Bab 4 - Sibling Time

1245 Words
Malam sudah cukup larut ketika Sasmita meninggalkan lobi kantor dan berjalan menuju sebuah mobil hitam yang terparkir di depan lobi. Sasmita segera membuka pintu penumpang bagian depan dan masuk. Membuat laki-laki yang duduk di kursi kemudi terlonjak kaget dan hampir menjatuhkan ponselnya. “Kenapa nggak ngetok dulu kayak biasanya, sih? Untung HP-nya nggak jatuh. Kalau jatuh gimana, coba?” omel Wira seraya memasukkan ponselnya ke saku jaket. Tanpa rasa bersalah, Sasmita malah melepas sepatunya dan mengambil plastik putih di jok belakang mobil. “Beli lagi aja kalau rusak. Situ kan uangnya banyak,” jawabnya seraya mengeluarkan sepasang sandal jepit berwarna hitam polos. Sasmita memang sengaja meninggalkan sandal jepit itu di mobil sang kakak supaya kalau sewaktu-waktu ia ingin pakai, tapi lupa membawanya, ia bisa memakai sandal tersebut. Maklum, Sasmita kadang suka lupa meletakkan sesuatu. Jadi, alternatifnya ya menggandakan barang itu dan meletakkan di tempat-tempat tertentu. Bahkan Sasmita juga meletakkan sandal jepit yang sama di mobil ayahnya. Untungnya dua laki-laki beda usia tersebut, tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. “Uangmu juga banyak.” “Uang perusahaan itu!” “Tapi kan bisa dipakai belanja.” “Bisa, tapi habis itu aku dimasukkan ke sel tahanan sama Pak Roy!” Mendengar itu, Wira sontak tertawa. Ia membenarkan apa yang diucapkan sang adik. Roy, ayah mereka, memang sangat tegas dengan para pegawainya. Roy tidak akan memberi toleransi pada siapa pun yang melanggar aturannya, termasuk anaknya sendiri. Pernah dulu, Wira menemukan beberapa lembar uang seratus ribu di tangga. Ia yang saat itu sedang suka sekali mengoleksi komik pun memakai uang tersebut untuk komik. Roy yang saat itu mencari uangnya pun seketika marah ketika melihat Wira pulang dengan sekantung belanjaan berisi komik-komik edisi terbaru. Wira dimarahi habis-habisan dan dihukum. Sasmita yang sejak kecil memang dekat dengan sang kakak pun juga ikut kena imbasnya, ia jadi ikut dimarahi. "Besok-besok kalau tahu itu bukan punya kamu, tanya ke Mama atau Papa dulu, itu uang punya siapa? Jangan malah langsung kamu ambil begitu," ujar Roy saat itu. Satu tepukan menghentikan tawa Wira. “Heh! Jangan ketawa terus, nanti kesambet. Udah ayo buruan. Aku laper,” ujar Sasmita. “Nasgor?” “Go!” Wira segera menyalakan mesin mobil dan mengemudikannya keluar area kantor. Melewati pos keamanan, Wira membunyikan klakson untuk menyapa dua satpam yang sedang bertugas dan dua satpam itu membalas dengan mengangkat satu tangannya. “Lagi pula ya, Sas jadi orang tuh jangan boros. Selama barangnya masih bagus dan masih bisa digunakan, ngapain harus beli lagi? Buang-buang uang, namanya. Lebih baik uangnya, ditabung,” ujar Wira yang fokus menyetir. Jalanan malam ini lumayan ramai, tapi beruntungnya tidak menciptakan kemacetan panjang. Mobil yang dikemudikan Wira dengan kecepatan sedang berbaur dengan kendaraan lainnya. “Dih, kapan aku boros? Aku aja nggak pernah jajan kok,” jawab Sasmita. “Oh iya, kamu nggak pernah jajan? Terus yang kemarin merengek kayak anak kecil minta ditemani belanja, siapa? Mbak Kunti?” sindir Wira, tapi yang disindir malah nyengir lebar. “Habis barangnya lucu-lucu, sih, kan jadi sedikit khilaf. Belanja-belanja dikit.” “Sedikit apanya? Kemarin mobil Kakak penuh belanjaan kamu, ya. Kayak gitu kamu bilang sedikit? Dasar!” protes Wira. Laki-laki itu sudah berulang kali mengingatkan Sasmita, tapi sayangnya omongan Wira hanya masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Ya, meskipun Sasmita belanja memakai uangnya sendiri, tapi tetap saja Wira gemas dengan kebiasaan adiknya tersebut. “Iya, maaf. Kalau gitu sebagai ucapan terima kasih yang kemarin, aku traktir nanti.” “Permintaan maaf diterima.” Sasmita mendengkus kesal. “Dasar orang kaya sukanya gratisan!” “Yang penting perut kenyang, Sas.” Wira tertawa, sedangkan Sasmita memberengut kesal. Sesuai keinginan Sasmita, mereka pergi makan lebih dulu sebelum pulang. Tujuannya tidak lain adalah sebuah warung makan sederhana yang berada di perempatan dekat SMA mereka dulu. Tempatnya tidak terlalu besar, tapi cukup menampung delapan meja panjang dengan masing-masing meja tersedia empat enam kursi. Alasan lain mereka memilih makan di sini adalah karena harganya yang bisa terbilang cukup terjangkau. “Pak, pesan nasi gorengnya dua, ya. Minumnya es jeruk, dua,” ucap Sasmita pada Pak Wiryo, pemilik warung yang berdarah Jawa. “Siap, Neng!” Warung sedang ramai, tapi beruntung masih tersisa empat kursi di meja paling pojok. Sasmita segera menarik Wira ke kursi tersebut. Sasmita mengambil satu air mineral kemasan gelas yang tersedia di meja dan meminumnya. Ia tersenyum lega ketika rasa dahaganya berkurang. “Oh ya, kemarin jadi ke BC, Kak?” tanya Sasmita seraya meletakkan satu gelas air mineral lain di hadapan Wira. Pertanyaan tersebut bersamaan dengan dentingan notifikasi di ponsel Wira. Wira yang awalnya sibuk dengan ponsel pun mendongak. “Iya,” jawabnya lalu kembali fokus dengan ponsel. Laki-laki itu tampak mengetikkan sesuatu di layar sebelum meletakkan ponsel di meja dengan posisi terbalik. “Kenapa? Kamu nyesal ya karena kemarin nggak jadi ikut ke sana?” “Enggak kok. Biasa aja.” Obrolan mereka terhenti ketika seorang wanita paruh baya datang membawakan pesanan mereka. Sasmita mengucapkan terima kasih dan dibalas wanita yang tidak lain adalah istri pemilik warung tersebut dengan anggukan. Setelahnya wanita itu pergi, membantu suaminya lagi. “Sas, besok kamu berangkatnya sama Barra aja, ya?” Pertanyaan Barra menginterupsi kegiatan makan Sasmita. Wanita itu menatap sang kakak dengan alis terangkat. “Kenapa?” tanyanya. “Ya, kan kamu nggak pernah mau kalau berangkat sama Papa.” “Bukan itu! Maksudku kenapa nggak sama Kakak aja? Emangnya Kakak besok nggak ke kantor ?” tanya Sasmita lagi. Memang selama ini Sasmita jarang sekali mengendarai mobil sendiri ke kantor. Sasmita lebih suka nebeng Wira atau kalau kakaknya tidak bisa memberi tumpangan, ia akan minta Barra mengantarnya ke kantor dan Wira bertugas menjemput. Selalu seperti itu. Lumayan juga kan untuk menghemat bahan bakar mobilnya. “Kakak ke kantor agak siang. Ada yang mau Kakak urus dulu soalnya,” jawab Wira. Laki-laki itu sesekali mengecek ponselnya, seperti ada yang ia tunggu. “Penting?” “Iya.” “Aku bawa mobil sendiri aja kalau gitu,” putus Sasmita. “Lho, kenapa nggak sama Barra aja? Biasa juga kalau nggak bareng Kakak, kamu pasti minta Barra ngantarin. Kalian nggak lagi berantem, kan?” Sasmita menggeleng cepat. “Nggak! Besok Barra mau ke panti,” jawabnya. “Oh gitu, ya sudah besok kamu bawa mobil sendiri aja. Besok pagi biar Kakak cek mobil kamu,” ucap Wira. “Kayak tukang servis aja,” sahut Sasmita yang langsung dihadiahi tatapan tajam oleh Wira. Wanita itu tertawa. Bagi Sasmita, Wira adalah sosok kakak terbaik untuknya. Wira selalu menjadi orang kedua yang memahami Sasmita selain ibunya. Bahkan jika disuruh memilih antara ayahnya atau Wira, Sasmita dengan lantang menjawab Wira. Wira selalu menjaga Sasmita dengan baik terutama jika orang tuanya sedang sibuk. Bahkan dulu ketika ia masih SMA dan Wira mengantar-jemputnya, teman-temannya sering mereka adalah pasangan kekasih padahal mereka hanya saudara kandung. Sering juga teman-teman Sasmita mengatakan iri dengan hubungan persaudaraan mereka sampai ada juga yang secara terang-terangan meminta Wira menjadi kakak hingga kekasih mereka. Namun, tentunya itu semua ditolak Wira. Sedangkan bagi Wira, satu adik perempuan seperti Sasmita saja sudah cukup. Ia tidak mau menambah adik lagi. Ribet nanti. “Kak, besok-besok jangan nitipin aku ke Sakti lagi, ya? Aku nggak suka,” ujar Sasmita ketika di perjalanan pulang. “Iya, maaf ya soal yang tadi siang. Kakak gagal cegah Papa untuk nggak minta Sakti jemput kamu,” jawab Wira. Ia melirik Sasmita yang sibuk berbalas pesan dengan seseorang lalu kembali fokus pada jalanan. “Tapi, Sas apa kamu sudah tahu, belum kalau Papa ngadain acara makan malam dengan keluarganya Sakti besok Minggu?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD