Bab 14. Tugas Fira

1113 Words
Di Paris, Edwin menyempatkan diri untuk bertemu seorang kerabat, yang tidak lain adalah sepupunya, Neil. Keduanya bertemu di restoran di dekat menara Eiffel. Meskipun pemandangan sangat indah seputar menara, tapi tidak dengan suasana hati Edwin. Dia mengeluh kepada Neil mengenai keadaan rumah tangganya. Imelda memang sudah tidak "berulah", tapi terkadang sikapnya yang sering berubah-ubah, kadang senang kadang murung, jika ditanya selalu dijawab tidak apa-apa atau hanya pusing di kepala. "Sudahlah, Ed. Kamu selesaikan saja pernikahan kamu dengan Imelda. Tidak berarti mencari yang lain, tapi untuk ketenangan hidup kamu juga. Ini sudah delapan tahun dan apa yang kamu hasilkan dari pernikahanmu, pengkhianatan dan kematian ayahmu. Kamu tau Om Albert cerita ke aku bahwa sebelum ayahmu meninggal dia selalu mengeluhkan pernikahanmu dengan Imelda." Sudah sekian orang telah memberi nasihat kepada Edwin untuk segera menyudahi pernikahannya. Mereka sebenarnya tidak mempermasalahkan Imelda yang tidak mampu memberi anak, akan tetapi sikap Imelda yang mengecewakan, telah beberapa kali berkhianat, bahkan di depan mata. Namun, tampaknya Edwin masih saja mempertahankan pernikahannya dengan alasan masih menyayangi Imelda, teman sejak kecilnya. Satu kelebihan Imelda di mata Edwin, dia tidak pernah mau mencampuri urusan bisnis dan pekerjaan Edwin, tidak pula mempertanyakan harta kekayaan keluarga besar Elmer. "Aku sangat mencintainya," lirih Edwin. Tapi hatinya sakit mengingat ulah istrinya sebelumnya, dan yang paling parah, Imelda bertemu Damar tepat di hari pemakaman ayahnya. "Lagi pula dia sudah tidak lagi bertemu Damar atau menghubunginya." "Seberapa yakin?" Edwin menghela napas panjang, tatapannya tertuju ke puncak menara Eiffel dan sekitarnya, mengingat masa-masa indah bulan madu bersama Imelda beberapa tahun silam di sekitar menara. "Aku yakin." Neil mengamati wajah Edwin dengan seksama, lalu berkata dengan nada tegas dan berat, "Kamu buatlah target. Maksudku, kamu sebaiknya membuat peraturan lebih tegas kepada istrimu. Jika dia berulah satu kali lagi, kamu ceraikan dia, setidaknya menyuruhnya untuk tinggal di rumahmu yang lain, jika kamu masih memberinya kesempatan. Biar dia menyadari bahwa kamu benar-benar tidak bisa dipermainkan. Ah, sebenarnya aku atau ... mungkin seluruh keluarga menginginkan kamu berpisah saja. Tapi yah ... ini saran dariku." Edwin menggigit bibirnya, masih ragu menerima saran dari Neil untuk bersikap lebih tegas terhadap Imelda. Selama ini dia memang tidak pernah memberi peraturan atau mengancam. Edwin tidak ingin Imelda merasa tidak nyaman jika dia memaksa atau mengancam. "Terima kasih saranmu, Neil. Akan aku pertimbangkan," ujar Edwin. "Kita keluarga besar, Ed. Harus saling mengingatkan dan saling mendukung. Aku menyarankan kamu sekarang karena kamu yang memang meminta. Kamu taulah hampir semua keluarga kita segan menasihatimu, karena kamu pemegang warisan tertinggi Elmer Group, dan amanat mendiang ayahmu yang tidak ingin hidupmu kamu terganggu." Edwin mengangguk pelan. Tak lama pembacaan selesain, ponsel Edwin berbunyi dan ternyata Imelda yang menghubunginya. "Halo, Imelda." "Edwin. Kamu sibuk?" "Nggak, aku sedang berbincang santai dengan Neil di depan hotel. Ada apa?" "Oh, syukurlah. Aku berencana ke kantor kamu besok, aku ingin bertemu Nia, butuh bantuannya." "Oh ya? Boleh aku tau soal apa?" "Soal izin pameran butik di mall dekat kantormu. Dia punya relasi dekat dengan panitia pelaksana. Aku ingin dia mempercepat proses ke luar surat izin." "Oh. Ok, nanti aku hubungi Nia untuk segera menghubungi panitia pelaksana pameran." "Duh, nggak apa-apa, Ed. Biar aku besok bertemu Nia. Kamu nggak perlu repot-repot hubungi dia. Lagi pula aku mau ambil jam smartku di laci kantormu, aku ingat bulan lalu aku meletakkannya di sana." "Oh ok. Take care." “I