenangan. Arken yang melihat tindakan Nobel pun mengulas senyum sembari membereskan barang barang seniornya yang diperintahkan tadi
" Awas lo ya!" Tunjuk Kleo penuh ancaman kemudian melenggang pergi.
Nobel melangkah mendekati Arken lalu membantunya membereskan segalanya.
" Terima kasih. Namaku Arken Smith." Arken mengulurkan tangan
" Nobel Rafandra, harusnya kau berani melawan mereka. Kalau kau diam seperti ini, kau akan ditindas terus." Ucap Nobel membantu Arken hingga pekerjaannya selesai
Pemuda berparas manis dengan mata coklatnya itu hanya mengulas senyum kemudian menggeleng pelan.
" Aku tidak suka berurusan dengan kakak kelas. Lebih baik aku menurut, diam dan lulus dengan baik nanti. Lagipula aku tidak memiliki apapun untuk berani melawan mereka. Berbeda denganmu yang cerdas dan good looking." Ucapnya tersenyum
" Apa kau sedang menyindir atau memuji?" Tanya Nobel kemudian tertawa.
" Dua duanya." Jawab Arken renyah
Regina memperhatikan Nobel dari jauh, gadis itu mengulas senyum melihat tawa Nobel yang begitu menawan.
" Sejak kapan seorang Regina yang biasanya segarang singa berubah menjadi kelinci begitu? Membuang harga diri di depan adik kelas. Memalukan." Celetuk Kleo menghampirinya
" Sssttt diam deh. Dia ganteng juga ya, di televisi dia ganteng sih. Tapi ternyata aslinya lebih ganteng lagi. Bakal betah nih mendaki begini." Tutur Regina
" Ganteng dari mananya. Bocah ingusan begitu. Dia lebih muda dari kita, sadar Gin. Halaah." Gerutu Kleo
" Bodo amat, yang penting ganteng." Timpal Regina
" Ya ya ya saat ini memang good looking yang utama. Dasar ganjen!" Celetuk Kleo
" Biarin, yang penting tidak ganjen ke orang pecicilan sepertimu. Soal usia gak masalah lah terpaut beberapa tahun doang kan."
" Dasar gila."
Ya, dalam sekejab nama Nobel menjadi pembicaraan di sana. Seakan semua gadis mengidolakan dirinya. Cerdas, pintar, dan berani.
Mereka menyiapkan pendakian sampai matahari terbenam. Saat itu, Nobel menatap pegunungan Alphen dengan jantung berdegup kencang. Pemuda itu teringat akan kata kata dan semua cerita kakeknya tentang pegunungan itu. Rasanya jantungnya berdegup membayangkan 2 hari lagi mereka akan menjelajahinya.
" Takut ya? Cucu kakek tersayang?" Sindir Milly yang tiba tiba datang. Nobel bergeming, ia masih terpaku menatap pegunungan yang tinggi menjulang itu.
" Kalau takut mundur saja. Lagian cerita kakek kok dipercaya, yang ada nanti diterkam sama serigala Alpha.. hauummm!!" Milly berusaha menarik perhatian Nobel, tapi Nobel justru melirik sepupunya itu malas
" Aku pulang dulu. Kakek pasti menunggu." Ucapnya santai tidak sesuai expextasi kemudian meninggalkan Milly begitu saja.
" Dasar beruang kutub. Aku sumpahin benar benar ketemu Alpha ya entar! Dasar cucu gilanya kakek Albert!! Kalian benar benar sama tidak warasnya!" Teriak Milly seraya menghentakkan kakinya kesal
Nobel hanya melambaikan tangannya tanpa menoleh seakan tak peduli
" Nobeeelll!!!" Millypun mengejar
Tanpa mereka sadari, anak baru tadi, Arken Smith memperhatikan mereka dari balik pohon rindang. Tatapan mata coklatnya seakan tanpa ekspresi. Ia kemudian mengulas senyum
" Ternyata benar, dia cucu Albert." Gumamnya
Malam itu, cuaca terasa begitu dingin. Nobel tiba di rumah sakit tempat kakeknya dirawat tepat jam 9 malam. Albert tersenyum pucat melihat kedatangan cucu kesayangannya.
" Bagaimana?" Tanyanya dengan suara gemetar
" Kakek tenang saja, Besok lusa kami berangkat. Aku yakin, aku bisa bertemu dengan Alpha dan menyampaikan kerinduan kakek padanya." Jawab pemuda itu.
Albert perlahan merogoh sesuatu dari balik bantalnya. Sebuah sobekan kain dari kemeja lama yang membuat Raka mengernyit
" Bawa ini bersamamu. Ini akan membuat Alpha mengenali kalau kau adalah cucuku." Ucapnya
" Apa ini kek?" Nobel mengernyit
" Itu potongan baju yang kakek pakai untuk mengobati luka di perut Alpha. Dia pasti sangat mengenali baunya." Senyum Albert
" Terima kasih kek." Nobel mengambil hadiah usang yang kecil itu dengan mata berbinar binar. Melihat kegembiraan di wajah cucunya, Albert mengulas senyum pucat.
Akankah Nobel bisa bertemu dengan Alpha?