“Selamat pagi, Cantik.”
Sapaan itu menyambut Sasmita ketika ia membuka pintu ruangannya. Seseorang dengan kemeja polos warna hitam dan celana bahan hitam sedang duduk di kursi depan meja kerjanya.
“Ngapain kamu di sini?” Bukannya balas menyapa orang itu, Sasmita justru melemparkan sebuah pertanyaan dengan nada tidak bersahabat.
“Ngapain lagi saya di sini kalau bukan karena ingin mengunjungi calon istri saya?”
“Jangan mimpi, Sak. Aku nggak akan pernah mau punya calon suami seperti kamu,” peringat Sasmita.
Sejak berangkat, suasana hati Sasmita sudah buruk gara-gara perdebatannya dengan ayahnya di meja makan tadi. Dan sekarang suasana hatinya semakin bertambah buruk dengan kehadiran Sakti di ruang kerjanya.
“Tapi saya memang calon suamimu, Sas. Kamu nggak lupa, kan kalau kita dijodohkan? Jadi, cepat atau lambat kita pasti akan menikah,” jawab Sakti seraya memutar kursi menghadap ke arah Sasmita. Pandangannya lurus pada wanita yang sudah mencuri hatinya sejak pertemuan pertama mereka.
Sasmita mendengkus. Wanita itu melangkah menuju meja kerjanya, meletakkan tas di atas meja, lalu duduk di kursinya yang berada tepat di seberang kursi Sakti.
“Aku menolak perjodohan itu. Jadi berhenti mengejarku. Lagi pula, untuk apa aku menerima perjodohan itu kalau aku saja sudah punya calon suami sendiri?”
Sakti tertawa. “Apakah calon suami yang kamu maksud adalah kekasihmu itu, Sas? Siapa namanya ... Barra? Ah iya benar, namanya Barra.”
“Kalau iya, kenapa? Barra jauh lebih baik daripada kamu.”
“Ya, saya harap dia memang lebih baik daripada saya. Tapi, Sas sepertinya ayahmu tidak menyetujui hubungan kalian. Ayahmu terlihat tidak senang saat kamu membahasnya kemarin saat makan siang.”
“Apa kamu tidak punya pekerjaan lain selain mengoceh dan menggangguku, Sak?”
“Oh tentu saja pekerjaan saya banyak. Hari ini saya ada janji temu dengan arsitek yang menangani rancangan gedung apartemen baru saya, tapi saya menyempatkan diri menemui kamu dulu.”
“Kita sudah bertemu sekarang. Jadi lebih baik kamu segera berangkat menemui arsitek itu supaya pembangunan apartemen barumu juga bisa lebih cepat selesai,” ujar Sasmita.
“Usiranmu sangat halus, Sas, tapi kursi ini terlalu nyaman untuk ditinggalkan. Jadi, biarkan saya beristirahat di sini dulu sebentar sampai jam makan siang tiba,” jawab Sakti seraya menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi dan mulai memejamkan mata.
“Apa benar kamu menyukaiku, Sak?”
Satu pertanyaan itu berhasil membuat Sakti kembali menegakkan punggungnya. Laki-laki itu menatap Sasmita lekat kemudian tersenyum.
“Saya benar-benar menyukaimu, Sas. Bahkan lebih dari itu. Saya mencintaimu,” tegas Sakti. Tatapannya begitu serius pada Sasmita.
“Kalau misalnya aku minta sesuatu yang mahal sama kamu, apa kamu akan menurutinya?” Sasmita bertanya lagi.
“Tentu saja, Sas. Jangankan kamu minta barang mahal, apa pun akan saya lakukan untuk membuat kamu bahagia,” jawab Sakti.
“Apa pun?” ulang Sasmita.
“Ya, apa pun akan saya lakukan untuk kamu,” jawab Sakti.
“Kalau begitu, boleh aku minta satu hal sama kamu?”
“Silakan, kamu mau minta apa?”
Sasmita mencondongkan tubuh ke depan. Kedua tangannya terlipat di atas meja. “Keluar dari ruanganku, sekarang.”
“Aku sibuk. Jadi, lebih baik kamu keluar dari ruanganku sekarang atau aku yang akan menyeretmu keluar!” peringat Sasmita lagi.
“Astaga, tega sekali kamu mengusir calon suamimu sendiri, Sas. Apa kata orang-orang di kantormu nanti kalau tahu anak atasan mereka mengusir calon suaminya sendiri?”
“Sakti keluar!” teriak Sasmita.
“Tidak. Saya masih ingin di sini.”
“Keluar atau—”
“Baiklah, saya akan keluar, tapi setelah kamu jawab pertanyaan dari saya. Bagaimana?” potong Sakti.
Sasmita menghela napas kesal sebelum akhirnya menjawab, “Oke, satu pertanyaan dan setelah itu kamu keluar.”
“Tidak masalah.”
“Apa pertanyaannya?”
“Pertanyaannya, tipe laki-laki seperti apa yang kamu suka?”
“Laki-laki yang kepribadiannya seperti Wira Wardhanu. Dan itu hanya ada pada sosok Barra Refano.”
Ya, Sasmita tidak salah. Wira adalah tipe laki-laki idamannya. Kepribadian kakaknya itu benar-benar idaman semua perempuan. Bahkan dulu Sasmita pernah berharap ada keajaiban yang melenyapkan fakta bahwa Wira adalah kakak kandungnya, dengan begitu ia bisa menikah dengan laki-laki itu.
Itu adalah harapan paling konyol yang pernah Sasmita buat. Ia sangat malu jika mengingat harapan konyol tersebut.
Namun, sekarang seolah Tuhan menjawab harapannya, Sasmita dipertemukan dengan Barra. Laki-laki yang memiliki kepribadian hampir sama dengan kakaknya. Laki-laki yang selalu memperlakukannya seperti seorang putri.
Sasmita jadi perempuan yang paling beruntung setiap kali bersama mereka.
Sayangnya, hubungannya dengan Barra belum juga mendapatkan restu dari sang ayah. Ayahnya selalu memandang semua orang berdasarkan materi dan Sasmita tidak suka dengan sikap ayahnya. Itu kenapa Sasmita sering terlibat perdebatan hingga perang dingin dengan sang ayah. Ya, karena sikap ayahnya itu.
Ayah selalu mengharuskan anak-anaknya menjalin hubungan dengan pasangan yang sepadan dengan mereka. Karena kalau sampai anak-anaknya melanggar, maka ayah tidak akan memberikan restu.
Seperti apa yang Sasmita alami saat ini. Ayah belum juga memberikan restu pada hubungannya dengan Barra hanya karena Barra berasal dari keluarga sederhana dan yatim piatu. Padahal Sasmita sendiri tidak pernah mempermasalahkan status sosial seseorang, yang Sasmita pedulikan adalah bagaimana kepribadian mereka dalam lingkungan sosial.
Sasmita bahkan sudah melakukan banyak cara untuk meluluhkan hati sang ayah, tapi usahanya tetap tidak membuahkan hasil. Ayahnya justru malah semakin membenci Barra dan bahkan menuduh Barra yang sudah membuat Sasmita berubah menjadi pembangkang.
Kadang Sasmita ingin menyerah, tapi sikap optimis Barra selalu bisa menyalurkan semangat untuknya. Seperti sekarang ini contohnya. Lagi-lagi Barra menguatkannya untuk tetap memperjuangkan hubungan mereka berdua.
“Tuhan itu nggak pernah tidur, Ta. Semua doa-doa kamu, doa-doa kita pasti didengar. Hanya saja belum diwujudkan sekarang karena Tuhan ingin melihat bagaimana umatnya berusaha, bagaimana umatnya melewati semua ujian yang ada untuk mencapai impiannya.
“Jadi, aku yakin kita pasti bisa melewati ujian itu, Ta. Aku yakin suatu saat nanti, pintu hati Papa kamu pasti akan terketuk dengan semua usaha yang kita lakukan. Dan beliau pasti akan merestui hubungan kita.”
“Kalau misalnya Papa tetap nggak kasih restu gimana?” tanya Sasmita.
“Kan kita masih belum tahu hasilnya, Ta, tapi kalau misalnya Papa kamu tetap nggak kasih restu, ya berarti memang itu sudah bagian dari takdir Tuhan. Hubungan kita cuma bisa sampai di situ aja,” jawab Barra seraya mengusap punggung tangan Sasmita. Hal itu yang sering Barra lakukan setiap kali Sasmita merasa hampir menyerah seperti saat ini.
“Kamu nggak capek, Bar dengan hubungan kita ini?” tanya Sasmita seraya menatap tepat di kedua mata Barra. Yang ditatap malah mengulas senyum simpul.
“Kalau aku capek dengan hubungan kita, aku nggak akan mau repot-repot ngajakin kamu jalan-jalan, kulineran kayak gini. Lebih baik aku ninggalin kamu dan kencan sama cewek baru aku, Ta.”
Sesuai janji Barra di kafe waktu itu, hari ini Barra mengajak Sasmita ke jalan-jalan sekaligus melakukan rutinitas mingguan mereka yaitu pergi ke pantai. Setelahnya mereka akan menghabiskan waktu untuk berburu makanan. Setelah dari pantai tadi, mereka sudah makan hidangan laut, tapi sampai kota mereka makan lagi.
“Oh, udah planning ya kamu kalau capek bakalan ninggalin aku dan kencan sama cewek baru?”
“Heh, astaga bukan gitu, Sayang. Aku tadi kan—”
“Iya, aku tahu Bar. Aku bercanda. Kamu kan bucin banget sama aku, ya,” ucap Sasmita lalu tertawa.
Barra mendengkus kesal. Tangannya bergerak mengacak rambut wanita di hadapannya itu. “Tapi kamunya bucin banget sama spaghetti bolognese, kan kurang ajar namanya.”
“Ya jangan disamain sama makanan, dong. Beda subjek itu,” protes Sasmita seraya memukul lengan Barra, tapi laki-laki itu malah tertawa lebar.
“Sasmita?”
Panggilan itu sontak membuat Sasmita dan Barra menoleh. Sasmita membelalak kaget mendapati sosok yang tidak diharapkan berdiri di sebelah mejanya dengan senyuman khasnya.
“Saya kira tadi orang lain, ternyata beneran kamu, Sas,” ujar Sakti lalu beralih menatap Barra.
“Halo, kita ketemu lagi. Masih ingat dengan saya, kan? Kita pernah ketemu beberapa hari lalu.”
“Oh, Mas yang waktu itu di parkiran sama Sasmita? Ya ya, saya ingat. Nggak nyangka ya kita ketemu di sini. Anda apa kabar?”
“Kabar saya sangat baik. Anda sendiri apa kabar?”
“Saya juga baik. Ngomong-ngomong Anda sendirian atau sedang menunggu teman?”
Sasmita yang sejak tadi merasa tidak nyaman dengan kehadiran Sakti, semakin merasa was-was apalagi mengingat Sakti adalah seorang yang suka asal bicara.
“Ngapain kamu di sini, Sak?” tanya Sasmita.
“Boleh saya duduk di sini? Teman saya sepertinya masih lama datangnya. Lagi pula kita bisa sekalian ngobrol-ngobrol, siapa tahu kita punya minat yang sama ya, Barra.”
Kalau saja tidak di tempat umum, sudah pasti Sasmita akan langsung menyeret Sakti keluar dari restoran ini. Sayangnya laki-laki itu malah terlibat pembicaraan yang seru dengan Barra. Mereka sibuk membicarakan tentang kopi dan sejenisnya, motor, dan bahasan bertema laki-laki lainnya. Dua laki-laki itu mengabaikan Sasmita.
Dering ponsel Sasmita menginterupsi obrolan dua laki-laki tersebut. Nama Wira tertera di layar dan tanpa menunggu lama, Sasmita segera menerima panggilan tersebut. Wira bilang, Sasmita harus segera pulang supaya bisa membantu ibunya menyiapkan keperluan untuk makan malam nanti.
“Wira nyuruh aku pulang sekarang, Bar,” ujar Sasmita setelah panggilan berakhir.
“Ya udah, nggak apa-apa. Ayo aku antar kamu pulang. Sakti, kami duluan, ya?”
“Ya, silakan. Saya juga mau menemui teman saya, sepertinya dia sudah datang,” jawab Sakti.
Namun, ketika Sasmita beranjak, Sakti menahan lengannya. Laki-laki itu sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Sasmita.
“Sampai ketemu nanti malam, Sas.”