miss you, Ed.” “I love you.” Edwin mengakhiri panggilannya dengan perasaan cukup tenang. Sudah beberapa bulan sejak mendengar Imelda menghubungi Damar di kamar mandi mengatakan bahwa dia tidak mau dihubungi lagi, Edwin melihat sikap Imelda jauh lebih baik, selalu meminta izin darinya sebelum pergi atau melalukan sesuatu, juga tidak lupa mengucapkan kata-kata mesra. "Baiklah. Kalo memang dia sudah jauh lebih baik. Tapi jangan segan memberitahuku jika kamu menghadapi masalah dalam rumah tanggamu, Ed. Aku tidak akan bosan menasihatimu," ujar Neil bijak. *** Karena Fira terlihat santai karena sudah menyelesaikan pekerjaannya, Nia menyuruh Fira untuk membereskan dokumen-dokumen yang tidak beraturan di ruang kerja Edwin. Setelah memberi pengarahan seputar pengelompokan dokumen, Fira bergegas menuju ruang kerja Edwin. “Kalo kamu nggak keberatan, kamu bisa sekaligus merapikan kantor pak Edwin.” “Baik, Bu Nia.” Nia senang Fira bekerja di kantornya. Gadis itu selalu rajin dan tidak pernah membantah perintahnya dan tidak pernah pula menunjukkan wajah kesal. Lagi pula sepertinya Fira juga senang dengan pekerjaannya, dan dia semangat di setiap harinya. Fira sudah biasa keluar masuk kantor Edwin, tapi kali ini dia merasakan perbedaan, karena Edwin tidak ada di sana. Ruang kantor yang luas itu terasa sepi pagi ini, biasanya Fira selalu melihat pria tiga puluhan itu duduk dengan wajah serius yang tertuju ke layar komputer besar yang menyala, atau menandatangani dokumen-dokumen dengan wajah tenang setelah sekilas membacanya. Menurut Fira, Edwin memang sangat profesional dalam bekerja. Entah kenapa Fira merindukan suasana kantor, di mana Edwin berbicara dengan para bawahan yang keluar masuk ruang kerjanya, kadang diselingi canda, kadang serius, kadang menyeramkan. Fira senang suasana itu, senang pula melihat cara kerja Edwin yang tidak pernah menunda-nunda. Fira mendekati meja kerja Edwin dan mulai menyusun dokumen-dokumen yang tidak beraturan di atasnya. Tidak memakan waktu lama Fira menyusun karena baginya sangatlah mudah. Mengingat pesan Nia, Fira kemudian membersihkan dan merapikan kantor Edwin. Dia memulai kegiatan bersih-bersihnya dengan melap-lap sekaligus merapikan meja kerja Edwin. Senyum Fira mengembang melihat foto-foto yang ada di atas meja panjang di sisi ruang. Foto-foto anak kecil laki-laki yang sangat bahagia, yang Fira yakini adalah Edwin kecil, karena wajahnya yang sangat mirip dengan Edwin sekarang. Sepertinya Edwin memiliki hubungan yang sangat akrab dengan ayahnya, terlihat di beberapa foto yang menunjukan keakraban keduanya, ada yang sedang bermain golf, liburan di Eropa bersama, dan kehangatan di dalam rumah mewah mereka. “Bhanurasmi Jatningrum,” gumam Fira ketika melihat bagian belakang sebuah foto yang menunjukkan Edwin yang sedang dipangku seorang perempuan cantik berkebaya. Fira menelan ludahnya ketika melihat tanggal kelahiran sekaligus tanggal wafat perempuan yang dia duga adalah mama Edwin, yang ternyata sudah meninggal sekitar dua puluh tahun yang lalu. Fira beralih kembali ke foto kebersamaan Edwin dan ayahnya, lalu membaca angka di balik foto. Lagi-lagi Fira menelan ludah kelu, ayah Edwin ternyata baru meninggal dunia beberapa bulan lalu. Fira jadi ikut merasakan kesedihan dalam hidup Edwin. Fira tertarik melihat foto Edwin kecil yang sedang merangkul gadis kecil yang cantik. Dia mengira gadis itu adalah adik Edwin. Namun, ketika dia membalikkan foto, ada bacaan yang menggugah perasaannya, Imelda dan Edwin, love forever cinta selamanya. Fira tersenyum kecil, menduga bahwa gadis itu adalah istri Edwin. Wajah Fira agak berubah, mengingat cerita Nia bahwa pernikahan Edwin yang tidak bahagia. “Apa yang kamu lakukan?” Sebuah suara wanita mengejutkan Fira, dan hampir saja dia menjatuhkan sebuah foto yang berada di tangannya. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD