Dadaku berdebar. Aku takut.
Nanti malam aku ke rumahmu
Ayo bicarakan tentang pernikahan kita. Pesan dari Haykal kembali masuk, membuatku semakin takut saja. Sepertinya ia tak akan melepaskanku. Azan magrib berkumandang, aku berjalan ke kamar dengan benak berkecamuk. Apa yang sebaiknya kulakukan agar Haykal tak menggangguku lagi? Menikah dengannya, yang benar saja. Aku terus mengunci diri di kamar sampai akhirnya terdengar ketukan. Ibu mengatakan ada Haykal di teras. Aku hanya mondar-mandir, sungguh tak ingin menemuinya
Ting. Notif WA.
Cepat keluar. Jangan berani-berani menghindariku kulaporkan ke polisi atas tiduhan pencemaran nama baik.
Ya ampun. Aku benar-benar tertekan banget. Akhirnya aku pun keluar kamar, menemuinya dengan jantung berdetak kencang. Aku duduk di hadapannya uang terus memandangiku.
"Ada apa dengan wajahmu? Pucat begitu."
"Enggak enak badan." Aku menjawab sekenanya. Padahal aku dengan ancamannya.
"Kal, aku gak ingin kita nikah."
Ia menatapku mencemooh. "Kalau kamu tidak ingin menikah denganku, lalu kenapa menghancurkan pernikahanku? Kalau pikiranmu tidak sempit, Yeni tidak mungkin meninggal."
"Iya aku tahu aku salah. Tapi ...."
"Kamu juga bilang pada ayahku kamu hamil, itu membuat ayahku berharap banyak aku menikahimu. Jadi, bertanggungjawab lah sampai akhir. Aku akan pergi ke Bandung dua bulanan, begitu aku kembali, kita menikah." Tatapannya sinis dan penuh ejekan. Mengajak menikah tapi wajahnya sinis begitu. Aku yakin sekali ia hanya ingin balas dendam.
Ia tersenyum sinis lantas berdiri, melangkah panjang-panjang menuju halaman dan menunggangi motornya. Ia menyeringai mengerikan membuatku bergidik lalu mengemudikan motornya menjauh.
Sepeninggalnya, aku kembali masuk ke kamar. Ingin tidur tapi tak bisa tidur. Mataku terus saja.menutup dan membuka.
Malam semakin beranjak naik, embusan angin yang masuk melalui celah-celah jendela mulai terasa sampai ke kulit. Sejenak aku melirik jam weker yang telah menunjukkan tepat jam sebelas malam.
aku menarik napas panjang mencoba melenyapkan rasa tertekan di d**a. Kupejamkan mata, tapi benakku sibuk menerka-nerka. Apa Haykal menikahiku hanya ingin balas dendam? Apa jangan-jangan tidak? Tapi melihat tatapan sinisnya sungguh membuatku takut.
Terdengar bunyi tetesan hujan menghantam genting. Lalu guntur menggelegar memecah malah yang sepi. Tuhaaan, Toli g berikan jalan terbaik untukku. Aku tak ingin menikah dengan Haykal. Tidak ingin.
Langit, bisakah kirimkan aku jodoh, siapapun tapi bukan Haykal? Tolong aku Allah, pelase. Aku sangat takut saat ini. Sangat takut.
***
Aku bangun kesiangan, setelah salat, bergegas mandi asal basah lalu memoles wajah dengan bedak dan lipstik bernuansa soft.
"Bu, Mayang berangkat. Assalaamu'alaikum!" teriakku pada Ibu yang berada di dapur.
Hari ini cerah. Matahari pagi yang hangat menemani langkahku. Aku berhenti di pertigaan jalan, saat melihat Rika muncul dari ujung jalan.
"Baru berangkat juga, rupanya? Santai banget," sapaku bernada bercanda, yang disambut dengan senyumannya.
"Sama, kan? Yang penting target grup kita terpenuhi, jadi bisa santai. Iya, gak?" timpal Rika kemudian.
"Iya juga, sih." Aku tersenyum semringah.
Aku dan Rika berlari beriringan, ternyata bis jemputan karyawan telah tiba, tampak beberapa orang naik. Aku dan Rika pun ikut naik, duduk di jok belakang sopir yang selalu menjadi langganan tempat duduk kami. Entahlah, karyawan yang lain seolah-olah hapal di mana kami biasa duduk.
Aku mengernyit melihat Rika sejak tadi terus tersenyum-senyum. "Kenapa sih? Ada yang aneh?" tanyaku penasaran.
Rika membuka tas dan menyodorkan cermin kotak berukuran mini ke pangkuanku.
"Coba deh kamu ngaca!" katanya sambil menahan tawa. Aku meraih cermin darinya, melebarkan mata melihat lipstik belepotan di bibirku. Ini karena aku cepat-cepat tadi. Rika menyodorkan tisu dan aku segera mengelap bibirku.
"Kenapa baru bilang siiih?" Aku menggerutu.
"Aku taunya juga barusan, pas duduk di jok. Tadi waktu jalan gak begitu merhatiin juga," sahutnya kalem.
***
Laporan harian produksi telah selesai, tinggal menghadap Pak Harun setengah jam sebelum pulang nanti. Aku juga melihat Rika telah selesai membuat laporan. Jadi nanti bisa barengan menghadap.
Jam yang melilit di pergelangan tanganku telah menunjukkan pukul dua lebih lima belas menit. Aku beranjak dari ruangan menuju toilet untuk membasuh muka, berdandan sebelum menuju ruangan Pak Harun untuk laporan.
Usai dari toilet bergegas memberikan laporan hari ini berdua dengan Rika.
"Beres, Yang. Saatnya pulang!" seru Rika begitu keluar dari ruangan Pak Harun.
"Lega ya? Kalo target produksi terpenuhi, serasa gak dikejar-kejar hantu," candaku.
Semua karyawan produksi yang masuk shift pagi telah keluar ruangan dan berganti karyawan shift berikutnya. Aku dan Rika pun beriringan keluar dari area produksi menuju pos jaga.
"Mbak Mayang!" Terdengar teriakan seseorang dari arah pintu gerbang, aku refleks menoleh. Belum sempat menghampiri, ternyata rekan kerja yang memanggil justru datang menghampiriku yang masih berdiri di pos jaga untuk antri absensi jam pulang.
"Ada apa, Mbak?" tanyaku seraya memegang pundak rekan kerja yang tampak tersengal-sengal menahan napas.
"Mbak Mayang ditunggu cowok di depan pabrik, tuh. Orangnya ganteng, naik motor satria, Mbak. Tadi nanya sama aku."
"Siapa, ya?" Aku menyipitkan mata. "Rasanya gak punya kenalan cowok yang naik motor itu, deh," gumamku seraya mengingat teman-teman cowok selama ini.
Aku masih berdiri dan mencoba memutar memori saat Rika menepuk bahuku keras membuatku tersentak.
"Hei, bengong. Ayuk buruan! Bis-nya udah nungguin kita, lho," Rika menyenggol lenganku sehabis memasukkan kartu absensi di mesin. Aku pun berjalan menuju gerbang sambil didera rasa penasaran tentang cowok yang menanti di depan pabrik.
Silau. Bias mentari yang telah bergeser ke ufuk barat menyilaukan pandangan, saat aku melangkah keluar menuju gerbang pabrik.
Dengan tangan kanan menahan silau dan tangan kiri digandeng Rika, aku segera menghampiri bis yang siap mengantar karyawan pulang.
"Yaaang!"
Sontak aku menoleh ke arah suara lelaki yang memanggilku. Sejenak mengernyitkan dahi sambil mengamati lelaki ber-helm yang berdiri hanya beberapa meter di hadapanku.
"Ish manyun! Kalo aku ada yang jemput gitu, seneng deh. Apalagi cowok seganteng dia." Rika menggoda sekaligus menyindir sambil menyenggol lenganku dengan sikutnya.
Lelaki itu melepas helm dari kepala. Aryo menghampiriku yang masih berdiri di depan pintu bis. Aku menarik napas panjang. Mau apa sih dia?
"Mendingan gak usah ikut bis jemputan. Biar aku yang nganter kamu pulang," katanya.
"Gak, ah. Siapa juga yang nyuruh jemput?"
"Inisiatif aku sendiri, Yang."
Aku memperhatikannya lama. Kok sok kenal banget sih pakai acara jemput aku segala? "Terima kasih," ucapku setelah cukup lama terdiam. "Tapi maaf, aku lebih senang naik bis." Aku tersenyum sekadarnya.
"Ya udah. Meskipun kamu gak mau, aku tau apa yang harus kulakukan," sahutnya dengan wajah pasrah.
Aku mengabaikan ucapannya, bergegas naik bis menyusul Rika yang lebih dulu duduk di jok. Bis yang aku tumpangi pun mulai melaju, sedangkan Aryo kulihat mengikuti dari belakang.
"Songong amat sih, Yang. Gak kasihan apa? Udah dibela-belain dijemput, eh kamunya gak mau." Rika protes atas sikapku memperlakukan Aryo.
"Aku gak songong, cuma jaga diri aja. Jaman sekarang banyak modus, cowok ngedeketin cewek."
"Gak tertarik sama gantengnya?"
"Mau makan gantengnya apa?!"
"Sayang, lho!" Rika menggelengkan kepala.
"Norak!"
Sesekali aku menoleh ke belakang, dan Aryo pun masih saja membuntuti bis.
"Kasihan. Dia masih ngikutin, tau!"
"Lah, biarin."
"Awas nyesel lho, nanti. Apalagi kamu dah mau ditinggal adikmu nikah, kan?"
"Apa hubungannya?"
Aku menoleh ke arah jendela bagian kanan, sekelebat Aryo menyalip bis. Padahal sebentar lagi aku dan Rika sampai di tempat pemberhentian.
Punggung Aryo mulai menghilang menembus jalanan. "Mungkin dia marah, jengkel, kesel sama aku. Bodo amat!" gumam yang membuat Rika lagi-lagi menggelengkan kepala.
Bis pun berhenti di tempat biasa. Aku dan Rika turun beriringan. Berjalan dengan Rika menuju rumah melewati jalan setapak yang di kanan dan kiri hamparan sawah. Sejenak pemandangan itu menghilangkan rasa penat usai bekerja dan rasa kesal akibat Aryo yang tiba-tiba datang menjemput di pabrik.
Aku pun berpisah dengan Rika di pertigaan jalan. Kemudian menuju rumah. Bayangan wajah Aryo yang masam saat aku menolaknya tadi membayang di benakku. "Ah, bodo amat!" gumamku menyingkirkan rasa tak nyaman itu.
"Datang kerja, kok, cemberut gitu, Yang?" tegur Ibu yang berpapasan denganku di teras saat menyajikan secangkir kopi untuk ayah.
"Gak pa pa, Bu."
Aku terpaksa berbohong membalas tanya Ibu seraya meletakkan sepatu di rak yang terletak di sudut teras. Terdengar langkah ibu yang membuntuti diriku saat menuju kamar.
"Ada masalah di pabrik?"
"Gak ada, Bu. Ibu tenang aja, Mayang cuma capek aja."
"Ya sudah kalau begitu. Buruan mandi, biar capeknya hilang. Siapa tau ada arjuna yang ngapelin anak Ibu," canda Ibu seraya tersenyum.
Aku tak mempedulikan nasihat Ibu yang disertai gurauan. Justru dengan santainya merebahkan badan di kasur seraya membayangkan wajah Aryo yang kelihatan sorot matanya begitu kecewa, tadi.
Selama ini aku memang agak jutek dengan lelaki tak dikenal. Apalagi dengan lelaki yang sok kenal banget seperti Aryo. Aku menarik napas, sebentar lagi Asti menikah itu membuatku sedih karena dilangkahi. Langit, bisakah kirimkan aku cowok ganteng? Atau duda gak masalah lah yang penting dia lelaki baik-baik bisakah? Tapi bukan Haykal bukan Aryo. Aku gak suka lelaki yang rambutnya panjang berantakan. Mau yang saleh. Aku memijit kening, aku jadi menghayal saking stresnya.
Ting
Notif WA dari nomer asing.
Hai, sedang apa cantik? Aku dapat nomermu dari temanmu tadi.
Tanpa membalas, aku melihat foto profilnya. Aryo, ngapain sih dia gangguin aku terus? Sungguh membuat orang gak nyaman
Ting. Pesan kembali masuk.
Yaaah diread doang
*Dengan klik subscribe atau tap love cerita ini, itu artinya kalian akan dapat notif tiap cerita ini tayang. CERITA INI AKAN MULAI LANJUT SETELAH CERBUNG, Hot Duda Lebih Menggoda dan Istri Haram TAMAT. Jadi silakan tap love aja dulu dengan begitu kalian akan dapat notif saat cerita ini kembali up.