Beberapa menit kemudian aku sudah kembali berada di loteng. Pesanan snack itu sudah diantar.
Setelah makan dan istirahat, kini sebenarnya adalah jadwal belajar untuk pelajaran yang katanya akan diajarkan di akselerasi ngaji yang diadakan di masjid.
Sebenarnya hanya satu yang kunanti saat ini, sebuah notifikasi yang akan dikirimkan oleh Arofah yang ternyata ... ternyata ... ter-nya-ta rumah kosong di depan rumahnya ditinggali oleh ustaz baru yang wajahnya bersih bersinar itu.
Gimana nggak pada iri sampai jejeritan kami bertiga?
Suara tapak menjejak di tangga papan membuatku waspada.
Itu pasti kedatangan tuan raja yang mulia perdana mentri Emak.
“Belajar lo Ra! Kata ustazah-ustazahmu akan ada pelajaran baru ‘kan?” ucap Emak ketika melihatku goler-goler di lantai papan ini.
Beginilah jika punya emak yang memiliki pembeli tetap di kalangan ustazah, ustaz, istri ustaz dan banyak lagi orang-orang yang tersebar di kampung ini dan sekitarnya.
Mata Emak jadi lebih tajam dari CCTV dan ketegasannya mengalahkan sipir penjara jika menyangkut dengan belajar mengajiku ini.
“Siap Presiden!” sahutku sambil beranjak dan mengambil net book warna putih dan menekan tombol power.
Berikutnya sebuah materi pelajaran Shorof dalam bentuk pdf terbuka di layar yang menyala.
Tangan ini dengan tangkas menyembunyikan handphone di bawah paha yang sedang dalam posisi bersila ini.
Emak mengambil sebuah celemek di lemari.
“Dalam bahasa Arab, kata terbagi dalam fi’il, isim dan huruf. Di mana fi’il adalah kata kerja, isim adalah kata benda dan huruf adalah huruf hijaiyah yang memiliki arti. Sedangkan fi’il sendiri terbagi dalam dua bagian yaitu fi’il madhi yaitu kata kerja lampau dan fi’il mudharik yaitu kata kerja sekarang dan masa datang,” bacaku sengaja dengan suara keras.
Emak menoleh memperhatikanku, kemudian bergegas menuruni tangga. Oke! pengawas sudah lewat. Siap ambil napas lega.
Sebentar lagi pasti notifikasi yang kuharapkan muncul, ini sudah mendekati jam ngaji sore dimulai di serambi masjid.
“Shorof merupakan ilmu dalam bahasa Arab yang mempelajari perubahan bentuk dari satu kata ke kata lain. Satu kata kerja yang terdiri dari tiga huruf dapat berubah menjadi tujuh kata, dari fi’il madhi hingga fi’il nahy. Perubahan itu bisa dilihat dalam tasrif istilahy” Mulut ini melanjutkan deretan penjelasan pada bab satu yang terpampang di layar dengan suara yang masih sengaja di-ke-ras-kan.
“Perubahan itu bisa dilihat dalam wazan atau pola untuk fi’il madhi, fi’il mudharik, masdar, isim fa’il, isim maf’ul, fi’il amr dan fi’il nahy.” Aku mengernyitkan hidung dengan istilah yang baru saja masuk ke otak ini.
Bukan hanya tak paham, tapi sudah masuk level bingung.
Kemudian, aku berjalan berjingkat pelan mendekat ke tangga papan itu.
Ratu kerajaan konsumsi itu sedang sibuk mempersiapkan bahan-bahan yang akan diolah besok. Dengan lincah tangannya mengambil beras ketan dan menuang air dalam panci berukuran sedang.
“Sedangkan, masdar adalah kata kerja yang dibendakan, isim fa’il adalah subjek, maf’ul adalah objek, amr adalah perintah dan nahy adalah larangan.” Biarlah, paham tak paham kuurus nanti, yang penting pencitraan ini sampai pada wanita yang sedang sibuk di bawah loteng ini.
Handphone memang dalam mode silent, tapi ketika layar itu menyala, masih dalam berjalan dengan berjingkat tanpa suara, aku mendekat ke benda yang tergeletak di bawah meja pendek itu.
“Hah!” Mata ini terbelalak, dalam sesaat tadi aku telah melewatkan notifikasi dari ketiga pos sekaligus.
Aku bergegas menuju jendela dari papan yang ada d sisi depan ruangan ini setelah sebelumnya menyambar jilbab langsung tancap yang lebar. Jilbab ini menyediakan bagian penutup tangan, jilbab hitam ini jadi seperti pengganti baju atas.
Hem ... aku menatap layar dan memastikan pesan-pesan dari ketiga sahabatku itu tak terlewatkan.
Jika pesan itu benar ... ehm ... Berarti dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, Ustaz Ganteng itu akan segera melintas di depan rumah Emak ini.
Jika Arofah bersyukur jendela rumahnya adalah kaca riben hitam hingga dia dengan leluasa bisa mengamati Ustaz itu dari dalam rumah, aku bersyukur Emak memiliki rumah papan yang ada lotengnya ini, dengan begitu aku bisa bebas melihat ustaz idola itu melintas di bawah sana.
Tak perlu menuntut emak untuk membuat kaca jendela riben, perjuangan Emak dalam memiliki sepetak rumah ini saja pasti setara dengan perjuangan Pangeran Diponegoro ketika mengusir Vereenigde Oost-Indische Compagnie pada tahun seribu delapan ratus dua puluh lima sampai seribu delapan ratus tiga puluh.
Mata ini menatap tajam ke arah bawah ketika jendela papan terbuka.
“Oh! Terpujilah Engkau wahai Allah sepanjang pagi dan petang, Engkaulah Allah yang mendirikan langit tanpa tiang, yang menghiasnya dengan bintang-bintang. Duh ciptaanmu itu lo Ya Allah, membuat jantung ini berdentang memanggil angin untuk mengangkasakan segala pujian,” seruku dalam hati.
Telapak tangan ini menempel di d**a agar jantung ini kembali tenang. Dengan tatapan elang hendak memangsa anak ayam, mata ini mengikuti bayangan sosok soleh itu hingga hilang ditelan tikungan.
Jari ini segera melaporkan pada grup yang hanya berisi empat orang.
“Target telah berbelok dengan sempurna,” ketikku lalu menekan tombol kirim.
Tangan ini masih mengusap-usap d**a, berharap degupnya tadi tak terdengar oleh laki-laki yang tadi melintas di bawah sana.
Langit terlihat mendung ketika setengah jam lagi masuk waktu Ashar.
Mata ini sejenak menatap hitam awan cumulus yang mengenyahkan sinar matahari.
Telinga ini mulai menangkap suara butiran hujan yang jatuh di genting rumah.
Lama-lama butiran itu makin banyak. Tetesan air dari langit yang menabrak tanah menguarkan aroma petrichor yang khas.
Inilah aroma yang dirindukan oleh setiap perindu hujan. Rinai yang akan membangkitan kenangan para pecinta yang tersimpan di sudut biru hati yang terdalam.
Tangan ini menyangga dagu dan menatap titik-titik hujan yang berlomba untuk segera jatuh ke atas bumi.
“Bukk!”
“Aahh!” Gebukan bantal di bagian belakang kepala ini melemparkanku dari ruang halusinasi.
“Makk!” protesku sambil menjejakkan kaki.
“Bisa-bisanya malah ndomblong, bengong di sini!” seru Mak dengan wajah kesal.
“Mak, aku lagi menikmati aroma petrichor, coba Mak agak ke sebelah sini,” saranku sambil menggeser badan Emak mendekat ke jendela.
Emak menurut dan kemudian menggerak-gerakkan hidungnya seolah sedang membaui makanan. Kemudian keningnya berkerut.
“Pertikor opo ...?” sanggahnya sambil melirik tajam.
“Ya ‘kan, Mak? Indah ‘kan baunya?” ucapku sambil menggerakkan kepala mendekat ke wajah Emak.
“Apane? Jemuranmu itu lo!” teriak Emak mendahului petir yang belum datang.
“Siap, Cut Nyak Dien!” sahutku cepat kemudian berlari ke arah tangga.
“Kalau belum setinggi gunung Himalaya, baju kotor belum dicuci. Sudah dijemur, hujan turun malah ditinggal ngalamun. Katanya belajar malah ngurusin peritkor, ealah tu anak zaman sekarang kok segitunya ....” Gerutuan Emak menjadi lagu pengiring kaki ini menapaki tangga papan ini.
“Allahumma shoyyibbann nafi’a, Ya Allah turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat,” seruku ketika sampai di halaman belakang.
“Tapi ini besar-besar hujannya ya, Ya Allah?” ucapku sambil dengan cepat tangan ini melakukan gerakan penyelematan pada baju-bajuku yang sudah kering.