Bab 4 - Jovanka Membenci Earl

2254 Words
Earl selalu menyempatkan diri di tengah kesibukannya untuk melihat sahabatnya di rumah sakit. Sejak dirinya membawa wanita itu ke sana, sampai saat ini dia belum sadarkan diri. Pria itu menyegarkan wajah si cantik yang masih memejamkan mata. Menyeka kulit wajahnya dengan lembut. Tiba-tiba saja, sudut bibirnya bergerak. Earl terkejut dan langsung menyingkirkan handuk basah itu dan mencoba memanggil namanya. “Ayana.” Alis Jovanka berkedut, hampir menyatu karena dirinya tersadar dari tidur panjangnya. Butuh waktu 50 detik untuk mengangkat kelopak matanya yang sangat terasa berat. Jovanka melihat dengan hati-hati, cahaya matahari yang terang membuatnya langsung menyempurnakan tatapannya ke arah langit-langit. Jovanka langsung duduk dan melihat ke sekeliling. “Aku di mana?” tanya Jovanka dalam bahasa Italia. Earl merasa bingung dengan ucapanya. “Ayana,” panggilnya lagi. “Siapa kau?” tanya Jovanka. Earl mulai menyadari bahwa sahabatnya berbicara menggunakan bahasa lain. “Ayana, kau kenapa pakai bahasa Italia?” tanyanya. Jovanka sedikit-sedikit mengerti bahasa yang dilontarkan oleh Earl. Dia melihat ke sekitarnya, mencari sesuatu terkait keberadaannya. Jovanka melihat surat dari rumah sakit lalu membacanya. “Kenapa semua tulisan Prancis? Aku di mana ini?” tanyanya sendiri dengan bahasanya, lalu yang membuatnya semakin tertegun adalah tanggal yang tertera di surat itu. “Tahun 2021? Apa-apaan ini?” lanjutnya mencampakkan surat itu. "Aku di mana sekarang? Kau siapa?" tanyanya lagi memastikan bahwa dia mengerti bahasanya. Earl tahu bahwa itu logat bahasa negara Italia, tapi dia tidak pandai mengartikannya. Akhirnya dia bicara menggunakan bahasa Inggris pada Jovanka. “Ayana, ini aku, Earl. Sahabatmu!” ucapnya dalam bahasa Inggris, semoga dia mengerti. Jovanka tertawa renyah. "Aku bukan Ayana, aku Jovanka!” jawabnya dengan ekspresi sombong, akhirnya mereka punya bahasa yang bisa menjembatani percakapan. "Jovanka? Apa kau bercanda padaku?" "Aku tidak sedang bercanda! Di mana aku sekarang?” tanyanya. "Di rumah sakit." "Bukan, maksudku itu aku di kota mana saat ini?" “Paris!” jawab Earl. Jovanka terkejut bukan main. “Paris?” tanyanya dengan ekspresi bingung. Earl lebih bingung menghadapi wanita yang tiba-tiba sadar dengan keadaan seperti orang lain ini. “Ayana! Ada apa ini? kenapa kau bersikap seperti bukan dirimu?” tanyanya sambil berpacak pinggang dan salah satu tangan lain memijat kening. Jovanka mengerti ucapannya. “Aku bukan Ayana, aku Jovanka. Asalku dari Italia!” “Hahaha.” Earl tertawa skeptis. Rasanya mau gila mendengar pernyataan barusan. “Ayana, berhenti bercanda. Aku sudah menunggumu selama 5 hari di sini dan saat kau bangun, malah kau mengaku menjadi Jovanka!” tandasnya kesal. “Hei, aku tidak bercanda!” Jovanka mengambil surat tadi dan menunjukkannya pada Earl. “Jelaskan padaku, kenapa surat ini menunjukkan tahun 2021? Sekarang siapa yang sedang bercanda?” tanya Jovanka. “Astaga, Kita baru melalui malam tahun baru! Wajar sekarang sudah tahun 2021, bukan lagi tahun 2020,” jelas Earl. Jovanka mengernyit heran, bibirnya terus menggerutu dan berusaha meyakinkan diri bahwa semua ini adalah mimpi. “Tidak mungkin! Mana suamiku?” tanyanya. “Siapa? Suami? Hahahaha!” Earl semakin merasa frustasi. “Iya, suamiku mana? Calvin Smith!” jawabnya dengan serius. Earl melangkah mendekatinya, memegang kedua lengan Jovanka dengan erat dan menatap wajahnya. “Ayana Parker, itu namamu–dan kau belum menikah! Kau lahir di Paris dan sekarang masih tinggal di Paris!” tuturnya dengan lembut. Jovanka tercekat, rasanya dia tidak sedang bercanda, tetapi mana mungkin dirinya bisa berada di negara lain dan terdampar di tahun berbeda. “Aku dari Italia, namaku Jovanka,” ulangnya lagi membalas ucapan Earl. Mereka saling bertatapan, perlahan bingkai tajam Earl melemah dan memeluknya. Pria itu merasa bahwa sahabatnya itu sedang dalam tekanan jiwa karena putus dari kekasihnya, Damian. Jovanka melepaskan tubuhnya. “Lepaskan!” bentaknya kasar. “Jangan berani-beraninya kau pegang tubuhku. Aku tidak mengenalmu!” erangnya dengan ekspresi dingin. Earl terdiam, menatap ke bawah. Mereka berdua sama-sama bingung. Ruangan sontak hening beberapa detik sampai mereka mendengar seseorang membuka pintu dan menyapa ramah mereka. “Selamat siang!” ucap dokter yang datang bersama perawat. Earl menyapa dokter tersebut dan menjabat tangannya. “Selamat siang, Dok!” “Wah, Nona Ayana sudah siuman? Kenapa tidak dikabari ke perawat?” tanya dokter. “Oh, maaf, Dok! Saya belum sempat. Dia baru saja sadar.” “Haha, begitu rupanya! Bagus! Kalau begitu Nona Ayana bisa segera pulang. Saya melihat anda sudah segar dan sehat.” Earl tersenyum kecut. “Dokter, bisa kita bicara?” tanyanya. “Bisa, setelah saya memeriksa keadaannya.” Jovanka membiarkan dirinya diperiksa oleh pria itu. Perawat juga mengecek kondisi vital tubuhnya seperti tekanan sistol/diastol, suhu tubuh dan pergerakan kesadaran. “Dokter, benar kah sekarang tahun 2021?” tanya Jovanka. Dokter itu terkejut, pertanyaan yang aneh. “Ya, benar. Kau koma selama hampir 5 hari sejak malam tahun baru. Wajar sekarang sudah berganti tahun.” Jovanka mengingat momen terakhir dirinya di danau dan berniat bunuh diri. “Saya kenapa?” tanyanya. “Anda tidak ingat?” tanya dokter. Jovanka tidak mungkin mengatakan bahwa dirinya mencoba bunuh diri, akhirnya wanita itu menggeleng saja. Dokter menganga dan menatap dirinya sejenak kemudian tersenyum. “Nanti akan dijelaskan oleh pria yang selalu setia menunggumu di sini, tapi sekarang saya butuh waktu untuk bicara dengannya. Kau bersantai saja dulu dan minum air serta buah yang ada di meja. Perawat mendekatkannya pada Jovanka. Dokter meminta Earl ikut dengannya ke ruangan. Mereka akan membicarakan keadaan Jovanka. “Sus, bisa pinjam ponsel?” tanya Jovanka. Wanita itu memberikannya dan Jovanka langsung menghubungi nomor Calvin. “Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi. Mohon periksa kembali nomor tujuan anda-“ Tanpa menunggu sampai selesai, nada otomatis itu memberi sinyal bahwa nomor Calvin tidak aktif lagi. Jovanka meminta suster mengambilkan cermin. Perawat itu membantunya mengambilkan dari dalam laci. Tidak ada yang berubah saat dia melihat sendiri bayangannya. Hanya saja warna rambut Hazelnut ikalnya berganti menjadi hitam dan lurus. Juga, terdapat tahii lalat di sudut bibir bawah yang kanan. Wanita itu langsung lemas, merasa bahwa dirinya masuk ke lorong waktu dan terdampar ke sini. Jovanka mengingat sebuah cahaya dalam air saat dirinya membenamkan diri dalam danau. Mungkinkah cahaya itu merupakan pintu masuk ke dimensi lain? tanyanya sendiri dalam hati. * Bagaimana bisa doaku terkabul untuk lepas dari Calvin? Berarti saat ini aku adalah Ayana, wanita yang punya wajah sama persis denganku. Jovanka bergumam sembari menatap foto yang ada dalam figura, duduk manis di atas meja. Earl membawanya pulang ke rumah, wanita itu terlihat kebingungan dan menatap ke segala arah. Semua barang yang ada di sana dilihat satu persatu, Earl mengikutinya. "Jadi, kau siapanya Ayana?" tanya Jovanka. "Aku sahabatmu," jawabnya dengan sabar. Sesuai permintaan dokter, dia harus sabar selama pasien mengalami amnesia. Earl benar-benar tak habis pikir, sahabatnya bisa mengalami amnesia. Batinnya bersumpah tak akan menceritakan apa pun tentang Damian, pria yang diduga Earl menjadi sebab utama Ayana bunuh diri. "Ayana anak yatim piatu?" "Hmm, benar." "Aku kerja di mana?" tanya Jovanka. "Di perusahaan properti." "Tugasnya?" "Menawarkan apartemen atau rumah." "Owh, begitu. Terus, di rumah ini aku tinggal dengan siapa?" "Aku." "Hah? Kau tinggal dengan Ayana?" Jovanka menaikkan alisnya. "Kau pasti sudah merasakan tubuhnya." Earl menyeringai kesal. "Kau kira aku bisa melakukan hal itu sebelum ada rasa sama-sama suka?" tanyanya. "Mungkin saja, tidak menutup kemungkinan kalau kau suka pada Ayana." "Ayo lah, Ayana! Berhenti jadi Jovanka. Kembali jadi Ayana yang sangat menggemaskan," pinta Earl. Jovanka berbalik ke arah pria tersebut, melipat tangannya dan mendengus, "Huft! Aku bukan perempuan seperti itu. Aku paling benci bermanjaan dan bersikap romantis." "Sudah-sudah, aku pusing melihatmu! Aku mau pergi." "Ya, pergilah!" sahut Jovanka. Jovanka melihat Earl keluar dari rumah. Wanita itu langsung kesenangan dan berjoget sendiri karena akhirnya dia bisa lepas dari hubungan rumah tangga yang sangat membuatnya pusing! Jovanka ke dapur, mencari buah dan segera memakan apel merah yang rasanya sangat manis. "Calvin! Aku tak akan lagi melihatmu! Kini aku menjalani hidup baru, meski sebagai Ayana. AKU BAHAGIA!" jeritnya sambil berjalan ke arah ruang tv dan menjatuhkan tubuh ke sofa. "Aaahhh, enaknya! Bisa lepas dari semuanya. Thalia si burung hantu, Calvin si maniak tubuhku, dan si nenek penyihir yang terus menyuruhku pisah dengan cucunya." Jovanka memang merasa asing di negara ini, tapi tak akan ada salahnya jika dia mulai beradaptasi. "Sampai kapan aku di sini? Terus Ayana saat ini berada di tempatku? Hahaha, aku bisa merasakan bosannya berada di rumah itu. Kasihan Ayana, aku sangat beruntung bisa merasakan hidup di tahun 2021." Jovanka melihat pemandangan luar melalui jendela. Apartemen kecil yang mereka tempati ada di lantai 3, lumayan untuk melihat ke daerah perkotaan. Bahkan, menara Eiffel yang selama ini diidamkannya, kini berada dekat dengan apartemennya. Tanpa pikir panjang, Jovanka segera berganti pakaian dan mencari uang di semua tas milik Ayana. Jovanka menemukannya dalam tas beserta kartu identitas. Jovanka langsung mengambil tas itu dan membawanya pergi. Setiap kakinya melangkah, seperti sedang mendengarkan musik. Gerakan tubuhnya bergoyang, tak pernah selama ini Jovanka berdansa, tetapi hari ini rasanya dia akan menari terus walau sendirian. Jovanka memandang ke semua tempat, wajah orang-orang serta bahasa yang digunakan memang terasa asing. Untung saja dia pernah belajar bahasa Prancis saat di sekolah. Ilmu itu berguna sekarang! Tempat pertama yang ingin didatanginya adalah salon. Jovanka mau membuat rambutnya bergelombang, sudah jadi ciri khasnya dan wanita ini tidak suka rambut lurus seperti milik Ayana. Jovanka juga akan mengubah warna rambutnya menjadi lebih cerah. Hitam alami tidak akan membuatnya percaya diri. Wanita itu sudah duduk manis di kursi yang bisa berputar dengan engsel pada sumbu bawahnya. Pekerja salon menanyakan keinginannya dan Jovanka menjelaskan semua. Segera dilaksanakan permintaannya, pertama mewarnai rambutnya, setelah itu baru dikeriting. Dua jam kemudian. Jovanka puas pada hasilnya, setelah dibayarnya - wanita itu lanjut ke sebuah toko parfum. Aroma tubuhnya tidak sesuai dengan aroma parfum milik Ayana di kamarnya. Jovanka memilih seleranya sendiri lalu menyemprotkannya ke tubuh. Uang dalam dompetnya masih ada, cukup untuk membeli parfum yang diinginkannya. 20 menit kemudian, Jovanka sudah berada di depan menara Eiffel! tempat yang paling disukainya. Sering dia melihat lokasi ini dari internet, tetapi belum sempat berkunjung. Suaminya tak pernah mau diajak jalan jauh, alasannya selalu karena sibuk bekerja. "Aku akan mencari Nuke, mumpung aku tidak menjalin status sebagai istri." Jovanka merogoh ponsel dari tas Ayana dan menghubungi nomor mantan kekasihnya. Namun, sayangnya kartu pascabayar yang dimiliki Ayana tidak punya pulsa. "Aaghh! Kenapa Ayana miskin sekali? masa pulsa saja tidak punya?" Jovanka mencari tempat untuk mengisi pulsa, mampir ke minimarket lalu menambahkan saldo di dalamnya. "Dasar Ayana, uang banyak, tapi pelit terhadap diri sendiri." Setelah selesai, Jovanka coba menghubungi nomor Nuke. Sayangnya tidak bisa dihubungi karena berada di luar jangkauan. Jovanka kecewa, tetapi dia akan terus mencobanya tanpa merasa lelah. Ini adalah kesempatan baginya untuk mengambil hati Nuke yang telah hilang karena ikatan pernikahan. * Dibalik kebahagiaan Jovanka yang sedang terkurung dalam raga Ayana, di sisi lain Earl sudah sangat frustasi. Pria itu duduk di sebuah kelab dan minum alkohol dalam jumlah banyak. "Tampaknya kau sangat kesal," ujar bartender yang sedang meramu minuman untuk pembeli lainnya. "Ya, masalahku tak akan kalian alami." "Kau itu pria kuat, mengapa bisa rapuh karena masalah kecil?" tanyanya. "Banyak gadis di sini, kau bisa tunjuk satu dan kau bawa bersenang-senang." "Aku tidak bisa, sama sekali tidak bisa." Si bartender tertawa. "Kau pasti sangat mencintainya, kalau gitu kau harus memilikinya malam ini," hasutnya. Earl tertawa, meneguk minumannya dan minta tambah lagi. Sudah gelas ke 5, mulai dari beberapa jam yang lalu. Ini adalah jenis ke-3 minuman yang telah dikonsumsinya. Perutnya mulai panas, Earl membayar semua pesanannya dan langsung pergi. Tak mungkin dia mengendarai mobilnya, Earl membiarkan kendaraan itu di parkiran dan pulang menggunakan taksi. Sesampainya dia di apartemen, Earl masih harus naik tangga sampai ke lantai 3. Ayunan kakinya melemah, Earl bernyanyi sepanjang jalan. Akhirnya dia tiba di depan pintu. Buk. Buk. Buk. Ketukan kasar itu terdengar sampai ke kamar Ayana. Jovanka yang sedang berbaring sambil memakai sheet mask, langsung bangun dan membukakan pintu untuk Earl. "Kau mabuk?" tanya Jovanka. "Tidak, aku tidak mabuk! yang mabuk itu kau, Ayana! kau mabuk," ujarnya dengan sembarangan dan nada mendayu. Jovanka menutup pintu dan mengikutinya dari belakang. "Duduklah, aku akan ambilkan minum." Earl merasa perutnya mual dan ingin mengeluarkan semua isinya, dengan cepat dia berlarian ke wastafel. Jovanka segera ke dapur, menuang air hangat untuknya serta membawakan handuk basah. Jovanka memberikan handuk itu pada Earl. "Terima kasih, Jovanka!" ucapnya. "Bagus! kau sudah bisa menerimaku sebagai Jovanka, bukan Ayana." Earl tersenyum, "Kau mengubah rambutmu?" "Ya, menurutku jauh lebih bagus seperti ini," jawab wanita itu, lalu memberikan segelas air pada Earl. Pria itu meneguknya sampai habis. Berjalan ke arah ruang tv, setelah meletakkan gelasnya di atas meja makan. Jovanka mengikutinya, "Aku akan masuk ke kamar. Jika kau perlu sesuatu, kau pasti lebih tahu rumah ini ketimbang aku. Jadi, tak perlu panggil aku hanya untuk menanyakan ini dan itu," ujar ya mengingatkan. Earl menarik tangannya dam segera berdiri. "Jovanka, kau bilang dirimu adalah Jovanka, benar?" tanyanya. "Ya, benar!" Earl tersenyum kemudian melangkah semakin dekat dan langsung melumat bibir Jovanka dengan paksa. Wanita itu berusaha melepasnya, Earl mengurungnya dalam dekapan erat. Tangannya melingkar di pinggang dan memegangi jari Jovanka yang berusaha melawan. "Kau! berani sekali melakukan hal ini!" bentaknya kemudian terpaksa menggunakan lutut untuk menendang sesuatu yang berada di tengah celah pangkal pahanya. "Aw!" Earl menjerit kesakitan. "Rasain! enak aja sembarangan nyentuh Jovanka. Jangan harap kau bisa melakukannya." Wanita itu langsung lari ke dalam kamar dan mengunci pintunya. Jovanka mengusap bekas bibir Earl dengan tisu basah. "Aku sangat jijik padanya! Aaghh. dia menyukai Ayana, aku tidak akan biarkan tubuh wanita ini jatuh ke pelukan pria seperti dia." Jovanka menuju tempat tidur dan segera menutup mata. Sudah sangat mengantuk rasanya. Mata yang bersinar terang, malam ini mulai redup. Mereka ingin mengisi kekuatan agar bisa terang lagi keesokan harinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD